Senin, 07 November 2011

Komunitas dan Bedhol Desa....

Tanggal 5 November 2011, Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) mengadakan event untuk menjaring orang-orang muda KAJ. Salah satu kegiatan dari event tersebut adalah mengadakan temu-kenal komunitas-komunitas kategorial KAJ. Masing-masing komunitas diberi booth untuk memperkenalkan komunitasnya.

Saya melihat banyak sekali komunitas yang menarik, baik yang memiliki jejaring internasional maupun yang berdiri sebagai komunitas lokal.

Contoh komunitas yang berjejaring internasional yang berpartisipasi adalah Komunitas Emmanuel yang berpusat di Perancis; Antiokhia yang awal berdirinya di Amerika Serikat; Komunitas Tritunggal Mahakudus yang merupakan komunitas asli Indonesia yang sekarang sudah melanglang buana; Light of Jesus Family Indonesia yang didirikan oleh Bo Sanchez, seorang evangelis Katolik ternama dari Filipina.

Sementara komunitas lokal yang ada di KAJ sebagai contoh adalah Orang Muda Katolik Perduli Bangsa; Kelompok Karyawan Muda Katolik; Yayasan Kasih Mulia yang memiliki keperdulian khusus terhadap pencandu narkoba; dan Domus Cordis yang merupakan komunitas orang muda Katolik yang mengejar mimpi dengan fondasi Teologi Tubuh yang diajarkan Paus Yohanes Paulus II.

Belum semua komunitas dan kelompok saya sebutkan di sini, hanya beberapa saja yang kebetulan melewati benak dan pikiran saya ketika menuliskan artikel ini. Saya melihat semua komunitas dan kelompok ini luar biasa memperkaya Gereja Katolik, di KAJ khususnya.

Namun, banyaknya komunitas juga menimbulkan ketegangan tersendiri, terutama dan utamanya berkenaan dengan perpindahan anggota dari satu komunitas ke komunitas lain. Ini adalah kenyataan yang terjadi di lapangan, sesuatu yang tidak bisa dipungkiri pasti terjadi.

Saya pribadi pernah berada di satu komunitas selama kurang lebih 10 tahun, sebelum akhirnya memutuskan untuk berkomitmen di komunitas lain, meninggalkan komunitas saya yang lama.

Tentunya, bagi setiap orang, perpisahan adalah kenyataan yang pahit dan menyakitkan bagi kedua belah pihak: yang meninggalkan dan yang ditinggalkan.

Ada berbagai cara pandang memaknai seorang anggota komunitas yang sudah lama saling kenal, saling berbagi suka duka bersama, kemudian beralih.

Ada yang melihat orang yang beralih sebagai seorang penghianat, seorang anggota keluarga yang terhilang. Apalagi kalau keberadaannya sudah menghasilkan bonding yang kuat dengan anggota komunitas yang lama.

Namun, bisa juga kita melihatnya sebagai sesuatu yang patut disyukuri dan menggembirakan. Bukan karena akhirnya seorang pengganggu meninggalkan kawanan, melainkan karena dengan demikian, sebuah kelompok berhasil mengarahkan seorang anggotanya, lewat proses discernment bersama-sama, mencari apa yang terbaik bagi satu anggota keluarga yang dikasihi. Apa yang menjadi kehendak dan rencana Allah bagi anggota keluarga yang berarti ini.

Berbeda dengan kehidupan seorang religius, komunitas awam kenyataannya jauh lebih "encer." Seorang awam non-religius berasal dari berbagai usia dan latar belakang. Ada yang seorang mahasiswa, seorang pelajar, seorang pekerja. Ada yang lajang, ada yang sudah berkeluarga, ada yang mempersiapkan pernikahan, ada yang mencari arah panggilan hidup. Ada yang mapan menetap di satu wilayah, ada yang sering berpergian. Macam-macam.

Masing-masing dari mereka memiliki kehidupan rohani yang berbeda pula, dan sangat mungkin berubah ketika terjadi perubahan dalam hidup mereka. Mahasiswa yang mulai terjun ke dunia pekerjaan, baru membina keluarga, ataupun berbagai perubahan lain dalam hidup mereka.

Walaupun dalam kehidupan berkomunitas, praktik yang sehat adalah seorang anggota komunitas berangkat dari harapan dan kerinduan untuk memberi kepada anggota yang lain, bukan sekedar datang untuk di-entertain atau karena ingin memperoleh sesuatu; namun di satu sisi komunitas memiliki visi dan misi spesifik yang berusaha menjawab kerinduan dan kebutuhan orang dari segmen tertentu dalam Gereja dan masyarakat.

Ketika seseorang mencapai titik kehidupan tertentu, mungkin saja seorang anggota komunitas terpanggil untuk menerima pembinaan, berbagi dan berkarya secara berbeda, yang berbeda dari visi misi komunitasnya.

Dalam situasi ideal, perpisahan ini terjadi berkat proses discernment yang didukung oleh anggota komunitas. Perpisahan yang terjadi, walaupun tidak menyenangkan, merupakan jawaban atas ketaatan terhadap suara Allah, kebutuhan dan kebaikan anggota komunitas yang hendak menjalani kehidupan baru.

Idealnya, komunitas yang satu adalah partner dari komunitas yang lain, bukan saingan apalagi rival dan musuh. Masing-masing membangun Gereja bersama-sama, tetap dalam persaudaraan sebagai anggota Gereja yang satu.

Tentunya tidak ada komunitas yang sempurna.
Masing-masing komunitas adalah entitas yang jatuh-bangun, mereformasi dan direformasi ke arah yang lebih baik.

Tidak semua skenario ideal berjalan dalam kenyataan. Ada anggota yang memilih berpisah karena kecewa. Ada anggota yang merasa rumput di ladang tetangga selalu lebih hijau. Ada anggota yang memang dari awalnya tidak ingin berkomitmen. Ada yang keluar karena memang komunitasnya loyo. Ada komunitas yang alih fungsi dari komunitas kristiani menjadi komunitas arisan atau organisasi sosial semata. Macam-macam skenario dengan berbagai macam rasa, campuran, kombinasi dan topping tidak terbatas.

Siapa yang disalahkan?
Bisa jadi tanggung jawab pribadi anggota yang tidak secara serius mau berjalan bersama komunitasnya.
Bisa jadi komunitasnya mulai kehilangan arah dan tujuan.
Bisa jadi keadaan menyebabkan segala usaha dan upaya menjadi tidak ideal.
Kita tentu saja harus selalu melihat konteks.

Karena itu sebuah komunitas harus berjuang, setiap saat, untuk meningkatkan kualitasnya. Dengan demikian sebuah komunitas benar-benar dapat menjadi sebuah wadah untuk membina, membangun, memberi. Sehingga jika sebuah perpisahan terjadi, komunitas yang ditinggalkan bisa berbangga telah melepas seorang anggota keluarga yang menjawab panggilan Tuhan, yang telah dibesarkan dengan baik.

Perpisahan adalah cermin yang memperlihatkan berbagai hal.
Apakah komunitas saya kurang sehat sehingga perpisahan harus terjadi?
Apakah komunitas saya terobsesi dengan jumlah anggota?
Apakah komunitas saya menyikapi perpisahan secara positif? Ataukah negatif?
Apakah komunitas saya sudah melakukan yang terbaik dalam pembinaan?
Apakah komunitas saya masih setia mendengarkan suara Tuhan?
Refleksi ini masih bisa dilanjutkan...

Tentu saja kalau dijawab secara jujur, ini semua bisa menjadi bekal bagi reformasi ke arah yang lebih baik, dengan tujuan yang benar dan mulia, ke arah karisma komunitas yang hendak dicapai bagi melayani Gereja.

Tapi sering kali kita memiliki tujuan yang berbeda di benak kita, sekedar reformasi dengan tujuan komunitas menggemuk dan anggota tidak bocor.

Keduanya sama-sama evaluasi untuk memperbaiki komunitas, tetapi arah yang dituju sangat berlawanan. Dan kiranya, kita tidak terjebak pada sekedar keinginan melakukan reformasi sekedar demi mempertahankan atau meningkatkan jumlah anggota.
 
Saya rasa refleksi dan pertanyaan-pertanyaan ini harus senantiasa ditanyakan oleh sebuah komunitas.

Di awal tulisan, saya menuliskan bahwa saya pribadi mengalami "pindah rumah" dari sebuah komunitas ke komunitas lain.
Apakah karena komunitas yang baru lebih baik dari yang lain?
Apakah karena ada dendam pribadi terhadap komunitas yang lama?
Tentunya ada orang yang bertanya-tanya.

Tetapi ternyata jawaban yang bisa saya berikan tidak sedramatis itu. Komunitas yang baru maupun yang lama, bergelut dengan masalahnya sendiri. Benar-benar komunitas yang jauh dari sempurna, malahan dari awal bergabung saya sudah mengalami gesekan sana sini. Sungguh pengalaman yang benar-benar sesuai untuk mencegah saya bergabung.

Komunitas yang lama tentu saja punya pergulatannya sendiri. Tetapi saya sangat merindukan dan membanggakan kedekatan dan kekentalan hubungan antar anggotanya.

Sekarang pun saya akui, saya masih menyukai, sangat sangat menyukai komunitas saya yang lama. Saya "dibesarkan" selama 1 dekade oleh komunitas saya yang lama, dan saya melihat komunitas saya yang lama sebagai partner. Saya mendoakan, mengharapkan, meminta bantuan, dan sebisa mungkin memberi bantuan kepada komunitas saya yang lama. I love it so much.

Walaupun saya sekarang berada di komunitas lain, keputusan ini mungkin tidak pernah bisa saya ambil tanpa pembinaan yang pernah saya terima dari komunitas saya yang lama. Saya harus akui, bahwa saya banyak kali juga belum mampu menjawab harapan komunitas, komitmen yang bolong-bolong, dan mind set yang salah untuk memperoleh sesuatu daripada memberi sesuatu. Kadang saya berpikir, apakah lebih baik saya berjuang lebih keras lagi di komunitas yang lama daripada berpisah?

Entah juga...

Tetapi saat ini, dengan berbekal pengalaman yang sebelumnya, baik juga saya tunjukkan penghargaan dan terima kasih saya terhadap komunitas yang lama dengan berjuang mendengarkan suara Tuhan lebih lagi di rumah yang baru. Selalu bagi Kemuliaan Allah dan Gereja-Nya.

Mungkin yang membaca tulisan ini memiliki drama-nya, sudut pandangnya sendiri tentang suatu komunitas.
Mungkin ada yang mencari komunitas.
Mungkin ada yang baru menerima jawaban tegas dari komunitas, "Mungkin sekali Tuhan tidak memanggil anda untuk berada di sini," dan masih merasa sedih, kecewa, marah, kesal. Gak tahu apa, gua dah susah-susah tiap kali bela-belain datang? Gak tau apa gua sibuk? Gak tau apa gua cinta mati sama dia yang selalu duduk di sebelah gua?

Tetapi, sebuah komunitas Kristiani ada untuk memenuhi sebuah visi dan misi yang dipercayakan Tuhan kepadanya. Kehilangan visi dan misi itu menjadikan sebuah komunitas Kristiani tidak lebih dari organisasi sosial belaka atau perkumpulan arisan semata.
Maka walaupun menyebalkan (semi-eksklusif?), kita harus mempertanyakan terus, mengevaluasi dan mengevaluasi lagi, peran discernment dalam sebuah komunitas, dan menjadi cukup berani untuk mengupayakannya.