Pertama-tama, saya ucapkan selamat Hari Natal untuk para pembaca blog sekalian.
Sekarang, sebelum mulai membaca sekelumit refleksi yang mau saya bagikan, silahkan bersantai sejenak, menutup mata dan ingat-ingat kembali apa yang terjadi beberapa hari ini dalam rangka Natal.
Apa yang mengapung di dalam ingatan kita ketika melihat pengalaman Natal kita setelah tanggal 25 Desember?
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Apakah terasa seperti baru saja turun dari sebuah roller-coaster?
Puncak tertingginya baru saja terlewati dan sekarang mencapai anti klimaks, ketika pesta, kemeriahan, gegap-gempita dan excitement yang dirasakan mulai reda?
Apakah ada perasaan seperti pengelola sebuah Department Store yang menanti dengan penuh harap penjualan hiasan-hiasan Natal dengan harga diskon akan menghasilkan laba yang banyak, dan setelah tanggal 25 Desember menghela napas karena sudah saatnya membereskan semuanya itu ke gudang?
Jika iya, mungkin kita selama beberapa hari terakhir ini mulai terpisah dari kenyataan, "apa itu Natal?" dan "kenapa aku merayakan Natal?"
Bagi Gereja Katolik, Natal belum berakhir. Christmas is not over yet. Natal baru saja DIMULAI!
Kita baru saja memasuki hari pertama Natal.
Misteri Natal yang dirayakan Gereja tidak habis pada saat kelahiran Yesus.
Kelahiran Yesus hanyalah pintu masuk ke dalam Misteri Natal yang kita rayakan.
Inkarnasi Sabda menjadi Daging adalah fondasi dasar, kerangka yang akan menyokong kita melihat, mendalami, mengenyam dan menelan apa yang diwartakan oleh iman kita.
Maka kalau kita sudah kehabisan napas setelah perayaan 25 Desember, mungkin tanda-tanda yang menunjukkan kita sudah kehilangan makna Natal dan terseret arus Natal Komersil.
The Stoning of Saint Stephen Rembrandt (1625) |
Hari ini, 26 Desember kita memasuki Oktaf Kelahiran Yesus (Hari Raya Natal dirayakan selama 8 hari sebagai satu hari raya), hari ini adalah Pesta Santo Stefanus, Martir Pertama.
Ketika kita merayakan Natal, dalam homili, di warta Gereja, di film-film, di siaran radio, bahkan iklan-iklan komersial mengusung pesan-pesan seperti: solidaritas, damai, sukacita, rekonsiliasi, kemiskinan, kerendahan hati, berbagi, dan sebagainya.
Semua itu sangat amat baik. Tetapi, jika cuma itu yang kita usung, itu menjadi tanda sangat amat jelas bahwa kita kehilangan makna Natal yang sesungguhnya.
Karena Natal bukan soal ideologi, walaupun baik dan indah sekalipun. Natal adalah soal seseorang!
Dunia mendukung dan memberi tempat bagi semua orang yang mau mengusung panji "damai," "kasih," "sukacita," "berbagi," "solider." Tetapi belum tentu bersedia memberi tempat bagi seorang pribadi, Yesus Kristus, yang menjadi sumber semua itu.
Kita semua dipanggil untuk memberi kesaksian akan seorang pribadi: Yesus Kristus, bukan menjadi birokrat yang mengusung ideologi. Kalau kita memberi kesaksian akan pribadi Yesus, barulah kita menjadi seorang martir (saksi) dalam arti yang sesungguhnya.
Hari ini, melangkah masuk melewati ambang pintu Natal, Gereja memperingati kematian seorang Martir, Pesta Santo Stefanus.
Hari berikutnya dalam Oktaf Natal kita memperingati Pesta Santo Yohanes Rasul, seorang saksi yang turut berada di bawah Salib Kristus bersama Bunda Maria.
Hari berikutnya dalam Oktaf Natal kita memperingati Pesta Kanak-kanak Suci, para martir kecil, kanak-kanak Betlehem yang dibunuh Herodes dalam usahanya membinasakan Kristus yang dianggap mengancam kekuasaannya.
Kita dipanggil untuk menjadi martir (saksi) akan seorang pribadi, Yesus Kristus, Sabda yang menjadi Daging dan siap sedia mempertanggungjawabkan kesaksian ini di muka dunia, sampai titik darah penghabisan.
Natal, saudara-saudari, baru saja dimulai!