Kamis, 23 Desember 2010

Liturgipandang Hari Raya Natal

Artikel ini saya tulis untuk sebuah mailing list, dan sekarang saya sertakan di blog saya ini dengan sedikit perbaikan
-----------------------------------------------------------------

Hari Raya Natal dalam kalender Gereja Latin dimulai sejak Ibadat Sore pertama Natal (Vesper I), yaitu tanggal 24 Desember senja hari.
Pada 24 Desember senja hari, dirayakan Vigili Natal, yang memulai seluruh rangkaian proklamasi dan Liturgi kelahiran Kristus, teofani Allah dalam daging.

Vigili Natal belum secara spesifik merayakan kelahiran Kristus, tetapi bercorak menanti proklamasi kelahiran Kristus.
Seperti seorang ayah menanti anak yang sedang dilahirkan, kita menanti jeritan tangis pertama anak yang sudah didamba-dambakan tersebut lahir ke dunia.
"Hari ini kamu akan mengetahui bahwa Tuhan datang untuk menyelamatkan kita, dan besok kamu akan melihat kemuliaan-Nya," demikianlah Introitus pembukaan Misa Vigili Natal, yang disadur dari Keluaran 16:6-7.
Dalam Injil silsilah Yesus Kristus dibacakan dan dikisahkan Yosef menerima Maria ke dalam rumahnya (Matius 1:1-25).


Ketika hari berganti, yaitu pada (menjelang) tengah Malam, Gereja merayakan Liturgi Natal Tengah Malam.
Amat disayangkan bahwa di kebanyakan paroki, Liturgi Natal Tengah Malam ini biasa dirayakan sebagai pengganti Vigili Natal. Biasanya Gereja-gereja sudah merayakan Liturgi ini sejak tanggal 24 sore, walau sebenarnya ini praktek yang tidak tepat.
Mungkin alasannya karena umat tidak rela kehilangan momen pada perayaan paling meriah ini. Biasanya dimulai dengan pembacaan Kalenda (Proklamasi Kelahiran Yesus Kristus) yang diambil dari Ibadat Bacaan (Ofisi Matins) Natal, kemudian tergantung tradisi lokal setempat patung kanak-kanak Yesus biasa di tahtakan.
Gereja dipenuhi kekaguman ketika seruan Allah Bapa bergema memenuhi Gereja, di tengah malam yang dingin dan gelap dan kilapan cahaya lilin:
"Ia berkata kepadaku: 'Anak-Ku engkau! Engkau telah Kuperanakkan pada hari ini! Mengapa rusuh bangsa-bangsa, mengapa suku-suku bangsa mereka-reka perkara yang sia-sia? Raja-raja dunia bersiap-siap dan para pembesar bermufakat bersama-sama melawan TUHAN dan yang diurapi-Nya: Mintalah kepada-Ku, maka bangsa-bangsa akan Kuberikan kepadamu menjadi milik pusakamu, dan ujung bumi menjadi kepunyaanmu." (Mazmur 2:7, 1, 2, 8).

Begitulah bunyi Introitus pembukaan kelahiran Yesus Kristus, sabda Allah Bapa kepada PuteraNya yang amat dikasihiNya.
Walau kelemah-lembutan, kesederhanaan, dan kemiskinan Kristus sering menjadi perhatian kita selama Natal, Introit Natal Tengah Malam sebenarnya memberikan nuansa yang sama sekali berbeda.
Di satu sisi, ini adalah pernyataan keilahian Yesus Kristus, kata-kata yang sama bergema pula saat Pembaptisan Yesus dan ketika Yesus dipermuliakan dengan berubah rupa di atas gunung Tabor.
Di satu sisi, memperlihatkan bahwa Yesus adalah raja Israel, keturunan Daud yang selama ini dinanti-nantikan, sudah tiba saatnya Israel dibebaskan dari perhambaannya. Kita berhadapan dengan seorang Raja yang sangat mulia. Mazmur 2, sebagai informasi, adalah Mazmur yang dinyanyikan ketika Raja Israel naik tahta.
Suara liturgi ini sering kali hilang, tertelan lantunan lagu-lagu Natal populer bahkan sekuler, yang walaupun mungkin tidak kehilangan seluruh semangat Natal, namun sepertinya malu menampilkan sisi rajawi-ilahi Kristus.

Drama Natal dan segala paradoksnya dimulai. Raja yang sedemikian mulia, yang dimaklumkan sendiri oleh Bapa, lahir di tempat tumpangan, diletakkan di palungan. KeberadaanNya yang lemah, membuat kita iba. Namun Ia penuh kuasa! Sia-sialah kuasa dunia dihadapanNya, Ia akan menaklukkan seluruh alam raya!

Injil malam ini, Lukas 2:1-14, menceritakan kelanjutan dari Vigili Natal yang dirayakan beberapa saat sebelumnya. Yesus lahir di Betlehem, dan isi surga merayakannya. Balatentara malaikat memproklamasikan kelahiranNya kepada para gembala di padang: "Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa: Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud."


Namun, perayaan kita belum selesai sampai di sini. Walaupun ini mungkin liturgi Natal yang paling banyak kita ikuti dan kita nanti-nantikan.
Pada saat fajar merekah, Gereja kembali menghadap Kristus dalam Liturgi Natal Fajar.
Introitus Liturgi Natal Fajar diambil dari Yesaya 9:2,6: "Bangsa yang berjalan di dalam kegelapan telah melihat terang yang besar; mereka yang diam di negeri kekelaman, atasnya terang telah bersinar. Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putera telah diberikan untuk kita; lambang pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebutkan orang: Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai."

Seperti merekahnya fajar dan mulai bersinarnya cahaya mengenyahkan kegelapan, demikian juga harapan dan sukacita yang dibawa pada perayaan Natal Fajar ini. Semalam kita telah menantikan dan telah melihat sendiri sang Terang. Kita telah menyaksikan "Terang yang besar," sang Putera telah diberikan kepada kita, seorang Raja yang akan memerintah kita.

Bagaimana tanggapan kita? Apa yang pantas kita berikan kepadaNya? Mari kita bersama para gembala, seperti dikisahkan pada Injil pada fajar ini (Luk 2:15-20), datang menghadap Dia. Mereka menceritakan perbuatan ajaib Allah kepada mereka, tentang para malaikat yang memberitakan kelahiran Kristus, dan mereka pulang kembali dengan sukacita sambil memuliakan Allah.


Fajar telah usai, dan Gereja merenungkan misteri besar ini dalam Liturgi Natal Siang. Tepatnya ini adalah Liturgi Natal yang dirayakan pada tanggal 25 Desember setelah fajar, entah siang hari, sore, atau malam.
Sekali lagi Gereja menyerukan perbuatan besar Allah, "seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putera telah diberikan untuk kita; lambang pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebutkan orang: Penasihat Ajaib. Nyanyikanlah nyanyian baru bagi TUHAN, sebab Ia telah melakukan perbuatan-perbuatan yang ajaib."  (Introit Pembukaan Yesaya 9:6, Mazmur 98:1).

Seruan terhadap karya ajaib Allah ini menjiwai seluruh Liturgi Natal Siang, terutama dalam Injil Liturgi Natal Siang, yang kedalaman dan keindahannya begitu menjiwai Gereja, Yohanes 1:1-18: "Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah..."


Kita telah sekilas pandang ambil bagian dalam perayaan Liturgi Hari Raya Natal HARI PERTAMA.

Mengejutkan? Natal adalah salah satu hari raya yang pada kalender Liturgi Latin dirayakan sebagai Oktaf (satu lagi yang dirayakan sebagai Oktaf adalah Hari Raya Paskah). Artinya Hari Raya Natal dirayakan selama 8 hari sebagai satu perayaan.
Secara Liturgis, hari-hari dari tanggal 25 - 31 Desember dirayakan sebagai Hari Raya Natal, dalam setiap perayaan Liturgi Gereja (Ekaristi, Ibadat Harian).
Pada Oktaf Natal jatuh beberapa pesta: 26 Desember Pesta St. Stefanus, martir pertama. 27 Desember Pesta St. Yohanes, pengarang Injil. 28 Desember Pesta Kanak-kanak Suci, martir. Juga dirayakan Pesta Keluarga Kudus pada hari Minggu dalam Oktaf Natal (atau dirayakan tgl 30 Desember jika tidak ada hari Minggu yang jatuh pada Oktaf Natal).
Oktaf Natal ditutup dengan perayaan Hari Raya Maria Bunda Allah pada tanggal 1 Januari (Pesta Yesus Disunat menurut kalender liturgi lama, seusai tradisi Yahudi, seorang anak disunat pada hari ke-8).

Memandang Masa Natal

 Artikel ini saya tulis untuk sebuah mailing list, dan sekarang saya sertakan di blog saya ini dengan sedikit perbaikan.
-----------------------------------------------------------------

Mungkin banyak yang terkejut kalau saya mengatakan hal ini: Bahwa fokus Natal, dan masa Natal dalam tahun liturgi Gereja, bukanlah pada "Ulang Tahun" atau "Kelahiran Yesus." Walaupun Hari Raya Natal, tanggal 25 Desember secara praktis merupakan hari yang diperingati secara paling meriah selama masa Natal.

Tanpa masuk ke dalam paparan sejarah mengenai perayaan Natal dalam sejarah Gereja, Timur dan Barat, fokus keduanya satu dan sama, yaitu "Pewahyuan Diri Allah kepada seluruh dunia dalam diri Kristus," atau istilah Yunaninya, "Teofani/Theophany," penampakan diri Allah.

Selama Masa Natal, kita memperingati dimana Yesus, sebagai pewahyuan diri Allah, ditunjukkan kepada manusia, kepada dunia, kepada Israel dan orang-orang non-Yahudi sebagai perwujudan Allah yang benar yang dinantikan seluruh manusia. Salah satu wujud teofani ini adalah lahirnya Yesus sebagai manusia. Tetapi tidak berhenti di situ, Gereja melanjutkan refleksinya tentang bagaimana teofani Allah ini ditanggapi manusia.

Secara singkat, masa Natal membuka kepada kita drama ini kepada kita. Kita melihat Maria dan Yosef yang menerima Wahyu Allah itu dengan gembira. Diikuti para gembala yang menerima misteri ini dengan sukacita, mereka mewakili Israel dan orang-orang yang sederhana, yang miskin, yang berkehendak baik. Kita juga melihat bagaimana Israel yang menantikan Penyelamatnya menyongsong Yesus, dalam diri Simeon dan Hannah.

Namun tidak selalu demikian, bersama Natal ada dukacita besar. Gereja memperingati dalam masa Natal ini kemartiran para kanak-kanak Betlehem (Pesta para Kanak-kanak suci, 28 Desember) yang dibunuh Herodes yang mencari Kristus. Juga kita memperingati bagaimana Keluarga Kudus, harus melarikan diri ke tanah Mesir dan tinggal sebagai orang asing di negeri orang.

Di Gereja Latin, Pesta besar kedua dalam masa Natal adalah ketika para Majus datang menemui Yesus, yang dalam kalender Gereja Latin dikenal sebagai pesta Epifani (Penampakan Kemuliaan Tuhan). Dalam pesta ini, dirayakan pewahyuan diri Allah bagi bangsa-bangsa bukan Yahudi. Bahwa akhirnya, bangsa-bangsa yang tinggal dalam kegelapan melihat cahaya terang yang menuntun mereka.

Dalam kalender Gereja Latin, perayaan Natal ditutup dengan Pesta Pembaptisan Kristus. Dalam kalender Gereja Timur, ini adalah pesta besar. Bagi mereka inilah pesta Epifani. Banyak dari kita berpikir apa hubungannya pembaptisan Yesus pada masa Natal? Apa sekedar menyatakan bahwa sekarang Yesus sudah dewasa dan masa kanak-kanak sudah lewat?

Tidak sepenuhnya salah. Pembaptisan Yesus adalah awal mula masa pelayanan Yesus. Dia yang selama ini tersembunyi dari orang banyak, besar seperti anak-anak lainnya, sekarang menyibakkan tirai yang menyembunyikan diriNya, menampakkan kemuliaanNya. Ini adalah teofani Allah dalam diri Yesus kepada orang banyak, "Inilah Anak yang Kukasihi, yang kepadaNya aku berkenan." Misteri yang selama ini dibukakan pada sedikit orang (Maria, Yosef, para gembala, Herodes, para Majus, Hannah dan Simeon), sekarang dinyatakan secara publik kepada seluruh dunia ketika Allah memperkenalkan AnakNya terkasih kepada orang banyak.

Namun juga pada Pembaptisan Yesus, Teofani, penampakan diri Allah yang lebih mengejutkan diwahyukan kepada seluruh dunia: Bapa, Putera dan Roh Kudus. Pewahyuan diri Allah yang tersembunyi sejak awal mula, siapakah Allah, diwahyukan kepada dunia dalam Pembaptisan Yesus. Dalam Gereja Timur, teofani Tritunggal secara istimewa dan meriah dirayakan pada hari ini.

Pada artikel selanjutnya, kita akan melihat bagaimana Gereja membawa menelusuri Hari Raya Natal lewat 4 Perayaan Ekaristi Natal sepanjang 24 Desember - 25 Desember dan selama Oktaf Natal.

Rabu, 15 Desember 2010

Bagaimana Forma Extraordinaria Memperkaya Forma Ordinaria - Uskup Pascal N'Koué

Bagaimana forma extraordinaria membantu kita merayakan forma ordinaria dengan lebih baik? Berikut beberapa point:

1) Reevaluasi Misa sebagai korban (Liturgi Ekaristi, bagian kedua dari Misa). Selebran dan koor harus hilang dihadapan Tuhan, menghilangkan kreatifitas berlebihan yang menarik perhatian manusia. Ekaristi adalah Kristus yang mempersembahkan diriNya kepada Bapa. Pada puncak perayaan dalam tahun liturgi, seperti Adven dan Prapaskah, mengapa tidak kita rayakan dengan kembali berfokus, menghadap Salib, versus dominum, atau ad orientem. Ini mendorong rekoleksi, memusatkan perhatian kita pada misteri Salib yang sekarang mengarahkan kehidupan setiap murid Kristus. Sejujurnya, rubik perayaan (forma ordinaria) menyatakan bahwa posisi liturgi Ekaristi (bagian kedua dari Misa) tidak saling berhadapan.

komentar: dalam buku TPE ada bagian-bagian khusus, seperti ketika memberi salam kepada umat, dimana imam diminta secara spesifik menghadap umat. Pada bagian-bagian lain, dan utamanya bagian Liturgi Ekaristi, rubik berforkus pada imam berhadapan dengan Altar dan Tubuh dan Darah Tuhan. Walau pun dalam Misa dimana imam menghadap umat ("versus populum"), fokus liturgi pada bagian itu bukanlah umat.

2) Memberi lebih banyak ruang untuk bahasa Latin dalam perayaan. Ingat bahwa nyanyian Gregorian adalah nyanyian proper liturgi Romawi. Nyanyian yang hanya menggugah indera akan sangat berguna jika dirombak supaya layak disebut musik liturgi. Mari kita hindari kebisingan alat-alat musik, lirik yang kering dan irama yang terlalu profan dalam liturgi kita.

3) Jangan meletakkan kursi selebran di depan Altar. Liturgi bukan tempat untuk pagelaran.

Bagi para Imam:

4) Beri Komuni dengan membuat tanda salib dengan Hosti. Dapat diterima umat berdiri atau berlutut.

5) Persiapkan diri dalam keheningan sebelum Misa mulai, yang juga berarti imam yang datang terlambat jangan berkonselebrasi ketika Misa sudah mulai.

6) Kembalikan kehendingan yang suci dalam perayaan, seperti misalnya tidak menyanyikan refren lagu sewaktu Tubuh dan Darah Tuhan diunjukkan.

7) Gunakan Doa Syukur Agung I pada hari Minggu atau Hari Raya. DSA I lebih agung dan lebih "inkulturatif."



Teks lengkap bahasa Inggris (terjemahan New Liturgical Movement):

Specifically, how the extraordinary form may help us to better celebrate the ordinary form? Here are some points:

1) Revaluate the sacrificial moment or second part of the Mass. The celebrant and choir should disappear before God, eliminating the fabricated and pernicious creativities that draw the eyes on man. The Eucharist is Christ who offers Himself to His Father. During the climaxes of the liturgical year such as Advent and Lent, why not celebrate all turned towards the Cross, "versus Dominum," or "ad orientem". This encourages recollection, draws our attention to the mystery of the Cross (our East), which now orients every life of a disciple of Christ. Truth be told, the rubrics prescribee that the position for the sacrificial part of the Mass be not face to face.

2) Give a little more room to Latin in our celebrations. Remember that Gregorian chant is the singing proper to the Roman liturgy. The songs which are just good to stir our senses would benefit from being reworked in order to deserve to be called sacred music. Let us avoid the din of musical instruments, the banality of lyrics and the shallowness of beats too profane in our liturgies.

3) Do not put the seats of celebrants before the altar of the Holy Sacrifice anymore. The liturgy is not a place for exhibition.

For Priests:

4) Give Holy Communion, making the sign of the cross with the consecrated Host. The faithful may receive it standing or kneeling.

5) In silence, prepare before the start of the Mass; which presupposes the non-concelebration of priests who are late, when Mass has already begun.

6) Reintroduce sacred silence in our celebrations, for example by suppressing the refrains sung at the elevation of the Body and Blood of Christ.

7) Use the Roman Canon or Eucharistic Prayer No. 1 on Sundays or Holy Days. It is more solemn and more "inculturated".



Referensi: An African Bishop on Summorum Pontificum, Mutual Enrichment, and the Reform of the Reform
Teks asli dalam bahasa Perancis: Réforme de la réforme : les propositions de Mgr N’Koué

Laporan Implementasi Summorum Pontificium dari Afrika

Dalam Summorum Pontificium (2007), yang membebaskan secara luas pelaksanaan Liturgi tahun 1962 (Tridentin), Paus meminta para uskup memberikan laporan implementasi 3 tahun setelah diterbitkannya dokumen tersebut.

Salah satu laporan diberikan oleh Uskup dari Diosis Natitingou, Benin, Yang Mulia Pascal N'Koué. Laporan ini diterbitkan dalam surat kabar Keuskupan.

Ringkasan:
Beliau berpendapat bahwa kedua forma bisa hidup berdampingan dan saling melengkapi. Pelaksanaan Misa forma Ekstraordinaria (Tridentin) membuat para imam muda di keuskupan semakin menghayati dan menghormati Altar, keheningan, doa-doa liturgi proper, tindakan-tindakan liturgis (seperti tanda salib dan berlutut) dan orientasi liturgi (bersama umat menghadap Salib - posisi ad orientem). Secara singkat, ritus Tridentin memberi kesempatan untuk semakin memahami dan semakin menghargai ritus Paulus VI (forma Ordinaria pasca Konsili Vatikan II).

Beberapa dari imam-imam di keuskupan secara spontan mempelajari dan mulai mempersembahkan ritus Tridentin ini. Terjadi saling memperkaya antara kedua forma. Terjadi internalisasi makna rubik. Hal-hal yang tadinya diperdebatkan (seperti makna misteri, kekudusan, adorasi, kemuliaan Ilahi, partisipasi aktif) sekarang mengalir secara natural.



Berikut teks lengkapnya dalam bahasa Inggris, diterjemahkan oleh New Liturgical Movement:

Natitingou, June 15, 2010

Your Eminence,

It is with joy that, upon request of the Apostolic Nunciature to Benin, I inform you of our experience concerning the Motu Proprio of Pope Benedict XVI, "Summorum Pontificum".

At the outset I would like to say that the Extraordinary Form of Roman Rite has been introduced in my diocese in October 2003, i.e. before the Motu Proprio. My conviction that these two forms can coexist peacefully and enrich each other is beyond doubt and long held. In my humble opinion, the two forms have no problem (sc. with each other). The conflicts come from our sick and intoxicated hearts or our ideologies arising from the narrowness of our minds and our formation courses which are too set in their ways.

As you will read in the report - delivered herewith, prepared by Father Denis Le Pivain, parish priest of St. John the Baptist - there have been no waves in Natitingou, but still a little turbulence ... The priest does not undertake anything without consulting the bishop. This is one of his great merits. The unity of the Church obliges. In fact, there is a remarkable sympathy and harmony among all the priests on this subject.



Personally, I must profess that the celebration in the old form is an opportunity for my young clergy and the entire diocese. It allows one to value more highly the altar (prayer at the foot of the altar), the sacred silence, the secrets, the multiple signs of the cross and genuflections and even the fact that we are all turned towards the Cross (ad orientem position). In short, the Tridentine rite offers us an opportunity to better understand and better appreciate the rite of Paul VI.

Several of my priests, without any pressure from my part, have spontaneously begun to learn to celebrate the Mass of St. Pius V or more exactly the mass of Pope John XXIII. Obviously the more one emphasizes the "ars celebrandi", the more both forms influence each other positively. When the rubrics are internalised, the liturgy touches the faithful with its beauty and depth; and one no longer needs to quarrel about the mystery, the sacred, adoration, the majesty of God and active participation. It goes without saying. In addition, the Roman Canon and the liturgical gestures in the old rite are closer to our African religiosity and sensibility. I speak only for my diocese.

My wish is that one day every priest is able to celebrate in both forms. It is not impossible, especially if they are introduced in our seminaries. But here in Natitingou, we cannot apply the old rite pure and simple, ignoring the light of "Sacrosanctum Concilium". Everything is there. The extraordinary form cannot ignore the Second Vatican Council, just as the ordinary form cannot ignore the ancient rite without being impoverished. There is a balance to be kept. The Commission "Ecclesia Dei" seems to encourage us to continue in this direction.

I close by invoking the Sacred Hearts of Jesus and Mary on all priests. It is God's love which will save the world and not the rites as such. Let us work to awaken that passion for the Crucified who loved us and gave Himself for us.

In hopes of having answered somewhat according to your request, I assure you, Your Eminence, of my faithful cooperation in the One, Holy, Catholic and Apostolic Church.


Pascal N'KOUE



Referensi: An African Bishop on Summorum Pontificum, Mutual Enrichment, and the Reform of the Reform
Teks asli dalam bahasa Perancis: Application du Motu Proprio : le compte-rendu d’un évêque africain

Selasa, 07 Desember 2010

Kanon Reguler Saint John Cantius menyediakan video tutorial Misa forma Ordinaria

Banyak yang sudah cukup kenal dengan artikel dan video tutorial Misa forma Extraordinaria (Tridentin) yang diproduksi oleh Kanon Reguler Saint John Cantius yang bisa diakes dari website Sancta Missa.


Tetapi banyak juga yang tertarik untuk merayakan Misa forma Ordinaria (Paulus VI) dengan semangat kontinuitas dengan liturgi Romawi sebelum Konsili Vatikan II (forma Extraordinaria). Beberapa pertanyaan mendasar misalnya bagaimana membawakan Misa forma Ordinaria ad orientem (menghadap ke arah timur, umat dan imam menghadap ke arah yang sama, ke arah Altar).


Kanon Reguler Saint John Cantius melayani umat dengan mempersembahkan kedua forma Misa dalam kehidupan paroki yang menjadi tanggung jawab mereka. Untuk menolong melatih para imam membawakan Misa forma Extraordinaria, mereka membuat website website Sancta Missa sebagai referensi online. Berbagai video  Misa, Ofisi Suci dan perayaan Sakramen menurut forma Extraordinaria tersedia.

Sekarang mereka juga mulai menyediakan bahan-bahan online untuk perayaan Misa forma Ordinaria ad orientem. Bisa dialihat dari halaman berikut ini: Ordinary Form Tutorial.