Rabu, 17 November 2010

Hari Raya Kristus Raja 2010

Setiap orang memiliki gambaran yang paling disukainya akan Allah. Mungkin karena dalam kehidupan kita, kita dijamah oleh Allah secara khusus dan figur-Nya saat itu menjadi yang paling terpatri dalam batin kita. Allah yang menyembuhkan, Allah yang penuh kasih, Allah yang perkasa, Allah yang sangat dekat dengan kita.

Dalam kehidupan liturgi, Gereja secara hati-hati membawa kepada umat berbagai gambaran Allah dalam sejarah keselamatan. Dan sering kali, kita dikejutkan oleh gambaran yang Allah yang kurang kita kenal, atau tidak berusaha untuk kenal. Namun disinilah kebijaksanaan Gereja bersinar. Lewat tahun liturgi kita berjumpa dengan diri Allah sebagaimana diwartakan Kitab Suci.

Menjelang Hari Raya Kristus Raja Semesta Alam, Gereja mengajak kita bertatap muka dengan pribadi Allah dalam Yesus Kristus secara istimewa.

Liturgi hari ini dibuka dengan Introit yang langsung memberikan tenor perayaan, diambil dari Kitab Wahyu:
"Pantaslah Anak Domba yang disembelih itu menerima kuasa dan kekayaan, dan hikmat, dan kekuatan dah hormat. Bagi Dialah kemuliaan dan kuasa sampai selama-lamanya." (Wahyu 5:12; 1:6).

Kita yang bergaul cukup banyak dengan Kitab Wahyu pasti teringat adegan sangat dramatis yang menjadi konteks kutipan tersebut. Deru kilat dan guntur memenuhi surga, 24 tua-tua duduk di atas takhta, 4 makhluk ilahi masing-masing berkepala burung nasar, singa, lembu dan manusia bersorak tak henti, "kudus, kudus, kuduslah Tuhan Allah, Yang Mahakuasa, yang sudah ada dan yang ada dan yang akan datang."(Wahyu 4:8) di hadapan takhta Allah.

Kemudian Dia yang duduk di takhta itu menyerahkan sebuah kitab yang disegel dengan 7 meterai. Tiada yang dapat membukanya baik di surga dan dibumi. Sampai datang, Anak Domba seperti telah disembelih, bertanduk dan bermata tujuh. Ketika Anak Domba itu mengambil gulungan kitab itu seluruh isi surga tersungkur di hadapan Anak Domba itu, melagukan pujian. Dan kemudian bergemalah, introit yang kita dengar pada awal Misa Kristus Raja: "Anak Domba yang disembelih itu layak untuk menerima kuasa, dan kekayaan, dan hikmat, dan kekuatan, dan hormat, dan kemuliaan, dan puji-pujian! Bagi Dia yang Duduk di atas takhta dan bagi Anak Domba, adalah puji-pujian dan hormat dan kemuliaan dan kuasa sampai selama-lamanya! Amin!" (Why 5:11,13,14).

Sabda Allah ini sudah menghempaskan kita ke suatu kenyataan yang luar biasa. Suatu keagungan dan kemegahan, suatu kengerian, sebab Anak Domba itu akan datang untuk menjadi pemenang, Ia akan mengadili semua makhluk dan akan menaklukkan segalanya, termasuk maut dibawah kaki-Nya.

Gereja mengajak kita bertemu dengan Anak Domba yang hidup walau sudah disembelih, bermata tujuh, bertanduk tujuh, yang membuat seluruh surga tersungkur, dan yang akan menjadi penakluk sejati. Kita bertemu dengan Allah yang perkasa, Hakim yang tertinggi.

Gambaran Allah seperti itu mampu membangkitkan bulu kuduk dan membuat kita tersungkur takut. Namun, Mazmur hari ini juga mengungkapkan kegembiraan, Mazmur 122, yang berseru: "Aku bersukacita ketika dikatakan orang kepadaku, 'Mari kita pergi ke rumah TUHAN.'...sebab di sanalah ditaruh kursi-kursi pengadilan, kursi-kursi milik keluarga raja Daud." (Mzm 122:1,5).

Mengapa ada sorak gembira? Apalagi kegembiraan itu karena pengadilan! Bagi kita benar-benar alasan yang aneh untuk bergembira. Kita biasa bergembira karena hiburan, persahabatan, pertemanan, kumpul-kumpul, pesta dan kebersamaan. Tetapi bersukacita karena kursi pengadilan?

Namun bisa kita bayangkan ini adalah sorak-sorai umat Allah yang ditebus, kitalah umat yang ditebus itu! Sudah tiba saatnya Allah meraja, menjatuhkan para pendakwa kita, memberi keadilan bagi umat-Nya, membuat dunia menanggung darah umat Allah yang telah mereka tumpahkan. "Haleluya! Keselamatan dan kemuliaan dan kekuasaan adalah pada Allah kita, sebab besar dan adil segala penghakiman-Nya, karena Ialah yang telah menghakimi pelacur besar itu, yang merusakkan bumi dengan percabulannya; dan Ialah yang telah membalaskan darah hamba-hamba-Nya atas pelacur itu." (Why 19:1-2).

Dalam bacaan kedua, Paulus mengungkapkan kekagumannya atas karya keselamatan Allah itu. Dalam apa yang dikenal Gereja sebagai Kidung Kolose, yang secara berkala dinyanyikan dalam Ibadat Sore, Gereja ambil bagian bersama Paulus dalam mengungkapkan kekaguman itu. Allah telah bertindak, Ia menyelamatkan kita dari dosa, dan Yesus Kristus menaklukkan segalanya bagi Allah berkat darah salib-Nya.

Inilah pertempuran penentuan yang membuat Kristus menang. Ia memenangkan alam semesta dalam darah-Nya di salib. Karena itu tidak heran, Injil hari ini menampakkan Yesus Sang Raja yang sedang bertahta. Salib adalah takhta-Nya, paku-paku adalah harta-Nya, mahkota duri adalah mahkota kemuliaan-Nya, para penjahat dan pendosa pendamping-Nya, luka sekujur tubuh adalah perhiasan-Nya.
Sang Raja menang mulia, karena salib.
Dan dalam Injil ini, gambaran Allah, Hakim yang Agung memperlihatkan sisi-Nya yang begitu dekat dengan kita. Ia dekat dengan kita dalam penderitaan, dalam kesesakan kita, dan ia berbelas kasihan pada kita. Sekaligus sebuah pernyataan, bahwa jika Raja segala Raja memeluk penderitaan manusia, kita pun harus siap mengikuti Dia dalam penderitaan.

Sukacita kita dijanjikan, sehingga kita dapat bersorak-sorai seperti pemazmur dan bersama seluruh isi surga dalam kitab Wahyu. Itulah kemuliaan kita, yang menanti kita, dan jalan menuju kemuliaan itu adalah jalan salib yang sudah ditapaki Yesus.

Lalu apa refrain terakhir dari ini semua? Datangnya Kerajaan Allah, Yerusalem yang baru. Dan di dalamnya kita akan hidup bersama Allah selama-lamanya, dimana segalanya diperbarui dan kita akan memandang Dia muka dengan muka.

Kita mengantisipasi Yerusalem yang baru dan hidup berhadapan muka dengan Allah sudah dalam perayaan kita di bumi ini, saat ini, ketika kita menyambut Yesus dalam komuni. Ketika kita bersatu dengan Dia, secara istimewa.

Sungguh tepat Antifon Komuni kita hari ini yang berseru: "Tuhan akan bertakhta sebagai raja selama-lamanya. Tuhan akan memberkati umat-Nya dengan damai." (Mzm 29:10-11)

Apa yang dilihat Yohanes, sudah kita alami dalam Ekaristi: "Lihatlah, kemah Allah ada di tengah-tengah manusia dan Ia akan diam bersama-sama dengan mereka. Mereka akan menjadi umat-Nya dan Ia akan menjadi Allah mereka." (Why 21:3), sangat tepat menggemakan Mzm 29 yang kita dengarkan dalam komuni hari ini.

Inilah pemandangan liturgi yang disajikan kepada kita hari ini, pada Hari Raya Kristus Raja.
Secara praktis lansekap liturgi yang dirayakan menentukan bagaimana kita menentukan dan mencari lagu yang tepat untuk mendukung tersampaikannya pesan liturgi hari itu kepada kita.

Dalam Ordo Cantus Missae, sangat ditekankan "Nyanyian yang memiliki relasi dekat dangan bacaan, tentunya, selayaknya digunakan untuk bacaan-bacaan ini."(Ordo Cantus Missae 19).

Dalam ekshortasi pasca sinode umum para uskup ke-12, Paus kita berkata: "Untuk menekankan sabda Allah dalam liturgi, perhatian harus diberikan terhadap penggunaan lagu pada saat yang diberikan sesuai ritus partikular. Lagu utamanya dipilih yang memiliki inspirasi biblis dan yang mengekspresikan, melalui harmoni musik dan nada, keindahan sabda Allah." (Verbum Domini 70).

Jadi kriteria nyanyian, utamanya mendukung pewartaan Sabda Allah.

Keberatan yang sering disampaikan tentunya, bagaimana dengan partisipasi umat?
Sebenarnya partisipasi umat dalam nyanyian Liturgi memiliki beberapa jenjang:
Yang pertama dan terpenting dikuasai umat adalah dialog antara imam dan umat dan yang dibawakan oleh imam dan umat bersama-sama, dengan di sekitarnya ditambahkan bagian-bagian yang dibawakan oleh umat saja atau kor (Instruksi tentang Musik dalam Liturgi no. 7, Sacred Conggregation of Rites, 1967).


Jadi pada selalu ada tempat untuk kor dan selalu ada kesempatan bagi umat untuk ambil bagian aktif dalam liturgi tanpa perlu ikut menyanyi.

Buku Jubilate Deo, bagian pertama, Cantus Missae, yang disusun atas inisiatif  Paus Paulus VI, memberikan repertoir minimum yang harus dikuasai umat:
Beberapa seleksi nyanyian ordinarium Gregorian sederhana, Credo, Bapa Kami, Anamnesis, dan seluruh dialog antara imam dan umat.


Setelah melewati Hari Raya Kristus Raja, kita menyongsong Masa Adven, masa penantian, yang selalu bermakna ganda: Kita menantikan (memperingati) kedatangan pertama Yesus ke dunia sebagai anak, dan kita menantikan kedatangan kedua-Nya sebagai Raja Agung yang kita rayakan pada Hari Raya Kristus Raja.

Selamat menjelang detik-detik tahun baru liturgi.

Let All Mortal Flesh Keep Silence

Madah ini adalah madah Ekaristi, dinyanyikan pada persiapan persembahan, dikenal juga sebagai madah Kerubim (Cherubikon) dalam Liturgi Ilahi Santo Yakobus dari abad ke-4 Masehi, yang masih dirayakan utamanya oleh Gereja-gereja Timur dari tradisi Oriental.
Pada tahun 1906, Ralph Vaughan Williams, mengadaptasi teks ini menurut melodi tradisional Perancis, Picardy, dan menjadikannya populer di kalangan gereja-gereja yang liturgis, termasuk dalam Gereja Katolik, dan menjadi sebuah himne klasik.

InggrisIndonesia
Let all mortal flesh keep silence,
And with fear and trembling stand;
Ponder nothing earthly minded,
For with blessing in His hand,
Christ our God to earth descendeth,
Our full homage to demand.

King of kings, yet born of Mary,
As of old on earth He stood,
Lord of lords, in human vesture,
In the body and the blood;
He will give to all the faithful
His own self for heavenly food.

Rank on rank the host of heaven
Spreads its vanguard on the way,
As the Light of light descendeth
From the realms of endless day,
That the powers of hell may vanish
As the darkness clears away.

At His feet the six winged seraph,
Cherubim with sleepless eye,
Veil their faces to the presence,
As with ceaseless voice they cry:
Alleluia, Alleluia
Alleluia, Lord Most High!
biar semua makhluk fana
terdiam berdiri dan gentar
jangan berpikir soal dunia
karena Kristus telah datang
dengan membawa berkat di tangan-Nya
mari kita sembah sujud

Raja atas segala raja
lahir dari Maria
Ia hidup di dunia
dengan tubuh dan darah
kepada umat-Nya kan Ia berikan
diri-Nya sebagai santapan

Balatentara surgawi
memberi jalan dengan hormat
ketika Sang Terang dari terang
turun dari alam ilahi
agar neraka musnah dilucuti
dan kegelapan pun undur

serafim ada di kaki-Nya
kerubim yang tak pernah terpejam
menyembunyikan wajah mereka
dihadapan hadirat-Nya
dengan tak henti mereka berseru
Alleluya, Yang Maha Tinggi

Voluntati Obsequens

Pada tanggal 14 April 1974, Kongregasi Ibadat Suci (Kongregasi untuk Ibadat dan Disiplin Sakramen) menerbitkan sebuah buku lagu yang diberi judul Jubilate Deo.

Buku Jubilate Deo berisi repertoir Gregorian minimum yang diharapkan dikuasai oleh umat Katolik, sesuai harapan Bapa Suci Paulus VI, agar umat Katolik mengenal beberapa repertoir Gregorian Latin.

Buku kumpulan lagu ini dipersembahkan Gereja kepada umat Katolik sebagai hadiah khusus dari Bapa Suci, mewujudkan amanat Konsili Vatikan II, yang dalam Konstitusi tentang Liturgi Suci no. 54, mengatakan: "Tetapi hendaknya diusahakan, supaya kaum beriman dapat bersama-sama mengucapkan atau menyayikan dalam bahasa latin juga bagian-bagian Misa yang tetap yang menyangkut mereka."

Walaupun nyanyian dalam bahasa setempat baik dan didukung, namun "repertoir minimum nyanyian Gregorian ini disiapkan dengan satu tujuan: agar umat Kristen lebih dimudahkan untuk mencapai kesatuan dan harmoni spiritual dengan saudara-saudara mereka dan dengan tradisi hidup masa lalu. Karena itu mereka yang berusaha meningkatan kualitas nyanyian kongregasional (red: dinyanyikan bersama seluruh umat) tidak boleh menolak memberikan tempat yang selayaknya diduduki nyanyian Gregorian." (Voluntati Obsequens)

Dan untuk mendukung amanat ini, Kongregasi Ibadat Suci membuat buku Jubilate Deo gratis untuk direproduksi dan dikopi.

Nyanyian apa saja yang ada di dalam buku tersebut?
Buku tersebut dibagi menjadi 2 bagian. Bagian pertama, Cantus Missae, berisi nyanyian-nyanyian yang umum dalam Misa. Terdiri dari:
1. Kyrie XVI
2. Gloria VIII (De Angelis). Terdapat juga dalam Puji Syukur 343
3. Nyanyian tanggapan bacaan I dan II: Verbum Domini - Deo gratias (Demikianlah sabda Tuhan - Syukur kepada Allah)
4. Dua Alleluya sederhana
5. Pengantar bacaan Injil: Dominus vobiscum - Et cum spiritu tuo- Lectio sancti Evangelii secundum N. - Gloria tibi Domine (Tuhan bersamamu - Dan bersama rohmu - Inilah Injil Yesus Kristus menurut N. - Dimuliakanlah Tuhan)
6. Nyanyian tanggapan Injil: Verbum Domini - Laus tibi Christe (Demikianlah sabda Tuhan - Terpujilah Kristus)
7. Credo III. Terdapat juga dalam Puji Syukur 374.
8. Tanggapan terhadap intensi doa umat: Te rogamus, audi nos (kami mohon kepada-Mu, dengarkanlah kami).
9. Dialog pembuka Prefasi
10. Sanctus XVIII. Terdapat juga dalam Puji Syukur 388.
11. Anamnesis.
12. Doksologi penutup Doa Syukur Agung.
13. Bapa Kami. Terdapat juga dalam Puji Syukur 402.
14. Dialog ritus damai.
15. Agnus Dei XVIII. Terdapat juga dalam Puji Syukur 409.
16. Pembubaran umat.

Bagian kedua, Cantus Varii, berisi nyanyian-nyanyian Gregorian untuk berbagai keperluan.
1. O salutaris (hostia)
2. Adoro te (devote). Terdapat juga dalam Puji Syukur no. 560, Allah yang Tersamar.
3. Tantum Ergo. Terdapat juga dalam Puji Syukur no. 501, Mari Kita Memadahkan (bait 5 dan 6).
4. Mazmur 116 (117), Laudate.
5. Parce Domine.
6. Da pacem.
7. Ubi caritas (est vera). Terdapat juga dalam Puji Syukur no. 498, Jika ada Cinta Kasih.
8. Veni Creator (Spiritus). Terdapat juga dalam Puji Syukur no. 567, Ya Roh Pencipta, Datanglah.
9. Regina Caeli. Terdapat juga dalam Puji Syukur no. 624.
10. Salve Regina. Terdapat juga dalam Puji Syukur no. 623.
11. Ave Maris Stella. 
12. Magnificat.
13. Tu es Petrus.
14. Te Deum (laudamus). Terdapat juga dalam Puji Syukur no. 669.

Buku nyanyian Jubilate Deo bisa diunduh di beberapa situs, salah satunya di sini: Jubilate Deo (1974)

Senin, 15 November 2010

Suasana Adven dan Natal

Pada masa Adven, ada nuansa pertobatan, tetapi tidak seketat Prapaskah.
Nuansa yang pasti adalah nuansa penantian, rangkap 2, yaitu:
1. Menantikan Kedatangan Kristus yang Kedua sebagai Hakim Agung
2. Menantikan Kedatangan Kristus pada masa Natal.

Nuansa yang pertama ini kerap kali hilang, terutama karena kita sudah dalam suasana dan lagu-lagu ekspektasi Natal. Padahal Bacaan, teks liturgi dan lagu-lagu Liturgi (Proprium) masa Adven terutama minggu pertama, bicara soal pengadilan Allah.

Penyebab hilangnya nuansa pertama juga dikarenakan hilangnya makna Masa Natal dalam pemahaman umat Katolik, Latin utamanya.

Awalnya peristiwa utama yang diperingati pada masa Natal adalah Pembaptisan Yesus di Yordan, pada satu hari yang sama diperingati kunjungan para magi dan para gembala dan bahkan mukjizat pertama di Kana. Ini semua kemudian dipisah menjadi rentang yang lebih panjang.

Teks liturgi Natal jauh bicara soal kelahiran Kristus dalam konsepsi modern sekarang. Teks Liturgi masa ini menggarisbawahi teofani atau penyingkapan diri Allah di tengah manusia. Mula-mula kepada Israel, kemudian pada orang-orang bukan keturunan Israel. Berpuncak pada pembaptisan Yesus ketika pribadi Allah yang tersembunyi sepenuhnya diungkapkan kepada dunia: Bapa, Putera dan Roh Kudus.

Dalam Gereja Latin, terutama jemaat yang tidak menggunakan lagi lagu-lagu proprium Misa, semua nuansa ini lenyap digantikan suasana Natal sekuler, suasana pergantian tahun, dan komersialisme.

Akhirnya, pemahaman umat akan Adven dan Natal menjadi timpang.

Paus Memberi Rekomendasi untuk Meningkatkan Partisipasi Umat dalam Misa

Dalam exhortasi pasca sinode yang dikeluarkannya, Verbum Domini, Paus Benediktus XVI memberikan 7 rekomendasi praktis untuk meningkatkan partisipasi umat dalam mengikuti Misa:

Rekomendasi pertama menyangkut "perayaan sabda Allah" (ibadat sabda).

Berdasarkan rekomendasi dari para bapa sinode, para pastor harus lebih banyak memberikan waktu dan mempromosikan ibadat sabda bersama komunitas yang dipercayakan kepada mereka, dan menjadikan saat-saat itu sebagai "saat istimewa berjumpa langsung dengan Tuhan."


Beliau mengaktakan bahwa praktek ini akan sangat bermanfaat bagi umat dan harus dijadikan bagian penting dari formasi liturgi. Hal ini penting terutama untuk menyiapkan umat merayakan Ekaristi hari Minggu, membantu umat menyelami Leksionari (bacaan-bacaan selama tahun liturgi), berdoa dan merenungkan Kitab Suci, terutama pada masa-masa Adven, Natal, Prapaskah dan Paskah.

Ibadat sabda sangat penting terutama bagi jemaat dimana perayaan Ekaristi tidak dapat secara rutin dilaksanakan, sambil tetap menjaga agar perbedaan antara ibadat sabda dan Ekaristi tidak dikaburkan.

Juga sangat dianjurkan pada momen-momen seperti ziarah, pesta-pesta gereja, misi, retret, dan hari-hari tobat dan silih. Berbagai bentuk kesalehan umat (devosi), walaupun bukan tindakan liturgi dan jangan sampai mengaburkan perayaan liturgi, harus diinspirasikan oleh liturgi dan memberi tempat yang cukup untuk pewartaan sabda Allah.


Rekomendasi kedua menyangkut sabda dan keheningan.

Paus mengatakan bahwa sabda hanya bisa diujarkan dan didengarkan dalam keheningan, luar dan dalam (keheningan eksternal, suasana, maupun batin).

Sayangnya zaman kita sekarang tidak mendukung rekoleksi, dan ada impresi bahwa orang takut menjauhkan dirinya, bahkan sebentar saja, dari media massa (gadget, hape misalnya).

Karena itu, perlu mendidik umat akan nilai keheningan. Menemukan kembali sentralitas sabda Allah dalam hidup Gereja berarti juga menemukan kembali keheningan, rekoleksi batin, sebab hanya dalam keheningan sabda Allah menemukan tempat dalam diri kita.

Untuk itu Paus meminta perayaan sabda (liturgi dan ibadat sabda) dirayakan sedemikian sehingga mendukung meditasi/perenungan. "Hening, pada tempatnya dalam perayaan, harus dianggap sebagai bagian dari perayaan."

Rekomendasi ketiga menyangkut pewartaan sabda secara khidmat (solemn).
 
Anjuran selanjutnya yang datang dari sinode adalah supaya pewartaan sabda, Injil utamanya, dilakukan lebih khidmat, terutama pada pesta-pesta liturgi utama, dengan mengarak Injil dalam perarakan pada ritus pembuka dan kemudian dibawa ke mimbar oleh seorang diakon atau imam untuk diwartakan.
Ini akan membantu umat untuk menyadari bahwa "pewartaan Injil adalah titik puncak dalam liturgi sabda."
Sesuai Ordo Lectionum Missae, adalah baik jika pewartaan sabda Allah, terutama Injil, dimeriahkan dengan dilagukan, terutama pada hari-hari raya tertentu. Kalimat pembukaan: "Inilah Injil Yesus Kristus..", dan kalimat penutup: "Demikianlah Injil Tuhan," dapat dilagukan sebagai cara menekankan apa yang dibacakan.



Rekomendasi keempat menyangkut sabda Allah dalam Gereja.


Demi pewartaan sabda dapat ditangkap dengan baik oleh umat, harus juga diperhatikan akustik gereja, dengan tetap memperhatikan norma-norma liturgi dan arsitektur. Arsitektur gereja harus mendukung pewartaan sabda, untuk meditasi/perenungan dan perayaan Ekaristi. Bahkan diluar perayaan liturgi, gedung harus merepresentasikan misteri iman dalam hubungannya dengan sabda Allah.

Perhatian istimewa harus diberikan pada ambo (mimbar sabda). Mimbar harus diletakkan di tempat yang jelas terlihat dimana fokus umat secara natural akan mengarah selama perayaan liturgi sabda. Mimbar harus permanen, dihias seiras dengan altar, supaya terlihat secara jelas hubungan teologis dua meja (altar), sabda dan Ekaristi.

Bacaan-bacaan Kitab Suci, Mazmur dan Exultet harus dibawakan dari mimbar, dan dapat juga digunakan untuk homili dan doa umat.

Para bapa sinode juga menganjurkan bawha dalam gereja, ada tempat terhormat untuk Sabda Allah, bahkan di luar perayaan liturgis, tanpa mengesampingkan tempat sentral yang layak bagi tabernakel tempat disemayamkannya Sakramen Mahakudus.


Rekomendasi kelima, hanya sabda Allah saja yang diwartakan dalam Liturgi.


Para bapa sinode juga menggarisbawahi kembali apa yang sudah dinyatakan dalam hukum liturgi: bahwa bacaan dari Kitab Suci tidak pernah boleh diganti oleh bacaan lain, bahkan jika teks lain tersebut secara spiritual dan pastoral bermanfaat.

Harus senantiasa diingat dan diperhatikan bahwa Mazmur Tanggapan adalah juga sabda Allah dan karenanya tidak boleh diganti oleh teks lain. Adalah selayaknya bahwa Mazmur Tanggapan dinyanyikan.


Rekomendasi keenam menyangkut musik liturgis yang diilhami Kitab Suci

"Untuk menekankan sabda Allah dalam liturgi, perhatian harus diberikan terhadap penggunaan lagu pada saat yang diberikan sesuai ritus partikular. Lagu utamanya dipilih yang memiliki inspirasi biblis dan yang mengekspresikan, melalui harmoni musik dan nada, keindahan sabda Allah. Sebagian besar lagu yang diwariskan tradisi Gereja memenuhi kriteria ini. Saya secara khusus memaksudkan pentingnya lagu Gregorian."

Rekomendasi ketujuh, perhatian bagi mereka yang cacat.

Terutama bagi mereka yang tidak bisa mendengar dan melihat, perhatian harus diberikan bagi mereka supaya mereka dapat berjumpa dengan sabda Allah.

Jumat, 05 November 2010

My Liturgical Journey

Apa yang saya dapat tentang liturgi, langung maupun tak langung berasal dari Pembaruan Hidup dalam Roh, yang kerap dikenal sebagai "pembaruan karismatik."
Persinggungan dengan gerakan ini mengisi kekosongan hidup rohani yang saya alami, dan saya akan selalu bersyukur karenanya.
Pembaruan hidup dalam Roh membawa saya pada formasi kehidupan rohani, devosi, Adorasi, Firman, dan Ekaristi.

Dan menariknya, membawa saya pada kecintaan terhadap liturgi.
Saya katakan menarik karena ada 2 sikap yang saya cermati ada dalam fenomena pembaruan hidup dalam Roh ini:
Yang pertama dan lebih kerap saya jumpai adalah orang-orang yang dinamis, menggebu-gebu, memiliki passion dan semangat, dan tulus berusaha menghidupi kehidupan rohani dengan serius.
Mereka dengan tulus berusaha membawa Allah kepada banyak orang.

Mereka menemukan sesuatu yang sama sekali baru dan segar secara spiritual, dibandingkan pengalaman rohani mereka sebelumnya.

Namun, seringkali mereka memandang pengalaman mereka sebelumnya sebagai sesuatu yang kaku, kering, bosan, "tidak ada urapan". Termasuk juga pengalaman dan pemahaman mereka akan liturgi Gereja.

Tergabung dalam kelompok ini adalah mereka yang memang tidak punya formasi liturgis, tetapi setidaknya tidak memandang kata liturgi seradikal sebuah penjara.

Untuk itu mereka mengusahakan suatu solusi.
Apa yang menyentuh mereka, sukacita dan kegembiraan mereka, hendak mereka refleksikan juga dalam penghayatan hidup liturgis mereka.

Mereka membawa pengalaman spiritual mereka, ke dalam liturgi. Lagu-lagu yang menyentuh mereka, ekspresi bebas yang mereka temukan, spontanitas yang mengalir dari hati.

Terjadi pertentangan antara yang 'sesuai aturan', yang dicap kaku, dengan yang 'bebas' yang diartikan sebagai membawa segala inovasi ke dalam liturgi, sering kali terjadi pembongkaran liturgi secara sepihak. Imam yang menggubah Doa Syukur Agung sendiri, atau umat yang hanya mau berpartisipasi dalam Ekaristi "karismatik," sebagai contoh ekstrimnya.

Kalau ini terdengar tidak asing, mungkin karena ini merefleksikan pengalaman pribadi rekan-rekan sendiri. Dan saya pun pernah memposisikan diri seperti ini.


Namun dalam kehidupan menggereja, saya menemukan orang dan kelompok yang punya pemahaman lain.
Beberapa adalah tokoh penting dalam pembaruan hidup dalam Roh, seperti Suster Briege McKenna, dan Romo Raniero Cantalamessa. Mereka bisa dibilang leader, tetapi menghidupi pembaruan hidup dalam Roh dengan cara berbeda.
Tampak luar konservatif, tetapi tidak ada yang meragukan bahwa mereka digunakan Allah secara efektif dan pendoa yang handal.

Juga persinggungan dengan kelompok-kelompok lain dalam Gereja, seperti misalnya Komunitas Emmanuel, membuka wawasan yang lebih luas tentang apa itu gerakan pembaruan hidup dalam Roh. Kelompok ini tidak memiliki 'warna' menggebu-gebu umumnya terbersit kalau kita mendengar "Karismatik", melainkan membawa warna kontemplatif. Untuk beberapa saat saya kerap mengikuti Adorasi yang diselenggarakan rutin oleh Komunitas Emmanuel.

Mendengarkan dan membaca juga menambah wawasan, bahwa pembaruan hidup dalam Roh tidak identik dengan kemasan luar tertentu. Seseorang dan suatu kelompok bisa sangat aktif dalam hidup baru tetapi tidak mengadopsi ekspresi yang biasa dijumpai dalam jemaat Pentakostal.
Perjumpaan dengan statuta ICCRS (International Catholic Charismatic Renewal Services), yaitu lembaga tingkat dunia yang memayungi dan menjadi kelompok-kelompok dan organisasi-organisasi Karismatik Katolik sedunia, membawa visi dan misi pembaruan hidup dalam Roh ke arah yang berbeda dari yang umumnya ditangkap umat kebanyakan.

Ditambah perkenalan saya dengan Ibadat Harian (Brevir) dan Pedoman Umum Ibadat Harian, yang bukan saja mengungkapkan tata-cara tetapi juga landasan teologis doa liturgi ini, menjadi pemicu pasti perkenalan saya dengan kekayaan liturgi Gereja Katolik. Dengan segera Ibadat Harian menjadi bagian dari kehidupan doa saya.

Api semakin dikobarkan oleh tulisan-tulisan yang saya baca dari penulis populer seperti Scott Hahn dan Kardinal Ratzinger (yang sekarang dikenal sebagai Paus Benediktus XVI). Dari Scott Hahn pula pertama kali awal perkenalan saya dengan istilah Teology of the Body, sekitar tahun 2004. Tulisannya tentang makna Covenant (perjanjian) dalam sejarah keselamatan dan sakramen sangat berkaitan langsung dengan perayaan liturgi Gereja.

Tulisannya yang berhubungan dengan studi Kitab Suci juga menekankan makna alegori Kitab Suci, bagaimana sejarah dalam Perjanjian Lama terkuak dalam Perjanjian Baru dan dihidupi kembali dalam perayaan sakramen-sakramen, yang adalah perayaan liturgi.

Semua semakin menarik ketika saya berjumpa dengan blog New Liturgical Movement, dan banyaknya interaksi saya dengan umat Gereja Katolik Timur lewat forum Katolik Byzantin.

Dari semua itu saya semakin disadarkan tentang keunikan liturgi Romawi, karakteristiknya, dan simbol-simbol yang ada di dalamnya.
Teks-teks liturgi, dan banyaknya kutipan Kitab Suci yang membentuk liturgi Romawi, menegaskan cara Gereja membaca Kitab Suci dan mengaktualisasikannya dalam liturgi. Dan bahwa dalam liturgi, kita tidak pernah menjadi penonton pasif, melainkan seorang partisipan aktif yang melaksanakan imamat rajawi kita bersama dan dalam Kristus, dalam ibadah raya bersama Gereja di surga dan di bumi.

Jika simbol sekedar simbol, struktur dan rubik sekedar struktur, maka mengganti semua itu supaya lebih aktual sangat masuk akal. Tetapi, kalau semuanya itu secara hati-hati dipertahankan dalam liturgi dan mengaktualkan Firman dalam aksi, maka mengganti semuanya itu demi selera dan penafsiran pribadi adalah gegabah. Apalagi kalau kita tak pernah menyediakan cukup waktu untuk mempelajarinya. Betapa kita selama ini baru mengenal kedalaman liturgi secara dangkal!
Tidak heran orang seperti Scott Hahn bisa begitu excited ketika ikut ambil bagian dalam Misa pertama kali! Kedekatannya dengan Kitab Suci membuatnya ambil bagian dalam Misa seolah menemukan mutiara yang sangat berharga.

Ternyata, saya tidak sendirian.
Ada teman-teman komunitas yang juga sampai pada pemahaman yang sama dan punya kerinduan yang sama. Anak muda yang menghabiskan waktu lama diskusi tentang liturgi sungguh salah satu keajaiban dunia. Bahkan dari kacamata teman-teman di komunitas pada umumnya.

Ada banyak juga komunitas-komunitas tradisional yang didirikan oleh orang-orang yang pernah bersentuhan dengan pembaruan hidup dalam Roh.

Perjumpaan dengan tulisan-tulisan Kardinal Suenens tentang awal gerakan Karismatik Katolik (Malines Documents - studi pertanggungjawaban tentang Karismatik Katolik pada awal mula munculnya, yang dilaporkan beliau kepada Paus Paulus VI dan Yohanes Paulus II dan Kardinal Ratzinger) semakin memperjelas visi misi pembaruan hidup dalam Roh yang dikehendaki Gereja.
Betapa mereka yang menyebut diri Karismatik harus membacanya!

Visi Gereja akan pembaruan liturgi, dan tulisan-tulisan para Paus (Yohanes Paulus II, Benediktus XVI) yang menekankan kesetiaan terhadap liturgi dan memerangi abuse, sebagai kunci pembaruan hidup Gereja di zaman kita bagi saya terdengar jelas sebagai karya dan arahan yang sama yang diberikan oleh Roh Kudus bagi pembaruan Karismatik.
Keduanya pasti sejalan, keduanya, pasti selaras.
Dan jika selaras, mungkin, dan saya menyakininya, gerakan pembaruan hidup dalam Roh akan lebih powerful ketika menghidupi liturgi Gereja dengan setia. Tetapi kelalaian dan inovasi di nadi kehidupan Gereja ini, walau berasal dari maksud dan niat yang baik, malah akan melemahkan, membawa disintegrasi, kekeringan, kekacauan dan menjauhkan kita dari visi dan misi otentik pembaruan.

Dari sini jelas, perjalanan saya di ranah liturgi, berawal dan berasal, dari pembaruan hidup dalam Roh dan masih digerakkan olehnya.

Rabu, 03 November 2010

Introit (Antifon Pembukaan)

Introit (nyanyian liturgi yang membuka perayaan Ekaristi) dan Antifon Pembukaan (teks liturgi yang dibacakan oleh umat/imam jika tidak ada nyanyian pembukaan, sebagian besar teks Antifon Pembukaan identik dengan ulangan Introit), adalah teks liturgi yang biasanya diambil dari Kitab Suci.

Introit ini menarik karena sering kali merupakan ringkasan atau tema dari seluruh perayaan Ekaristi hari itu.
Utamanya untuk perayaan hari Minggu, ada juga kebiasaan menyebut perayaan hari tersebut sesuai dengan kata pertama Introit yang dinyanyikan hari itu.

Misalnya, Minggu Adven III biasa disebut juga Hari Minggu Gaudete, sesuai dengan Introit hari itu: "Gaudete in Domino semper: iterum dico gaudete: modestia vestra nota sit omnibus hominibus: Dominus prope est. Nihil soliciti sitis: sed in omni oratione petitiones vestrae innotescant apud Deum."
Yang artinya, "Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah! Hendaklah kebaikan hatimu diketahui semua orang. Tuhan sudah dekat! Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan."
Teks ini diambil dari Surat Rasul Paulus kepada jemaat di Filipi 4:4-6.

Minggu Prapaskah IV biasa disebut juga Hari Minggu Laetare, sekali lagi sesuai dengan kata pertama Introit hari itu: "Laetare Ierusalem: et conventum facite omnes qui diligitis eam: gaudete cum laetitia, qui in tristitia fuistis: ut exultetis, et satiemini ab uberibus consolationis vestrae."
Yang artinya, "Bersukacitalah bersama-sama Yerusalem, dan bersorak-soraklah karenanya, hai semua orang yang mencintainya! Bergiranglah bersama-sama dia segirang-girangnya, hai semua orang yang berkabung karenanya! Bersuka dan segarkanlah dirimu dengan penghiburan yang mengalir dari dadanya yang bernas."
Yang merupakan teks dari nubuat Yesaya 66:10-11.

Adalah karakteristik Misa Romawi bahwa teks-teks Liturginya padat dan singkat, dipenuhi kutipan-kutipan Kitab Suci  yang menunjuk kepada Kristus dan peristiwa di sekitar Kristus.

Ini sesuai dengan adage Kitab Suci yang dinyatakan Gereja, bahwa Perjanjian Baru tersembunyi dalam Perjanjian Lama, dan Perjanjian Lama menjadi jelas dalam Perjanjian Baru.

Maka itu, mulai dari awal dimulainya Misa, kita sudah diajak Gereja untuk merenungkan Firman Tuhan. Kalimat singkat dari Kitab Suci hendak dibuka dan pemenuhannya akan terjadi dalam Ekaristi, yaitu dalam diri Kristus dan Gereja-Nya.
Tidak heran bahwa karakteristik Misa Romawi yang kedua adalah keheningan dan solemnitas, suasana meditatif yang diperlukan untuk mencerna dan menyerap Firman Allah dan seluruh aksi Liturgi yang terjadi.

Tentu saja, kemampuan untuk menyerap Liturgi seperti ini perlu dilatih dan diajarkan. Dan yang kedua, mengasumsikan kedekatan kita akan Kitab Suci. Mereka yang terbiasa bergaul dengan Kitab Suci akan menemukan bahwa Misa adalah Kitab Suci dalam aksi, dan sepenuhnya tentang Kristus dan adalah tindakan Kristus.

Tetapi kita punya banyak waktu untuk berlatih, minimal setiap hari Minggu kita merayakan Ekaristi.

Banyak umat yang sekarang tidak mampu menimba kekayaan rohani dan rahmat yang begitu dalam dari perayaan Ekaristi, aksi dan teks Liturgi, namun menjalani Misa karena kewajiban. Sebagian menyerah untuk datang ke perayaan Ekaristi sama sekali karena tidak tahu apa yang tersedia di sana.

Selain itu, umat kurang memahami bahwa dalam Ekaristi mereka bukan penonton. Mentalitas hiburan bahwa mereka datang mengharapkan suatu performance atau hiburan, budaya sibuk dan instan, membuat umat kurang menghargai waktu hening yang sangat vital dalam kehidupan rohani.

Akibatnya, alih-alih membiarkan Liturgi mengajar dan menyirami kita dengan Firman Allah, kita memilih memasukkan dalam Liturgi apa yang kita rasa menyentuh, menyenangkan, dan menjawab selera kita.

Mungkin memasukkan apa yang menarik umat ada gunanya sebagai awal katakese untuk mengajar umat spiritualitas Liturgi yang sejati. Tetapi jika berusaha menarik demi menarik itu sendiri menjadi tujuan, kita akan selalu berhadapan dengan kekeringan rohani dan eksperimentasi terhadap Liturgi demi menjadi menarik. Namun akhirnya umat akan selalu pergi, jajan, ke tempat lain yang diarasa lebih menarik, lebih menyediakan hiburan atau menjawab selera mereka.

Umat perlu diajarkan dan dibiasakan "mendengarkan" Liturgi menyampaikan dirinya secara penuh. Dan menimba dari dalamnya kekayaan spiritual yang selama ini tidak pernah secara penuh dihamparkan kepada mereka.
Ambil bagian dalam Liturgi membutuhkan sikap batin yang sama dengan sikap batin yang diperlukan untuk membaca Firman Allah, suatu Lectio Divina dalam aksi. Firman ini begitu hidup, memuncak pada momen dimana akhirnya apa yang sudah kita dengar dan renungkan, kita amini, sekarang menjelma dihadapan kita sendiri dalam rupa Roti dan Anggur, yang kita pegang, santap, dan satukan dengan diri kita sendiri.

Di sini, Gereja menyediakan Offertorium (nyanyian persembahan) dan Communio (nyanyian komuni). Tetapi biarlah akan kita bicarakan dalam tulisan yang terpisah.

Lagu dalam Liturgi

Mungkin bagi yang ikut Retret Destination Confirmed 2010 kemarin, ada yang terkejut ketika mendengar Antifon Komuni dinyanyikan.
Ada juga yang menanyakan, apa sih itu? Apa bedanya dengan lagu yang biasa dinyanyikan saat Misa?

Mungkin agak mengejutkan tetapi karakteristik Liturgi Ekaristi Romawi sangat minim madah/lagu, tetapi kaya akan kutipan Mazmur yang dinyanyikan berwujud ulangan dan ayat.

Seperti juga doa pembukaan, doa persiapan persembahan dan doa penutup yang sudah baku untuk tiap hari sepanjang tahun, demikian juga sebenarnya nyanyian liturgis dalam Misa.

Untuk tiap hari, sudah dirumuskan teks nyanyian yang berupa kutipan Kitab Suci, yang sangat berkaitan dengan bacaan hari itu, yaitu: Introit (pembukaan), Graduale (antifon tanggapan) yang sepadan dengan Mazmur Tanggapan, Bait Pengantar Injil, Sekwensia (untuk hari raya tertentu), Offertorium (persiapan persembahan), dan Communio (komuni).

Dari kalimat pertama Introit, biasanya kita menamai Misa dalam tahun Liturgi. Misalnya, Minggu Gaudete pada Minggu III Adven, diambil dari kalimat pertama Introit Minggu III Adven: "Gaudete in Domino semper: iterum dico, gaudete...", yang artinya: Bersukacitalah selalu dalam Tuhan, kukatakan sekali lagi bersukacitalah. Yang merupakan teks dari Filipi 4:4-5.

Pada pelaksanaan Misa extraordinaria, yang juga dirayakan oleh Gereja disamping Misa Paus Paulus VI yang biasa dirayakan dan kita kenal, bagian-bagian ini tidak boleh dilewatkan imam dan harus didoakan imam selain dinyanyikan umat/koor.

Nyanyian Liturgi sepanjang tahun ini diterbitkan sebagai buku yang disebut Graduale Romanum.
Namun karena sering kali ditemukan nada-nada kompleks yang sulit dinyanyikan koor/jemaat yang tidak punya paduan suara yang baik, diterbitkan juga Graduale Simplex, yaitu Nyanyian Gradual sederhana yang dapat dipakai sepanjang tahun.

Jika tidak dinyanyikan, untuk tiap perayaan Misa ada yang disebut Antifon (Pembukaan-Komuni), yang menurut ketentuan dibacakan oleh umat/imam. Karena teksnya untuk dibacakan, bisa sedikit berbeda dengan teks dari Graduale Romanum, namun umumnya teksnya sama. Misalnya, untuk Hari Raya Kristus Raja, baik Introit maupun Antifon Pembukaan diambil dari Why 5:12,1:6.

Lalu, mengapa sekarang sepertinya umat bahkan tidak tahu bahwa normatifnya nyanyian dalam Misa sebenarnya bagian dari Teks Liturgi yang sudah ditentukan?
Malahan timbul salah kaprah bahwa bagian-bagian dalam Misa yang biasa diisi lagu, merupakan selingan yang bisa diganti atau dipilih lagu sesuka hati. Misa perkawinan misalnya.

Ada beberapa sebab:
1. Terjadinya pengembangan Leksionari, yang tadinya berulang setiap setahun, menjadi 3 tahun (Tahun A, B, C). Ini diterbitkan lebih dulu selagi Graduale Romanum diekspansi menjadi masa liturgi 3 tahun. Akibatnya timbul kekosongan.
2. Undangan bagi para musisi untuk menelurkan lagu-lagu baru, ditambah panggilan untuk inkulturasi.
3. Kekacauan interpretasi untuk keterbukaan terhadap dunia atas nama "Semangat Konsili Vatikan II."
4. Penggunaan bahasa setempat.
5. Provisio dalam Pedoman Umum Misale Romawi, yang mengatakan:

....Nyanyian tersebut dapat berupa mazmur dengan antifonnya yang di ambil dari Graduale Romanum atau dari Graduale Simplex. Tetapi boleh juga digunakan nyanyian lain yang sesuai dengan sifat perayaan, sifat pesta, dan suasana masa liturgi, asal teksnya disahkan oleh Konferensi Uskup. (Pedoman Umum Misale Romawi 48)

Provisio lagu lain ini utamanya ditujukan bagi Konferensi Waligereja untuk melakukan penterjemahan dan inkulturasi Graduale, dan memacu para pemusik untuk menghasilkan karya lagu liturgis, yang itupun harus disahkan oleh Konferensi Waligereja setempat untuk menjamin teks dan nada, sesuai dengan kaidah Liturgi.

Dalam kekosongan teks Graduale dalam bahasa lokal, bahasa Latin ditinggalkan sama sekali demi bahasa setempat (walaupun Pedoman Umum Misale Romawi mengatakan bahwa Nyanyian Gregorian dan bahasa Latin menempati tempat terhormat dan umat dihimbau untuk tidak sama sekali buta terhadap teks Latin yang umum), dan semangat menggebu-gebu untuk usaha inkulturisasi, kekosongan ini diisi oleh lagu-lagu yang awalnya eksperimentatif, tapi kemudian menjadi permanen karena kebiasaan. Sementara itu, Graduale tidak pernah diterjemahkan. Di Indonesia, yang sukses diinkulturisasikan barulah Mazmur Tanggapan.

Dari sini timbul pemikiran bahwa semua lagu boleh digunakan.
Di sini perlu diperhatikan bahwa tidak semua lagu rohani adalah lagu Liturgis.
Mudahnya, nyanyian/lagu Liturgis adalah doa-doa Liturgi/Ibadat yang dinyanyikan, dan mengindahkan peraturan-peraturan menurut Tradisi dan Tertib Gerejawi.
Lagu liturgis adalah lagu rohani yang khusus. Dan adalah tugas Konferensi Waligereja untuk memastikan bahwa hanya lagu dan teks liturgis yang diperbolehkan untuk perayaan Liturgi.

Namun kecenderungan umat sekarang ini, adalah memasukkan lagu-lagu rohani apapun, bahkan lagu-lagu non-rohani ke dalam perayaan Liturgi. Padahal ini secara langsung bertentangan dengan tertib Gerejani (lihat Konstitusi tentang Musik di dalam Liturgi, Musicam Sacram).

Atas berbagai pertimbangan ini, saya mengusahakan untuk menggunakan kesempatan diberi tanggung jawab membantu jalannya perayaan Ekaristi dengan berusaha menggunakan pilihan lagu liturgis yang ada, dan menggunakan teks dari Antifon yang diseting ke dalam nada Mazmur dari Graduale Romanum (menggunakan nada yang lebih sederhana).

Penggunaan lagu-lagu yang biasa digunakan dalam Persekutuan Doa, saya batasi di luar perayaan Ekaristi (sebagai conditioning sebelum Misa dan pada akhir Misa). Penggunaan dalam Ekaristi sendiri saya batasi sebagai pilihan terakhir, itupun saya batasi lagi dari buku Kidung Syukur yang setidaknya mendapat persetujuan eksperimental dari KAJ.

Bukannya saya anti dengan lagu-lagu rohani populer, tetapi saya berusaha bertanggungjawab menempatkannya di tempat yang tepat berbekal informasi yang saya miliki.

Yang kedua karena saya melihat adanya potensi bahwa ini bisa dilakukan, baik oleh para singer dan pemusik, dan dukungan dari Romo Deshi dan Riko.

Semoga perayaan Ekaristi yang kita rayakan, justru menjadi sekolah yang membentuk kita, dan membuat kita lebih peka mendengarkan Firman Tuhan lewat Nyanyian Liturgis yang hampir semuanya adalah kutipan-kutipan Kitab Suci yang dinyanyikan.