Setelah Hari Raya Kristus Raja, setiap angkatan diingatkan kembali tentang pentingnya "spiritualitas" yang selalu erat kaitannya dengan "formasi spiritual."
Inti terdalam dari setiap spiritualitas, yang dituangkan dalam formasi spiritual, adalah belajar, ditempa, dihajar, diganjar, dididik dalam iman. Dan melalui berbagai latihan rohani, berusaha menjadikan iman sebagai sebuah cara hidup yang nyata, konkret, memiliki tuntutan dan komitmen yang secara sukarela dan sadar dijalani.
Karenanya formasi spiritual selalu dapat diibaratkan sebagai sebuah Training Camp, dimana seseorang digojlok, dipaksa, dihajar untuk mau keluar dari kenyamanan dan berkembang secara optimal. Dan kita sangat mengagumi orang-orang yang telah melewati segala ujian ini. Kita menaruh kepercayaan lebih pada tentara yang melewati pelatihan keras untuk melindungi kita, daripada pada sekelompok orang yang hidup dalam kenyamanan dan jauh dari kerasnya kehidupan.
Sebaliknya sebuah Shelter, atau tempat penampungan, sebuah panti, selalu diusahakan menjadi tempat dimana ada orang lain yang melayani kebutuhan mereka yang ditampung. Entah korban bencana, orang sakit, orang tua atau orang yang sekedar lelah. Sebuah tempat penampungan diusahakan menjadi sebuah oasis dimana seseorang bisa melepas beban dan dilayani.
Dalam pertemuan sel, timbul pertanyaan: mengapa Ibadat Katolik (perayaan Liturgi, dengan Misa utamanya) bagi kebanyakan umat, dianggap begitu dangkal, membosankan, menyebalkan, hambar, membuat ngantuk dan tidak menarik?
Mendingan ke Persekutuan Doa, atau ibadah non-Katolik. Lebih nyaman, lebih hidup, lebih bertumbuh dan berkembang.
Terbersit dalam benak saya, mungkin alasan pertama mengapa Ibadat Katolik "kurang menyenangkan" adalah karena Liturgi pertama-tama adalah sebuah Training Camp daripada sebuah Shelter. Liturgi pertama-tama adalah karya Allah, masuk dalam Liturgi seseorang "dipaksa" untuk masuk dalam aliran misteri iman yang disediakan Gereja.
Mungkin kita sedang bergembira, sedang senang, hati kita sedang berbunga-bunga, lalu di Gereja kita disodorkan Firman Allah tentang penghakiman, kesukaran, kemiskinan, kematian.
Mungkin kita sedang berduka, namun Gereja sedang berpesta dengan pujian-pujian meriah dan Alleluya membahana.
Mungkin kita orang yang susah diam, sulit disuruh tenang, pikiran selalu sibuk tidak karuan, duduk diam rasanya sulit, tangan gatel gak pegang Blackberry. Tetapi dalam perayaan Liturgis, kita dipaksa untuk diam merenungkan bacaan suci.
Liturgi juga sarat dengan norma dan aturan pelaksanaan, sehingga baik umat maupun imam dan petugas, bertindak sebagai pelayan (dan bukan tuan) yang tunduk kepada tata Liturgi, mempelajarinya dengan cermat dan melaksanakannya dengan penuh kesadaran, mengorbankan selera pribadi.
Kalau merenungkan bagaimana umat Kristen awal merayakan Liturgi dibawah sanksi hukuman mati, hal ini akan tampak semakin jelas. Untuk apa mereka datang ke perayaan Ekaristi sampai harus bertaruh nyawa? Untuk mendengarkan lagu yang enak, menyumbangkan kreatifitas, atau mencari hiburan?
Bandingkan dengan Persekutuan Doa atau Ibadah Kristen pada umumnya. Ketika datang kita disambut, perayaan disesuaikan untuk anak muda, anak-anak, orang tua. Emosi bisa dituangkan dengan bebas, kreasi bisa dilaksanakan dengan lepas. Pemilihan lagu disesuaikan dengan minat ataupun trend.
Sekarang kita pikirkan realitas kehidupan awam umat modern, apalagi kota besar seperti Jakarta.
Banyak yang datang merantau jauh dari keluarga, para pekerja yang sibuk bekerja dari pagi sampai malam, teknologi yang memberi kesan serba instan, hiburan audio visual yang cepat saji dan menarik, dan manusia-manusia modern yc ji'udan hidupnya terpecah, rapuh, berantakan, terluka di dalam sementera berusaha tampak necis dan berkecukupan di luar.
Tidak heran, budaya Shelter jauh lebih menawan dan menarik. Hidup sudah cape dan lelah, masalah keluarga sudah banyak, kenapa datang ke Gereja masih harus repot?
Apalagi datang ke Ibadat Katolik, dengan Gereja berasumsi orang Katolik yang dewasa dan bertanggungjawab atas iman mereka, belajar sendiri, berkomunitas sendiri. Yang mengasumsikan bahwa keluarga-keluarga mengajar anak-anak mereka dalam iman, makna-makna simbolis, doa dan Kitab Suci.
Repot amat?!
Tidak bisa dipungkiri, bahwa ada tempat bagi keduanya, Shelter dan Training Camp.
Orang yang terluka harus dirawat lebih dulu sebelum bisa masuk ke sebuah training camp.
Gereja selalu berkata, bahwa Ekaristi adalah puncak dan mahkota ibadah kita.
Tetapi, tentu saja, sebagai sebuah puncak, ada dasar yang harus dibangun dengan kokoh dan kuat. Jika tidak, puncak tersebut tidak akan pernah dicapai sebab runtuh karena tidak memiliki dasar yang mantap.
Katekismus Gereja Katolik 1072 mengatakan demikian:
"'Liturgi kudus tidak mencakup seluruh kegiatan Gereja' (Sacrosanctum Concillium 9); penginjilan, iman
dan pertobatan harus mendahuluinya; barulah ia dapat menghasilkan buahnya dalam
kehidupan umat beriman: kehidupan baru dalam Roh Kudus, keterlibatan yang aktif
dalam perutusan Gereja, dan pelayanan pada kesatuannya."
Karena itu diseputar Ekaristi, Gereja selalu menganjurkan berbagai bentuk devosi, persekutuan doa, komunitas, berhimpun dalam kelompok, perayaan-perayaan bahkan yang meriah, walau selalu dipisahkan dari pelaksanan Liturgi.
Tapi apa jadinya, kalau orang modern ingin semuanya: rekreasi dan didikan dilaksanakan cukup 1 jam seminggu hanya dalam perayaan Ekaristi?
Cukup dikatakan, rekreasinya gak dapat (atau dipaksakan walau harus melanggar aturan), didikannya tidak memadai (karena bukan hanya bacaan, melainkan juga sikap, tindakan, keheningan yang merupakan bagian dari pembentukan dan didikan, hilang lenyap).
Kita butuh Shelter, kita juga butuh Training Camp. Tetapi mencampur adukkan keduanya, sungguh bukan ide yang bagus....
Jumat, 02 Desember 2011
Senin, 07 November 2011
Komunitas dan Bedhol Desa....
Tanggal 5 November 2011, Keuskupan Agung Jakarta (KAJ) mengadakan event untuk menjaring orang-orang muda KAJ. Salah satu kegiatan dari event tersebut adalah mengadakan temu-kenal komunitas-komunitas kategorial KAJ. Masing-masing komunitas diberi booth untuk memperkenalkan komunitasnya.
Saya melihat banyak sekali komunitas yang menarik, baik yang memiliki jejaring internasional maupun yang berdiri sebagai komunitas lokal.
Contoh komunitas yang berjejaring internasional yang berpartisipasi adalah Komunitas Emmanuel yang berpusat di Perancis; Antiokhia yang awal berdirinya di Amerika Serikat; Komunitas Tritunggal Mahakudus yang merupakan komunitas asli Indonesia yang sekarang sudah melanglang buana; Light of Jesus Family Indonesia yang didirikan oleh Bo Sanchez, seorang evangelis Katolik ternama dari Filipina.
Sementara komunitas lokal yang ada di KAJ sebagai contoh adalah Orang Muda Katolik Perduli Bangsa; Kelompok Karyawan Muda Katolik; Yayasan Kasih Mulia yang memiliki keperdulian khusus terhadap pencandu narkoba; dan Domus Cordis yang merupakan komunitas orang muda Katolik yang mengejar mimpi dengan fondasi Teologi Tubuh yang diajarkan Paus Yohanes Paulus II.
Belum semua komunitas dan kelompok saya sebutkan di sini, hanya beberapa saja yang kebetulan melewati benak dan pikiran saya ketika menuliskan artikel ini. Saya melihat semua komunitas dan kelompok ini luar biasa memperkaya Gereja Katolik, di KAJ khususnya.
Namun, banyaknya komunitas juga menimbulkan ketegangan tersendiri, terutama dan utamanya berkenaan dengan perpindahan anggota dari satu komunitas ke komunitas lain. Ini adalah kenyataan yang terjadi di lapangan, sesuatu yang tidak bisa dipungkiri pasti terjadi.
Saya pribadi pernah berada di satu komunitas selama kurang lebih 10 tahun, sebelum akhirnya memutuskan untuk berkomitmen di komunitas lain, meninggalkan komunitas saya yang lama.
Tentunya, bagi setiap orang, perpisahan adalah kenyataan yang pahit dan menyakitkan bagi kedua belah pihak: yang meninggalkan dan yang ditinggalkan.
Ada berbagai cara pandang memaknai seorang anggota komunitas yang sudah lama saling kenal, saling berbagi suka duka bersama, kemudian beralih.
Ada yang melihat orang yang beralih sebagai seorang penghianat, seorang anggota keluarga yang terhilang. Apalagi kalau keberadaannya sudah menghasilkan bonding yang kuat dengan anggota komunitas yang lama.
Namun, bisa juga kita melihatnya sebagai sesuatu yang patut disyukuri dan menggembirakan. Bukan karena akhirnya seorang pengganggu meninggalkan kawanan, melainkan karena dengan demikian, sebuah kelompok berhasil mengarahkan seorang anggotanya, lewat proses discernment bersama-sama, mencari apa yang terbaik bagi satu anggota keluarga yang dikasihi. Apa yang menjadi kehendak dan rencana Allah bagi anggota keluarga yang berarti ini.
Berbeda dengan kehidupan seorang religius, komunitas awam kenyataannya jauh lebih "encer." Seorang awam non-religius berasal dari berbagai usia dan latar belakang. Ada yang seorang mahasiswa, seorang pelajar, seorang pekerja. Ada yang lajang, ada yang sudah berkeluarga, ada yang mempersiapkan pernikahan, ada yang mencari arah panggilan hidup. Ada yang mapan menetap di satu wilayah, ada yang sering berpergian. Macam-macam.
Masing-masing dari mereka memiliki kehidupan rohani yang berbeda pula, dan sangat mungkin berubah ketika terjadi perubahan dalam hidup mereka. Mahasiswa yang mulai terjun ke dunia pekerjaan, baru membina keluarga, ataupun berbagai perubahan lain dalam hidup mereka.
Walaupun dalam kehidupan berkomunitas, praktik yang sehat adalah seorang anggota komunitas berangkat dari harapan dan kerinduan untuk memberi kepada anggota yang lain, bukan sekedar datang untuk di-entertain atau karena ingin memperoleh sesuatu; namun di satu sisi komunitas memiliki visi dan misi spesifik yang berusaha menjawab kerinduan dan kebutuhan orang dari segmen tertentu dalam Gereja dan masyarakat.
Ketika seseorang mencapai titik kehidupan tertentu, mungkin saja seorang anggota komunitas terpanggil untuk menerima pembinaan, berbagi dan berkarya secara berbeda, yang berbeda dari visi misi komunitasnya.
Dalam situasi ideal, perpisahan ini terjadi berkat proses discernment yang didukung oleh anggota komunitas. Perpisahan yang terjadi, walaupun tidak menyenangkan, merupakan jawaban atas ketaatan terhadap suara Allah, kebutuhan dan kebaikan anggota komunitas yang hendak menjalani kehidupan baru.
Idealnya, komunitas yang satu adalah partner dari komunitas yang lain, bukan saingan apalagi rival dan musuh. Masing-masing membangun Gereja bersama-sama, tetap dalam persaudaraan sebagai anggota Gereja yang satu.
Tentunya tidak ada komunitas yang sempurna.
Masing-masing komunitas adalah entitas yang jatuh-bangun, mereformasi dan direformasi ke arah yang lebih baik.
Tidak semua skenario ideal berjalan dalam kenyataan. Ada anggota yang memilih berpisah karena kecewa. Ada anggota yang merasa rumput di ladang tetangga selalu lebih hijau. Ada anggota yang memang dari awalnya tidak ingin berkomitmen. Ada yang keluar karena memang komunitasnya loyo. Ada komunitas yang alih fungsi dari komunitas kristiani menjadi komunitas arisan atau organisasi sosial semata. Macam-macam skenario dengan berbagai macam rasa, campuran, kombinasi dan topping tidak terbatas.
Siapa yang disalahkan?
Bisa jadi tanggung jawab pribadi anggota yang tidak secara serius mau berjalan bersama komunitasnya.
Bisa jadi komunitasnya mulai kehilangan arah dan tujuan.
Bisa jadi keadaan menyebabkan segala usaha dan upaya menjadi tidak ideal.
Kita tentu saja harus selalu melihat konteks.
Karena itu sebuah komunitas harus berjuang, setiap saat, untuk meningkatkan kualitasnya. Dengan demikian sebuah komunitas benar-benar dapat menjadi sebuah wadah untuk membina, membangun, memberi. Sehingga jika sebuah perpisahan terjadi, komunitas yang ditinggalkan bisa berbangga telah melepas seorang anggota keluarga yang menjawab panggilan Tuhan, yang telah dibesarkan dengan baik.
Perpisahan adalah cermin yang memperlihatkan berbagai hal.
Apakah komunitas saya kurang sehat sehingga perpisahan harus terjadi?
Apakah komunitas saya terobsesi dengan jumlah anggota?
Apakah komunitas saya menyikapi perpisahan secara positif? Ataukah negatif?
Apakah komunitas saya sudah melakukan yang terbaik dalam pembinaan?
Apakah komunitas saya masih setia mendengarkan suara Tuhan?
Refleksi ini masih bisa dilanjutkan...
Tentu saja kalau dijawab secara jujur, ini semua bisa menjadi bekal bagi reformasi ke arah yang lebih baik, dengan tujuan yang benar dan mulia, ke arah karisma komunitas yang hendak dicapai bagi melayani Gereja.
Tapi sering kali kita memiliki tujuan yang berbeda di benak kita, sekedar reformasi dengan tujuan komunitas menggemuk dan anggota tidak bocor.
Keduanya sama-sama evaluasi untuk memperbaiki komunitas, tetapi arah yang dituju sangat berlawanan. Dan kiranya, kita tidak terjebak pada sekedar keinginan melakukan reformasi sekedar demi mempertahankan atau meningkatkan jumlah anggota.
Saya rasa refleksi dan pertanyaan-pertanyaan ini harus senantiasa ditanyakan oleh sebuah komunitas.
Di awal tulisan, saya menuliskan bahwa saya pribadi mengalami "pindah rumah" dari sebuah komunitas ke komunitas lain.
Apakah karena komunitas yang baru lebih baik dari yang lain?
Apakah karena ada dendam pribadi terhadap komunitas yang lama?
Tentunya ada orang yang bertanya-tanya.
Tetapi ternyata jawaban yang bisa saya berikan tidak sedramatis itu. Komunitas yang baru maupun yang lama, bergelut dengan masalahnya sendiri. Benar-benar komunitas yang jauh dari sempurna, malahan dari awal bergabung saya sudah mengalami gesekan sana sini. Sungguh pengalaman yang benar-benar sesuai untuk mencegah saya bergabung.
Komunitas yang lama tentu saja punya pergulatannya sendiri. Tetapi saya sangat merindukan dan membanggakan kedekatan dan kekentalan hubungan antar anggotanya.
Sekarang pun saya akui, saya masih menyukai, sangat sangat menyukai komunitas saya yang lama. Saya "dibesarkan" selama 1 dekade oleh komunitas saya yang lama, dan saya melihat komunitas saya yang lama sebagai partner. Saya mendoakan, mengharapkan, meminta bantuan, dan sebisa mungkin memberi bantuan kepada komunitas saya yang lama. I love it so much.
Walaupun saya sekarang berada di komunitas lain, keputusan ini mungkin tidak pernah bisa saya ambil tanpa pembinaan yang pernah saya terima dari komunitas saya yang lama. Saya harus akui, bahwa saya banyak kali juga belum mampu menjawab harapan komunitas, komitmen yang bolong-bolong, dan mind set yang salah untuk memperoleh sesuatu daripada memberi sesuatu. Kadang saya berpikir, apakah lebih baik saya berjuang lebih keras lagi di komunitas yang lama daripada berpisah?
Entah juga...
Tetapi saat ini, dengan berbekal pengalaman yang sebelumnya, baik juga saya tunjukkan penghargaan dan terima kasih saya terhadap komunitas yang lama dengan berjuang mendengarkan suara Tuhan lebih lagi di rumah yang baru. Selalu bagi Kemuliaan Allah dan Gereja-Nya.
Mungkin yang membaca tulisan ini memiliki drama-nya, sudut pandangnya sendiri tentang suatu komunitas.
Mungkin ada yang mencari komunitas.
Mungkin ada yang baru menerima jawaban tegas dari komunitas, "Mungkin sekali Tuhan tidak memanggil anda untuk berada di sini," dan masih merasa sedih, kecewa, marah, kesal. Gak tahu apa, gua dah susah-susah tiap kali bela-belain datang? Gak tau apa gua sibuk? Gak tau apa gua cinta mati sama dia yang selalu duduk di sebelah gua?
Tetapi, sebuah komunitas Kristiani ada untuk memenuhi sebuah visi dan misi yang dipercayakan Tuhan kepadanya. Kehilangan visi dan misi itu menjadikan sebuah komunitas Kristiani tidak lebih dari organisasi sosial belaka atau perkumpulan arisan semata.
Maka walaupun menyebalkan (semi-eksklusif?), kita harus mempertanyakan terus, mengevaluasi dan mengevaluasi lagi, peran discernment dalam sebuah komunitas, dan menjadi cukup berani untuk mengupayakannya.
Saya melihat banyak sekali komunitas yang menarik, baik yang memiliki jejaring internasional maupun yang berdiri sebagai komunitas lokal.
Contoh komunitas yang berjejaring internasional yang berpartisipasi adalah Komunitas Emmanuel yang berpusat di Perancis; Antiokhia yang awal berdirinya di Amerika Serikat; Komunitas Tritunggal Mahakudus yang merupakan komunitas asli Indonesia yang sekarang sudah melanglang buana; Light of Jesus Family Indonesia yang didirikan oleh Bo Sanchez, seorang evangelis Katolik ternama dari Filipina.
Sementara komunitas lokal yang ada di KAJ sebagai contoh adalah Orang Muda Katolik Perduli Bangsa; Kelompok Karyawan Muda Katolik; Yayasan Kasih Mulia yang memiliki keperdulian khusus terhadap pencandu narkoba; dan Domus Cordis yang merupakan komunitas orang muda Katolik yang mengejar mimpi dengan fondasi Teologi Tubuh yang diajarkan Paus Yohanes Paulus II.
Belum semua komunitas dan kelompok saya sebutkan di sini, hanya beberapa saja yang kebetulan melewati benak dan pikiran saya ketika menuliskan artikel ini. Saya melihat semua komunitas dan kelompok ini luar biasa memperkaya Gereja Katolik, di KAJ khususnya.
Namun, banyaknya komunitas juga menimbulkan ketegangan tersendiri, terutama dan utamanya berkenaan dengan perpindahan anggota dari satu komunitas ke komunitas lain. Ini adalah kenyataan yang terjadi di lapangan, sesuatu yang tidak bisa dipungkiri pasti terjadi.
Saya pribadi pernah berada di satu komunitas selama kurang lebih 10 tahun, sebelum akhirnya memutuskan untuk berkomitmen di komunitas lain, meninggalkan komunitas saya yang lama.
Tentunya, bagi setiap orang, perpisahan adalah kenyataan yang pahit dan menyakitkan bagi kedua belah pihak: yang meninggalkan dan yang ditinggalkan.
Ada berbagai cara pandang memaknai seorang anggota komunitas yang sudah lama saling kenal, saling berbagi suka duka bersama, kemudian beralih.
Ada yang melihat orang yang beralih sebagai seorang penghianat, seorang anggota keluarga yang terhilang. Apalagi kalau keberadaannya sudah menghasilkan bonding yang kuat dengan anggota komunitas yang lama.
Namun, bisa juga kita melihatnya sebagai sesuatu yang patut disyukuri dan menggembirakan. Bukan karena akhirnya seorang pengganggu meninggalkan kawanan, melainkan karena dengan demikian, sebuah kelompok berhasil mengarahkan seorang anggotanya, lewat proses discernment bersama-sama, mencari apa yang terbaik bagi satu anggota keluarga yang dikasihi. Apa yang menjadi kehendak dan rencana Allah bagi anggota keluarga yang berarti ini.
Berbeda dengan kehidupan seorang religius, komunitas awam kenyataannya jauh lebih "encer." Seorang awam non-religius berasal dari berbagai usia dan latar belakang. Ada yang seorang mahasiswa, seorang pelajar, seorang pekerja. Ada yang lajang, ada yang sudah berkeluarga, ada yang mempersiapkan pernikahan, ada yang mencari arah panggilan hidup. Ada yang mapan menetap di satu wilayah, ada yang sering berpergian. Macam-macam.
Masing-masing dari mereka memiliki kehidupan rohani yang berbeda pula, dan sangat mungkin berubah ketika terjadi perubahan dalam hidup mereka. Mahasiswa yang mulai terjun ke dunia pekerjaan, baru membina keluarga, ataupun berbagai perubahan lain dalam hidup mereka.
Walaupun dalam kehidupan berkomunitas, praktik yang sehat adalah seorang anggota komunitas berangkat dari harapan dan kerinduan untuk memberi kepada anggota yang lain, bukan sekedar datang untuk di-entertain atau karena ingin memperoleh sesuatu; namun di satu sisi komunitas memiliki visi dan misi spesifik yang berusaha menjawab kerinduan dan kebutuhan orang dari segmen tertentu dalam Gereja dan masyarakat.
Ketika seseorang mencapai titik kehidupan tertentu, mungkin saja seorang anggota komunitas terpanggil untuk menerima pembinaan, berbagi dan berkarya secara berbeda, yang berbeda dari visi misi komunitasnya.
Dalam situasi ideal, perpisahan ini terjadi berkat proses discernment yang didukung oleh anggota komunitas. Perpisahan yang terjadi, walaupun tidak menyenangkan, merupakan jawaban atas ketaatan terhadap suara Allah, kebutuhan dan kebaikan anggota komunitas yang hendak menjalani kehidupan baru.
Idealnya, komunitas yang satu adalah partner dari komunitas yang lain, bukan saingan apalagi rival dan musuh. Masing-masing membangun Gereja bersama-sama, tetap dalam persaudaraan sebagai anggota Gereja yang satu.
Tentunya tidak ada komunitas yang sempurna.
Masing-masing komunitas adalah entitas yang jatuh-bangun, mereformasi dan direformasi ke arah yang lebih baik.
Tidak semua skenario ideal berjalan dalam kenyataan. Ada anggota yang memilih berpisah karena kecewa. Ada anggota yang merasa rumput di ladang tetangga selalu lebih hijau. Ada anggota yang memang dari awalnya tidak ingin berkomitmen. Ada yang keluar karena memang komunitasnya loyo. Ada komunitas yang alih fungsi dari komunitas kristiani menjadi komunitas arisan atau organisasi sosial semata. Macam-macam skenario dengan berbagai macam rasa, campuran, kombinasi dan topping tidak terbatas.
Siapa yang disalahkan?
Bisa jadi tanggung jawab pribadi anggota yang tidak secara serius mau berjalan bersama komunitasnya.
Bisa jadi komunitasnya mulai kehilangan arah dan tujuan.
Bisa jadi keadaan menyebabkan segala usaha dan upaya menjadi tidak ideal.
Kita tentu saja harus selalu melihat konteks.
Karena itu sebuah komunitas harus berjuang, setiap saat, untuk meningkatkan kualitasnya. Dengan demikian sebuah komunitas benar-benar dapat menjadi sebuah wadah untuk membina, membangun, memberi. Sehingga jika sebuah perpisahan terjadi, komunitas yang ditinggalkan bisa berbangga telah melepas seorang anggota keluarga yang menjawab panggilan Tuhan, yang telah dibesarkan dengan baik.
Perpisahan adalah cermin yang memperlihatkan berbagai hal.
Apakah komunitas saya kurang sehat sehingga perpisahan harus terjadi?
Apakah komunitas saya terobsesi dengan jumlah anggota?
Apakah komunitas saya menyikapi perpisahan secara positif? Ataukah negatif?
Apakah komunitas saya sudah melakukan yang terbaik dalam pembinaan?
Apakah komunitas saya masih setia mendengarkan suara Tuhan?
Refleksi ini masih bisa dilanjutkan...
Tentu saja kalau dijawab secara jujur, ini semua bisa menjadi bekal bagi reformasi ke arah yang lebih baik, dengan tujuan yang benar dan mulia, ke arah karisma komunitas yang hendak dicapai bagi melayani Gereja.
Tapi sering kali kita memiliki tujuan yang berbeda di benak kita, sekedar reformasi dengan tujuan komunitas menggemuk dan anggota tidak bocor.
Keduanya sama-sama evaluasi untuk memperbaiki komunitas, tetapi arah yang dituju sangat berlawanan. Dan kiranya, kita tidak terjebak pada sekedar keinginan melakukan reformasi sekedar demi mempertahankan atau meningkatkan jumlah anggota.
Saya rasa refleksi dan pertanyaan-pertanyaan ini harus senantiasa ditanyakan oleh sebuah komunitas.
Di awal tulisan, saya menuliskan bahwa saya pribadi mengalami "pindah rumah" dari sebuah komunitas ke komunitas lain.
Apakah karena komunitas yang baru lebih baik dari yang lain?
Apakah karena ada dendam pribadi terhadap komunitas yang lama?
Tentunya ada orang yang bertanya-tanya.
Tetapi ternyata jawaban yang bisa saya berikan tidak sedramatis itu. Komunitas yang baru maupun yang lama, bergelut dengan masalahnya sendiri. Benar-benar komunitas yang jauh dari sempurna, malahan dari awal bergabung saya sudah mengalami gesekan sana sini. Sungguh pengalaman yang benar-benar sesuai untuk mencegah saya bergabung.
Komunitas yang lama tentu saja punya pergulatannya sendiri. Tetapi saya sangat merindukan dan membanggakan kedekatan dan kekentalan hubungan antar anggotanya.
Sekarang pun saya akui, saya masih menyukai, sangat sangat menyukai komunitas saya yang lama. Saya "dibesarkan" selama 1 dekade oleh komunitas saya yang lama, dan saya melihat komunitas saya yang lama sebagai partner. Saya mendoakan, mengharapkan, meminta bantuan, dan sebisa mungkin memberi bantuan kepada komunitas saya yang lama. I love it so much.
Walaupun saya sekarang berada di komunitas lain, keputusan ini mungkin tidak pernah bisa saya ambil tanpa pembinaan yang pernah saya terima dari komunitas saya yang lama. Saya harus akui, bahwa saya banyak kali juga belum mampu menjawab harapan komunitas, komitmen yang bolong-bolong, dan mind set yang salah untuk memperoleh sesuatu daripada memberi sesuatu. Kadang saya berpikir, apakah lebih baik saya berjuang lebih keras lagi di komunitas yang lama daripada berpisah?
Entah juga...
Tetapi saat ini, dengan berbekal pengalaman yang sebelumnya, baik juga saya tunjukkan penghargaan dan terima kasih saya terhadap komunitas yang lama dengan berjuang mendengarkan suara Tuhan lebih lagi di rumah yang baru. Selalu bagi Kemuliaan Allah dan Gereja-Nya.
Mungkin yang membaca tulisan ini memiliki drama-nya, sudut pandangnya sendiri tentang suatu komunitas.
Mungkin ada yang mencari komunitas.
Mungkin ada yang baru menerima jawaban tegas dari komunitas, "Mungkin sekali Tuhan tidak memanggil anda untuk berada di sini," dan masih merasa sedih, kecewa, marah, kesal. Gak tahu apa, gua dah susah-susah tiap kali bela-belain datang? Gak tau apa gua sibuk? Gak tau apa gua cinta mati sama dia yang selalu duduk di sebelah gua?
Tetapi, sebuah komunitas Kristiani ada untuk memenuhi sebuah visi dan misi yang dipercayakan Tuhan kepadanya. Kehilangan visi dan misi itu menjadikan sebuah komunitas Kristiani tidak lebih dari organisasi sosial belaka atau perkumpulan arisan semata.
Maka walaupun menyebalkan (semi-eksklusif?), kita harus mempertanyakan terus, mengevaluasi dan mengevaluasi lagi, peran discernment dalam sebuah komunitas, dan menjadi cukup berani untuk mengupayakannya.
Sabtu, 09 Juli 2011
Ketika Menanti dan Menerima Menjadi Begitu Sulit
Sudah dua hari ini, dalam perjalanan pulang ke rumah saya melewati GPdI Kramat Raya no. 65. Dari dalam kendaraan yang melaju samar-samar terlihat panggung dan dinding putih yang berada di dalam gedung tersebut. Halaman parkirnya dipenuhi beberapa mobil dan motor. Tidak tampak sedang ada ibadah berlangsung, kemungkinan besar mereka adalah umat yang sedang berlatih mempersiapkan diri untuk ibadah mendatang.
Saya berpikir, bahwa setiap pekan pasti akan ada orang-orang yang mempersiapkan diri, memilih lagu, berlatih menari, memikirkan koreografi, memikirkan apa yang sebaiknya ditampilkan pekan ini, berdoa bersama demi pelayanan pekan tersebut. Singkatnya, setiap pekan adalah sebuah event yang perlu dipersiapkan. Entah tepat atau tidak, namun "worship" bagi mereka identik dengan karya, dengan performa. Pemberian diri diwujudkan utamanya dalam sumbangsih peran dalam mempersiapkan dan menggelar event, yang merupakan bentuk ibadah, memberi yang terbaik bagi Allah.
Saya akui, rasa kagum saya langsung meluber. Tetapi pada saat yang bersamaan, terbersit sesuatu dalam benak saya, mengapa "worship" yang demikian sungguh populer. Ibadah ini pada saat yang bersamaan menjadi ajang aktualisasi diri: bakat, minat, kemampuan, keramahan, pengakuan dan kebersamaan. Tidak ada yang buruk dengan semuanya itu, dan memang kita memerlukan wadah, event, momen yang tepat dan baik untuk itu semua. Jemaat menjadi terlihat dinamis, aktif dan menarik. Ada upaya untuk selalu tampak segar, menampilkan kemasan yang menarik dan mampu memikat orang.
Umat Katolik biasa memandang dengan iri dan berusaha sebaik mungkin memberikan performa yang sama dalam kegiatan-kegiatannya. Utamanya, Misa Kudus, menjadi tempat dimana aktualisasi diri itu hendak diwujudnyatakan. Namun dalam segala kejujuran, umat banyak berbenturan dengan norma, aturan dan hukum Liturgi yang seolah tidak memberi tempat, lalu menjadi frustasi: Tata perayaan yang tetap, teks yang tidak berubah, lagu yang tidak banyak berubah, penampilan yang tidak mencolok, petugas yang terbatas, persembahan roti dan anggur yang makin hari seolah hilang makna dan tidak lagi relevan, dsb, dsb, dsb.
Menarik bahwa dalam ibadah utama Gereja Katolik, yaitu Misa Kudus, pemahaman "worship" memiliki makna yang sama sekali berbeda dengan apa yang bisa diperhatikan dari "worship" GPdI yang saya lihat. Karena dalam Gereja Katolik, "worship" pertama-tama bukan kita melakukan sesuatu bagi Allah. Melainkan kita secara aktif membiarkan diri kita ambil bagian dalam tindakan Allah. Tidak semua orang memiliki peran yang sama dan sepadan. "Worship" adalah tindakan Kristus mempersembahkan diri. Secara aktif kita memberikan diri kita larut dalam tindakan Kristus itu, segala karya, suka dan duka kita. Menanti Allah bertindak dan menerima Allah melayani dan memberikan diri-Nya kepada kita. Dengan demikian, utamanya, perayaan Ekaristi bukan momen dimana kita mengaktualisasikan diri. Melainkan momen dimana Allah mengaktualisasikan diri. Aktualisasi diri kita terjadi dalam perutusan kita ke dunia.
Dalam masyarakat modern, dimana kita menjadi begitu aktif dan aktualisasi diri menjadi kebutuhan bahkan tuntutan, membiarkan diri menerima dan menanti menjadi pengalaman yang begitu sulit. Membosankan, menyebalkan, atau bahkan menakutkan.
Ternyata, membiarkan diri dilayani, direngkuh dan menerima, tidak semudah yang kita bayangkan.
Bukan berarti kita tidak bisa memberikan pemberian-pemberian terbaik kita. Tetapi pemberian-pemberian terbaik kita tidak pernah menjadi pemeran utama. Dan sering kali ini bukan menjadi berita yang membebaskan, malahan seolah menjadi pil pahit yang harus ditelan. Menanti dan menerima seolah menjadi identik dengan penolakan atau pernyataan tidak dibutuhkan.
Jika ada teman-teman yang pernah merasa demikian, saya bisa katakan bahwa saya pun pernah merasa demikian. Tetapi, dilihat dari sisi yang berbeda, Misa Kudus adalah momen mengagumkan.
Momen di mana Sang Pengantin merengkuh MempelaiNya. Atau juga momen di mana Panglima Perang kita yang perkasa maju ke medan pertempuran dan menang dengan jaya, sementara para ksatria, panglima dan puteri-puteri bersujud memberi hormat di hadapan kemuliaan yang begitu besar.
Penantian dan menerima... diriku kehabisan kata-kata...
Saya berpikir, bahwa setiap pekan pasti akan ada orang-orang yang mempersiapkan diri, memilih lagu, berlatih menari, memikirkan koreografi, memikirkan apa yang sebaiknya ditampilkan pekan ini, berdoa bersama demi pelayanan pekan tersebut. Singkatnya, setiap pekan adalah sebuah event yang perlu dipersiapkan. Entah tepat atau tidak, namun "worship" bagi mereka identik dengan karya, dengan performa. Pemberian diri diwujudkan utamanya dalam sumbangsih peran dalam mempersiapkan dan menggelar event, yang merupakan bentuk ibadah, memberi yang terbaik bagi Allah.
Saya akui, rasa kagum saya langsung meluber. Tetapi pada saat yang bersamaan, terbersit sesuatu dalam benak saya, mengapa "worship" yang demikian sungguh populer. Ibadah ini pada saat yang bersamaan menjadi ajang aktualisasi diri: bakat, minat, kemampuan, keramahan, pengakuan dan kebersamaan. Tidak ada yang buruk dengan semuanya itu, dan memang kita memerlukan wadah, event, momen yang tepat dan baik untuk itu semua. Jemaat menjadi terlihat dinamis, aktif dan menarik. Ada upaya untuk selalu tampak segar, menampilkan kemasan yang menarik dan mampu memikat orang.
Umat Katolik biasa memandang dengan iri dan berusaha sebaik mungkin memberikan performa yang sama dalam kegiatan-kegiatannya. Utamanya, Misa Kudus, menjadi tempat dimana aktualisasi diri itu hendak diwujudnyatakan. Namun dalam segala kejujuran, umat banyak berbenturan dengan norma, aturan dan hukum Liturgi yang seolah tidak memberi tempat, lalu menjadi frustasi: Tata perayaan yang tetap, teks yang tidak berubah, lagu yang tidak banyak berubah, penampilan yang tidak mencolok, petugas yang terbatas, persembahan roti dan anggur yang makin hari seolah hilang makna dan tidak lagi relevan, dsb, dsb, dsb.
Menarik bahwa dalam ibadah utama Gereja Katolik, yaitu Misa Kudus, pemahaman "worship" memiliki makna yang sama sekali berbeda dengan apa yang bisa diperhatikan dari "worship" GPdI yang saya lihat. Karena dalam Gereja Katolik, "worship" pertama-tama bukan kita melakukan sesuatu bagi Allah. Melainkan kita secara aktif membiarkan diri kita ambil bagian dalam tindakan Allah. Tidak semua orang memiliki peran yang sama dan sepadan. "Worship" adalah tindakan Kristus mempersembahkan diri. Secara aktif kita memberikan diri kita larut dalam tindakan Kristus itu, segala karya, suka dan duka kita. Menanti Allah bertindak dan menerima Allah melayani dan memberikan diri-Nya kepada kita. Dengan demikian, utamanya, perayaan Ekaristi bukan momen dimana kita mengaktualisasikan diri. Melainkan momen dimana Allah mengaktualisasikan diri. Aktualisasi diri kita terjadi dalam perutusan kita ke dunia.
Dalam masyarakat modern, dimana kita menjadi begitu aktif dan aktualisasi diri menjadi kebutuhan bahkan tuntutan, membiarkan diri menerima dan menanti menjadi pengalaman yang begitu sulit. Membosankan, menyebalkan, atau bahkan menakutkan.
Ternyata, membiarkan diri dilayani, direngkuh dan menerima, tidak semudah yang kita bayangkan.
Bukan berarti kita tidak bisa memberikan pemberian-pemberian terbaik kita. Tetapi pemberian-pemberian terbaik kita tidak pernah menjadi pemeran utama. Dan sering kali ini bukan menjadi berita yang membebaskan, malahan seolah menjadi pil pahit yang harus ditelan. Menanti dan menerima seolah menjadi identik dengan penolakan atau pernyataan tidak dibutuhkan.
Jika ada teman-teman yang pernah merasa demikian, saya bisa katakan bahwa saya pun pernah merasa demikian. Tetapi, dilihat dari sisi yang berbeda, Misa Kudus adalah momen mengagumkan.
Momen di mana Sang Pengantin merengkuh MempelaiNya. Atau juga momen di mana Panglima Perang kita yang perkasa maju ke medan pertempuran dan menang dengan jaya, sementara para ksatria, panglima dan puteri-puteri bersujud memberi hormat di hadapan kemuliaan yang begitu besar.
Penantian dan menerima... diriku kehabisan kata-kata...
Sabtu, 21 Mei 2011
Pesta dan Hari Raya yang jatuh pada hari Minggu selama Tahun Liturgi
Aturannya begini. Hari Minggu selama tahun liturgi dianggap sangat penting. Terutama hari Minggu selama Adven, Prapaskah dan Paskah.
Hanya Pesta memperingati Tuhan atau Hari Raya yang jatuh pada hari Minggu di luar 3 masa tersebut yang boleh... menggantikan perayaan hari Minggu. Misalnya, Hari Raya St. Perawan Maria Bunda Allah (1 Januari) jika jatuh hari Minggu maka akan dirayakan menggantikan hari Minggu. Pesta Tuhan Menampakkan Kemuliaan-Nya misalnya, jika jatuh hari Minggu akan tetap dirayakan menggantikan hari Minggu.
Pesta lain yang berkenaan dengan Santo/Santa, Pendirian Gereja, dsbnya akan diabaikan, karena lebih rendah dari hari Minggu derajatnya.
Selama 3 masa tersebut: Adven, Prapaskah, Paskah, derajat hari Minggu menjadi mutlak dan tidak bisa digantikan oleh apapun. Jika ada Pesta Tuhan atau Hari Raya yang jatuh pada hari Minggu pada masa-masa tersebut, maka akan digeser ke hari Sabtu.
Pesta Tuhan yang mungkin jatuh pada hari Minggu dan menggantikan hari Minggu:
1. Pesta Yesus dipersembahkan di Kenisah (2 Februari)
2. Pesta Yesus menampakkan kemuliaan-Nya (6 Agustus)
3. Pesta Salib Suci (14 September)
Acuan: General Norms for the Liturgical Year and the Calendar
Hanya Pesta memperingati Tuhan atau Hari Raya yang jatuh pada hari Minggu di luar 3 masa tersebut yang boleh... menggantikan perayaan hari Minggu. Misalnya, Hari Raya St. Perawan Maria Bunda Allah (1 Januari) jika jatuh hari Minggu maka akan dirayakan menggantikan hari Minggu. Pesta Tuhan Menampakkan Kemuliaan-Nya misalnya, jika jatuh hari Minggu akan tetap dirayakan menggantikan hari Minggu.
Pesta lain yang berkenaan dengan Santo/Santa, Pendirian Gereja, dsbnya akan diabaikan, karena lebih rendah dari hari Minggu derajatnya.
Selama 3 masa tersebut: Adven, Prapaskah, Paskah, derajat hari Minggu menjadi mutlak dan tidak bisa digantikan oleh apapun. Jika ada Pesta Tuhan atau Hari Raya yang jatuh pada hari Minggu pada masa-masa tersebut, maka akan digeser ke hari Sabtu.
Pesta Tuhan yang mungkin jatuh pada hari Minggu dan menggantikan hari Minggu:
1. Pesta Yesus dipersembahkan di Kenisah (2 Februari)
2. Pesta Yesus menampakkan kemuliaan-Nya (6 Agustus)
3. Pesta Salib Suci (14 September)
Acuan: General Norms for the Liturgical Year and the Calendar
Jumat, 04 Maret 2011
Misa Kudus yang dirayakan dengan buruk mengakibatkan hilangnya iman
Melemahnya iman akan Tuhan, meningkatnya egoisme, menurunnya jumlah orang yang menghadiri Misa di berbagai tempat di dunia dapat dirunut kembali pada perayaan Misa Kudus yang tidak khidmad dan tidak mengindahkan aturan-aturan Gereja. Demikian disampaikan oleh 2 orang pejabat Vatikan (Kardinal Raymond L. Burke - Prefek Apostolic Signatura, dan Kardinal Antonio Canizares Llovera - Prefek Kongregasi Ibadat Ilahi) dan seorang penasihat Kongregasi Ibadat Ilahi, Romo. Nicola Bux.
Kardinal Canizares mengatakan, "Partisipasi dalam perayaan Ekaristi dapat melemahkan bahkan membuat kita kehilangan iman jika kita tidak masuk ke dalamnya dengan benar," dan jika liturgi tidak dirayakan sesuai dengan norma-norma Gereja.
Hal senada dikatakan oleh Kardinal Burke, "Jika kita salah dengan berpikir bahwa kitalah pusat dari liturgi, Misa Kudus akan menghantar pada hilangnya iman." Juga sependapat dengan Romo Nicola Bux, ia mengatakan bahwa "penyelewengan liturgi (liturgical abuse) menyebabkan kerusakan serius terhadap iman umat Katolik."
Sayangnya, beliau menambahkan, terlalu banyak imam dan uskup menangani pelanggaran norma-norma liturgi sebagai sesuatu yang tidak penting, padahal sebenarnya hal itu adalah "penyelewengan yang serius."
Romo Bux mengatakan bahwa banyak umat Katolik modern yang berpikir bahwa Misa adalah kegiatan yang dilakukan bersama-sama oleh imam dan umat. Padahal kenyataannya, Misa adalah sesuatu yang dilakukan Yesus.
Artikel asli: http://www.catholicnews.com/data/stories/cns/1100868.htm
Kardinal Canizares mengatakan, "Partisipasi dalam perayaan Ekaristi dapat melemahkan bahkan membuat kita kehilangan iman jika kita tidak masuk ke dalamnya dengan benar," dan jika liturgi tidak dirayakan sesuai dengan norma-norma Gereja.
Hal senada dikatakan oleh Kardinal Burke, "Jika kita salah dengan berpikir bahwa kitalah pusat dari liturgi, Misa Kudus akan menghantar pada hilangnya iman." Juga sependapat dengan Romo Nicola Bux, ia mengatakan bahwa "penyelewengan liturgi (liturgical abuse) menyebabkan kerusakan serius terhadap iman umat Katolik."
Sayangnya, beliau menambahkan, terlalu banyak imam dan uskup menangani pelanggaran norma-norma liturgi sebagai sesuatu yang tidak penting, padahal sebenarnya hal itu adalah "penyelewengan yang serius."
Romo Bux mengatakan bahwa banyak umat Katolik modern yang berpikir bahwa Misa adalah kegiatan yang dilakukan bersama-sama oleh imam dan umat. Padahal kenyataannya, Misa adalah sesuatu yang dilakukan Yesus.
Artikel asli: http://www.catholicnews.com/data/stories/cns/1100868.htm
Kamis, 27 Januari 2011
Pujian dan Penyembahan dalam Gereja Katolik
Ini adalah poin-poin yang saya tulis beserta kutipan referensi untuk bahan Pujian dan Penyembahan dalam konteks Gereja Katolik.
[1] Covenant and Communion: The Biblical Theology of Pope Benedict XVI, Scott W. Hahn. Brazos Press, 2009. Page 119:
Cited in: Covenant and Communion: The Biblical Theology of Pope Benedict XVI, Scott W. Hahn. Brazos Press, 2009. Page 118:
Cited in: Covenant and Communion: The Biblical Theology of Pope Benedict XVI, Scott W. Hahn. Brazos Press, 2009. Page 155:
Cited in: Covenant and Communion: The Biblical Theology of Pope Benedict XVI, Scott W. Hahn. Brazos Press, 2009. Page 156:
- Original Man, diciptakan untuk menyembah Allah, secara khusus diberi martabat imamat.[1]
- Alam semesta diciptakan, diatur, ditata sebagai sebuah bait Allah raksasa.[2]
- Penyembahan yang dikehendaki Allah adalah pemberian diri manusia seutuhnya sebagai tanggapan dari kasih Allah yang sudah lebih dulu mengasihi kita.[3]
- Lebih detilnya, menyembah Allah adalah tindakan mengakui, dalam hormat dan ketaatan absolut.[4]
- Menyembah Allah pertama-tama adalah sebuah anugerah, hadiah, undangan dari Allah kepada manusia. Allah bukan haus pujian, Ia tidak membebankan manusia memuja diriNya seolah Ia butuh pengakuan. Namun penyembahan adalah demi manusia, karena lewat itu manusia dilepaskan dari dirinya sendiri dan masuk dalam misteri kehidupan diri Allah sendiri.[5]
- Dosa membuat manusia kehilangan rahmat, hubungan mesra dengan Allah menjadi berantakan.
- Penyembahan manusia sejak kejatuhannya tidak pernah menjadi penyembahan sempurna, penyembahan yang benar.[6]
- Manusia tidak mampu mempersembahkan dirinya secara utuh sebagai sebuah persembahan kepada Allah.[7]
- Yesus Kristus datang ke dunia, menjadi manusia. Hanya Ia yang mampu mempersembahkan satu-satunya persembahan yang sempurna.
- Persembahan yang sempurna adalah pemberian diri sehabis-habisnya kepada Allah, Ia lakukan dengan wafat di salib.[8]
- Karena itu satu-satunya penyembahan yang benar, sempurna adalah korban Yesus Kristus seorang. Tidak ada manusia lain yang mampu.[9]
- Namun, dalam pembaptisan kita disatukan dengan Kristus sebagai anggota tubuhNya.[10][11]
- Sekarang kita pun mampu memberi penyembahan yang murni dan sempurna kepada Bapa, yaitu dengan menyatukan diri dengan penyembahan Kristus di salib.[12]
- Dalam Ekaristi kita merayakan pemberian diri Yesus secara sempurna kepada Bapa, dan pemberian diri kita melalui perantaraan, bersama dan dalam Yesus karena kita adalah TubuhNya. Dengan demikian kita mampu mempersembahkan penyembahan sejati, yaitu dengan berpartisipasi dalam penyembahan Kristus.[13][14]
- Selain Ekaristi, Gereja ambil bagian dalam penyembahan Kristus dalam melambungkan pujian dan permohonan kepada Allah.[15][16]
- Pujian agung yang diinspirasikan Allah dalam Kitab Suci, utamanya Kitab Mazmur, menjadi pujian yang dilambungkan Kristus sendiri kepada Bapa. Ketika Ia mempersembahkan pujian Mazmur dan permohonan kepada Bapa. Keberadaan DiriNya sendiri sesungguhnya Mazmur dan Kitab Suci yang hidup, bergerak, bertindak, berdaging.[17]
- Karena lewat pembaptisan kita disatukan dengan Kristus sebagai TubuhNya. Ketika ambil bagian dalam doa Gereja yang dikenal dengan Ibadat Harian (Brevir, Ofisi Suci), umat beriman dengan perantaraan, bersama dan dalam Kristus, turut mempersembahkan pujian dan permohonan kepada Bapa.[18]
- Kita disatukan juga dengan seluruh anggota Gereja dari segala zaman, di surga dan di bumi. Kita berdoa atas nama Gereja bagi seluruh ciptaan.[19]
- Inilah dua wujud penyembahan Gereja yang utama. Lewat dua hal ini, bisa dikatakan kita menjadi Kristus sendiri dan mempersembahkan penyembahan yang sejati dan sempurna kepada Bapa.[20]
- Ekaristi, Ofisi Suci dan liturgi Gereja lainnya (seperti aneka pemberkatan misalnya) memiliki bentuk yang diwariskan Gereja kepada anak-anaknya.[21]
- Sebagai warisan, kita menjaganya baik-baik. Bentuk dan tatanannya menjadi baku, dan tidak bisa kita ubah-ubah sesuka hati. Lewat apa yang baku itu ada jaminan bahwa ketika kita mendoakannya, kita berdoa atas nama dan bersama Gereja di surga dan di bumi.[22]
- Doa-doa pribadi, pujian, terima kasih yang kita haturkan kepada Bapa adalah perpanjangan dari penyembahan kita dalam Kristus. Yaitu karena kita telah diperbolehkan dan dimampukan untuk memiliki hubungan yang intim ini dengan Bapa, dalam Kristus.[23]
- Dalam doa pribadi, kita masuk ke ruang tersembunyi dimana kita membina relasi pribadi dengan Allah.
- Pun dikatakan pribadi, secara implisit ini dimungkinkan karena partisipasi kita sebagai Tubuh Kristus.[24]
- Karena itu aspek pribadi dan publik (liturgis) adalah dua sisi dari kenyataan yang sama. Relasi privat kita menyokong ibadah publik. Sementara ibadah publik sumber dan puncak dari penyembahan privat kita.
[1] Covenant and Communion: The Biblical Theology of Pope Benedict XVI, Scott W. Hahn. Brazos Press, 2009. Page 119:
To return to our discussion of his [Benedict XVI] project, the world was created to be a temple-kingdom of God. The human person, made “in the image of God,” is given a priestly vocation, namely, to offer worship to God. In Benedict’s writings, we see the importance of the dialogic or relational character of the human person. Man is created in and for relation and dialogue with God, who in turn is a communion of dive persons, a Trinity. The call of the loving God addressed to the human person is a call to a relationship of love and communion. The human response takes the form of prayer, worship, and freely given obedience in love to the divine Word that is spoken.[2] In the Beginning: A Catholic Understanding of the Story of Creation and the Fall, Cardinal Joseph Ratzinger. Translated by Boniface Ramsey. Grand Rapids: Eerdmans, 1995 (1986). Page 27-28.
Cited in: Covenant and Communion: The Biblical Theology of Pope Benedict XVI, Scott W. Hahn. Brazos Press, 2009. Page 118:
Creation is oriented to the Sabbath, which is the sign of the covenant between God and humandkind.... As a first step, we can draw this conclusion: Creation is designed in such a way that it is oriented to worship. It fulfills its purpose and assumes its significance when it is lived, ever new, with a view to worship. Creation exists for the sake of worship. As St. Benedict said in his Rule: Operi Dei nihil praeponatur – “Nothing must be put before the service of God.” This is not the expression of an otherworldy piety but a clear and sober translation of the creation account and of the message that it bears for our lives. The true center, the power that moves and shapes from within in the rhythm of the stars and of our lives, is worship... The universe exists for worship and for the glorification of God.[3] Covenant and Communion: The Biblical Theology of Pope Benedict XVI, Scott W. Hahn. Brazos Press, 2009. Page 120:
Worship is “the soul of the covenant.” God’s purposes for creation are realized through the worship offered by the human person created in his image and likeness. Human worship “not only saves mankind but is also meant to draw the whole of reality into communion with God” (Joseph Cardinal Ratzinger. The Spirit of the Liturgy. Translated by John Saward. San Francisco: Ignatius, 2000. Page 27). For Benedict, our worship is meant to take the form of a giving back, a handing over of our selves and our possessions to God in an act of thanksgiving and love. Authentic worship never begins as human initiative but rather is always a response to the divine gift. In its purest form, worship is a sacrifice; “the only real gift man should give to God is himself” (Joseph Cardinal Ratzinger. The Spirit of the Liturgy. Translated by John Saward. San Francisco: Ignatius, 2000. Page 35).[4] Catechism of the Catholic Church no. 2097.
To adore God is to acknowledge, in respect and absolute submission, the "nothingness of the creature" who would not exist but for God. To adore God is to praise and exalt him and to humble oneself, as Mary did in the Magnificat, confessing with gratitude that he has done great things and holy is his name. The worship of the one God sets man free from turning in on himself, from the slavery of sin and the idolatry of the world.[5] Joseph Cardinal Ratzinger. The Spirit of the Liturgy. Translated by John Saward. San Fransisco: Ignatius, 2000. Page 25:
True surrender to God ... consists – according to the Fathers in fidelity to biblical thought – in the union of man and creation with God. Belonging to God ... means losing oneself as the only possible way of finding oneself (Mark 8:35; Matt. 10:39). That is why St. Augustine could say that the true “sacrifice” is the civitas Dei, that is, love-transformed mankind, the divinization of creation and the surrender of all things to God: God all in all (1 Cor. 15:28). That is the purpose of the world. That is the essence of sacrifice and worship.
And so we can now say that the goal of worship and the goal of creation as a whole are one and the same – divinization, a world of freedom and love. But this means that the historical makes its appearance in the cosmic. The cosmos is not a kind of closed building, a stationary container in which history may by chance take place. Its is itself movement, from its one beginning to its one end. In a sense, creation is history.[6] Covenant and Communion: The Biblical Theology of Pope Benedict XVI, Scott W. Hahn. Brazos Press, 2009. Page 154:
Throughout history, as he [Benedict XVI] understands it, sacrifice has been based on a principle of symbolic representation or substitution. Men and women offer in sacrifice something they value, for instance, the unblemish firstborn of their flock or the firstfruits of their harvest. This offering is intended to symbolize or represent their own lives. In offering this valued good by destroying it through a sacrificial fire or other means, the worshiper aims to satisfy, propitiate, or secure some favor from the deity.
Benedict reads this anthropological data in light of the biblical history of sacrifice. Although the God of Israel was truly unique among the deities of the ancient Near East, Israel’s system of sin offereings was characterized primarily by this substitutionary principle. The blood and fat of the sacrificial animal symbolized and was a substitute for the life of the one offering the sacrifice (Joseph Cardinal Ratzinger. Pilgrim Fellowship of Faith: The Church as Communion. Edited by Stephan Otto Horn and Vinzenz Pfnür. Translated by Henry Taylor. San Francisco: Ignatius, 2005 (2002). Page 76).
This system, in Benedict’s reading of the Bible, reflects the fallen condition of man. Since the original sin and fall from grace, humankind has been closed in on itself. Men and women could not offer themselves to God fully. They could never achieve the purity or the communion with God for which they were intended. Made for divinization in offering themselves and the fruits of creation back to God in a free return of thanksgiving and love, men and women could only offer sacrifices for forgiveness and atonement, for expiation and healing (Joseph Cardinal Ratzinger. The Spirit of the Liturgy. Translated by John Saward. San Francisco: Ignatius, 2000. Page 35-38.) Over time, the canonical records indicates Israel’s growing awareness of the holowness and ineffectiveness of these efforts.[7] Joseph Ratzinger, The Sabbath of History (Washington, DC: William G. Congdon Foundation, 2000), 27; Joseph Cardinal Ratzinger, Introduction to Christianity, trans. J. R. Foster (San Francisco: Ignatius, 1990 [1968]), 214-18.
Cited in: Covenant and Communion: The Biblical Theology of Pope Benedict XVI, Scott W. Hahn. Brazos Press, 2009. Page 155:
All pre-Christian worship rests finally on the notion of representation. Man knows that he would basically have to give himself if he would honor God in a way suited to the deity. But he soon discovers the impossibility of giving himself and so creates the substitution: hecatombs of immolated victims are loaded on the altars of antiquity. A powerful cult is established but an oppressive futility pervades over all this, for there is nothing man can replace himself with. Whatever he offers remains too little.[8] Covenant and Communion: The Biblical Theology of Pope Benedict XVI, Scott W. Hahn. Brazos Press, 2009. Page 156:
The cross, then, becomes the hermeneutical key for understanding the true nature of sacrifice and worship as well as the meaning of Christ’s mission. By his cross, Jesus shattered forever the notion of representational or substitutionary sacrifices. In the cross, divine self-offering is made the pathway and the model of human worship of God. On the cross, a truly pure and innocent man offers himself – heart and mind, body and blood, soul and strength – for the love of God and obedience to the divine will.[9] Joseph Cardinal Ratzinger. God is Near Us: The Eucharist, the Heart of Life. Edited by Stephan Otto Horn and Vinzenz Pfnür. Translated by Henry Taylor. San Francisco: Ignatius, 2003 (2001). Page 32-33.
Cited in: Covenant and Communion: The Biblical Theology of Pope Benedict XVI, Scott W. Hahn. Brazos Press, 2009. Page 156:
What had always been intended and could never be achieved in the Old Testament sacrifices is incorporated in him. God does not desire the sacrifice of animals; everything belongs to him. And he does not desire human sacrifice, for he has created man for living. God desires something more: he desires love, which transforms man and through which he becomes capable of relating to God, giving himself up to God. Now, all those thousands of sacrifices that were always presented to God in the Temple at Jerusalem and all the sacrifices performed in the whole course of history, all this vain and eternal striving to bring ourselves up to God, can be seen as unnecessary and yet, at the same time, as being like windows that allow us, so to speak, a glimpse of the real thing, like preliminary attempts at what has now been achieved. What they signified – giving to God, union with God – comes to pass in Jesus Christ, in him who gives God nothing but himself and, thereby, us in him.[10] Covenant and Communion: The Biblical Theology of Pope Benedict XVI, Scott W. Hahn. Brazos Press, 2009. Page 165:
Jesus is the new Adam. Like the first Adam, Jesus enters into “sleep” and a new humanity, a new people of God, is born from his side by the intent and action of God. The blood and water that flow from his pierced side are symbols of the baptismal waters and the blood of the Eucharist, “the foundational sacraments ... which, for their part, form the actual content of the Church’s identity as Church” (Joseph Ratzinger, The Sabbath of History (Washington, DC: William G. Congdon Foundation, 2000), 32.
Through these sacraments of blood and water, the people of God are connected in an intimate communion with one another in the body of Christ.[11] Sacrosanctum Concillium no. 6:
Thus by baptism men are plunged into the paschal mystery of Christ: they die with Him, are buried with Him, and rise with Him (Cf. Rom. 6:4; Eph. 2:6; Col. 3:1; 2 Tim. 2:11.); they receive the spirit of adoption as sons "in which we cry: Abba, Father" ( Rom. 8 :15), and thus become true adorers whom the Father seeks (Cf. John 4:23.)[12] Covenant and Communion: The Biblical Theology of Pope Benedict XVI, Scott W. Hahn. Brazos Press, 2009. Page 164:
In Christ and his cross, true worship is once again made possible – the worship for which humanity was made in the beginning ; the worship that unites flesh and blood, body and soul, spirit and matter, heaven and earth. “Because he turned death into a proclamation of thanksgiving and love, he is now able to be present through all ages as the wellspring of life, and we can enter into him by praying with him” (Joseph Cardinal Ratzinger. God is Near Us: The Eucharist, the Heart of Life. Edited by Stephan Otto Horn and Vinzenz Pfnür. Translated by Henry Taylor. San Francisco: Ignatius, 2003 (2001). Page 49-50.).
The crucifixion is presented in the Scriptures as a cosmic liturgy, an offering of prayer and sacrifice that unites heaven and earth. We enter into that cosmic liturgy by praying with Christ in the liturgy of his Church, which is the new people of God created from the body of Christ pierced on the cross.[13] Sacrosanctum Concillium no. 48:
The Church, therefore, earnestly desires that Christ's faithful, when present at this mystery of faith, should not be there as strangers or silent spectators; on the contrary, through a good understanding of the rites and prayers they should take part in the sacred action conscious of what they are doing, with devotion and full collaboration. They should be instructed by God's word and be nourished at the table of the Lord's body; they should give thanks to God; by offering the Immaculate Victim, not only through the hands of the priest, but also with him, they should learn also to offer themselves; through Christ the Mediator (Cf. St. Cyril of Alexandria, Commentary on the Gospel of John, book XI, chap. XI-XII: Migne, Patrologia Graeca, 74, 557-564.), they should be drawn day by day into ever more perfect union with God and with each other, so that finally God may be all in all.[14] General Instruction of the Roman Missal (Third typical edition) no. 5:
In addition, the nature of the ministerial priesthood also puts into its proper light another reality, which must indeed be highly regarded, namely, the royal priesthood of the faithful, whose spiritual sacrifice is brought to completeness through the ministry of the Bishop and the priests in union with the sacrifice of Christ, the one and only Mediator. For the celebration of the Eucharist is an action of the whole Church, and in it each one should carry out solely but completely that which pertains to him or her, in virtue of the rank of each within the People of God. In this way greater consideration will also be given to some aspects of the celebration that have sometimes been accorded less attention in the course of time. For this people is the People of God, purchased by Christ’s Blood, gathered together by the Lord, nourished by his word. It is a people called to bring to God the prayers of the entire human family, a people giving thanks in Christ for the mystery of salvation by offering his Sacrifice. Finally, it is a people made one by by sharing in the Communion of Christ’s Body and Blood. Though holy in its origin, this people nevertheless grows continually in holiness by its conscious, active, and fruitful participation in the mystery of the Eucharist (Cf. SC no. 11.).[15] General Instruction of the Liturgy of the Hours no. 3:
When the Word, proceeding from the Father as the splendor of his glory, came to give us all a share in God's life, "Christ Jesus, High Priest of the new and eternal covenant, taking human nature, introduced into this earthly exile the hymn of praise that is sung throughout all ages in the halls of heaven." [SC art. 83.] From then on in Christ's heart the praise of God assumes a human sound in words of adoration, expiation, and intercession, presented to the Father by the Head of the new humanity, the Mediator between God and his people, in the name of all and for the good of all.[16] General Instruction of the Liturgy of the Hours no. 13:
In the Holy Spirit Christ carries out through the Church "the task of redeeming humanity and giving perfect glory to God," [SC art. 5.] not only when the eucharist is celebrated and the sacraments administered but also in other ways and especially when the liturgy of the hours is celebrated. [See SC art. 83 and 98.] There Christ himself is present - in the gathered community, in the proclamation of God's word, "in the prayer and song of the Church." [SC art. 7.]
The excellence of Christian prayer lies in its sharing in the reverent love of the only-begotten Son for the Father and in the prayer that the Son put into words in his earthly life and that still continues without ceasing in the name of the whole human race and for its salvation, throughout the universal Church and in all its members.[17] Sacrosanctum Concillium no. 83:
Christ Jesus, high priest of the new and eternal covenant, taking human nature, introduced into this earthly exile that hymn which is sung throughout all ages in the halls of heaven. He joins the entire community of mankind to Himself, associating it with His own singing of this canticle of divine praise. For he continues His priestly work through the agency of His Church, which is ceaselessly engaged in praising the Lord and interceding for the salvation of the whole world. She does this, not only by celebrating the eucharist, but also in other ways, especially by praying the divine office.[18] General Instruction of the Liturgy of the Hours no. 7:
There is a special and very close bond between Christ and those whom he makes members of his Body, the Church, through the sacrament of rebirth. Thus, from the Head all the riches belonging to the Son flow throughout the whole Body: the communication of the Spirit, the truth, the life, and the participation in the divine sonship that Christ manifested in all his prayer when he dwelt among us.
Christ's priesthood is also shared by the whole Body of the Church, so that the baptized are consecrated as a spiritual temple and holy priesthood through the rebirth of baptism and the anointing by the Holy Spirit [See LG no. 10.] and are empowered to offer the worship of the New Covenant, a worship that derives not from our own powers but from Christ's merit and gift.
"God could give us no greater gift than to establish as our Head the Word through whom he created all things and to unite us to that Head as members. The results are many The Head is Son of God and Son of Man, one as God with the Father and one as man with us. When we speak in prayer to the Father, we do not separate the Son from him and when the Son's Body prays it does not separate itself from its Head. It is the one Savior of his Body, the Lord Christ Jesus, who prays for us and in us and who is prayed to by us. He prays for us as our priest, in us as our Head; he is prayed to by us as our God. Recognize therefore our own voice in him and his voice in us." [Augustine, Enarrat. in Ps. 85, 1: CCL 39, 1176.][19] General Instruction of the Liturgy of the Hours no. 16:
When the Church offers praise to God in the liturgy of the hours, it unites itself with that hymn of praise sung throughout all ages in the halls of heaven; [See SC art. 83.] it also receives a foretaste of the song of praise in heaven, described by John in the Book of Revelation, the song sung continually before the throne of God and of the Lamb. Our close union with the Church in heaven is given effective voice "when we all, from every tribe and tongue and people and nation redeemed by Christ's blood (see Rv 5:9) and gathered together into the one Church, glorify the triune God with one hymn of praise." [LG no. 50; SC art. 8 and 104.]
The prophets came almost to a vision of this liturgy of heaven as the victory of a day without night, of a light without darkness: "The sun will no more be your light by day, and the brightness of the moon will not shine upon you, but the Lord will be your everlasting light" (Is 60:19; see Rv 21:23 and 25). "There will be a single day, known to the Lord, not day and night, and at evening there will be light" (Zech 14:7). Already "the end of the ages has come upon us (see I Cor 10:11) and the renewal of the world has been irrevocably established and in a true sense is being anticipated in this world." [LG no. 48.] By faith we too are taught the meaning of our temporal life, so that we look forward with all creation to the revealing of God's children. [See Rom 8:19.] In the liturgy of the hours we proclaim this faith, we express and nourish this hope, we share in some degree the joy of everlasting praise and of that day that knows no setting.[20] Sacrosanctum Concillium no. 7:
Christ indeed always associates the Church with Himself in this great work wherein God is perfectly glorified and men are sanctified. The Church is His beloved Bride who calls to her Lord, and through Him offers worship to the Eternal Father. Rightly, then, the liturgy is considered as an exercise of the priestly office of Jesus Christ. In the liturgy the sanctification of the man is signified by signs perceptible to the senses, and is effected in a way which corresponds with each of these signs; in the liturgy the whole public worship is performed by the Mystical Body of Jesus Christ, that is, by the Head and His members. From this it follows that every liturgical celebration, because it is an action of Christ the priest and of His Body which is the Church, is a sacred action surpassing all others; no other action of the Church can equal its efficacy by the same title and to the same degree.[21] Light of the World, Benedict XVI. Ignatius Press, 2010. Page 104:
One of the most controversial pronouncements of your pontificate so far is the motu proprio Summorum Pontificium, which was issued in July of 2007. Its purpose was to make access easier to the earlier Latin Mass, which until then could be celebrated only with the permission of the local bishop. In an accompanying letter you expressly stated that the new vernacular liturgy remains the ordinary form, whereas the Tridentine Mass is the extraordinary form. You also stated that the central issue for you was not the “often petty questions regarding this or that form”, but “the cosmic character of the liturgy”, as well as the broad continuity of the Christian liturgy with the heritage of the Old Testament. What did you mean by this?[22] Light of the World, Benedict XVI. Ignatius Press, 2010. Page 156:
This is a very big topic. The essential point is to avoid celebrating the liturgy as an occasion for the community to exhibit itself, under the pretext that it is important for everyone to involve himself, though in the end, then, only the “self” is really important. Rather, the decisive thing is that we enter into something that is much greater. That we can get out of ourselves, as it were, and into the wide open spaces. For the same reason, it is also very important that the liturgy itself not be tinkered with in some way.
Liturgy, in truth, is an event by means of which we let ourselves be introduced into the expansive faith and prayer of the Church. This is the reason why the early Christians prayed facing east, in the direction of the rising sun, the symbol of the returning Christ. In so doing, they wanted to show that the whole world is on its way toward Christ and that he encompasses the whole world. This connection between heaven and earth is very important. It was no accident that ancient churches were built so that the sun would cast its light into the house of God at a very precise moment. Nowadays we are rediscovering the importance of the interactions between the earth and the rest of the universe, and so it makes perfect sense that we should also relearn to recognize the cosmic character of the liturgy. As well as its historical character. Which means recognizing that someone didn't just one day invent the liturgy, but that it has been growing organically since the time of Abraham. These kinds of elements from the earliest times are still present in the liturgy.
Concretely, the renewed liturgy of the Second Vatican Council is the valid form in which the Church celebrates liturgy today. My main reason for making the previous form more available was to preserve the internal continuity of Church history. We cannot say: Before, everything was wrong, but now everything is right; for in a community in which prayer and the Eucharist are the most important things, what was earlier supremely sacred cannot be entirely wrong. The issue was internal reconciliation with our own past, the intrinsic continuity of faith and prayer in the Church.
So liturgy is something that is given in advance?[23] Sacrosanctum Concillium no. 12:
Yes. It is not about our doing something, about our demonstrating our creativity, in other words, about displaying everything we can do. Liturgy is precisely not a show, a piece of theater, a spectacle. Rather, it gets its life from the Other. This has to become evident, too. This is why the fact that the ecclesial form has been given in advance is so important. It can be reformed in matters of detail, but it cannot be reinvented every time by the community. It is not a question, as I said, of self-production. The point is to go out of and beyond ourselves, to give ourselves to him. and to let ourselves be touched by him.
In this sense, it's not just the expression of this form that's important, but also its communality. This form can exist in different rites, but it must always contain that element which precedes us, that comes from the whole of the Church's faith, from the whole of her tradition, from the whole of her life, and does not just spring from the fashion of the moment.
The spiritual life, however, is not limited solely to participation in the liturgy. The Christian is indeed called to pray with his brethren, but he must also enter into his chamber to pray to the Father, in secret (Cf. Matt. 6:6.); yet more, according to the teaching of the Apostle, he should pray without ceasing (Cf . 1 Thess. 5:17.).[24] Covenant and Communion: The Biblical Theology of Pope Benedict XVI, Scott W. Hahn. Brazos Press, 2009. Page 167:
The Church’s worship, then, is far more than a congregational gathering. It is an act of priesthood, which has always been the duty of the people of God ... The essence of the priesthood of the Church is this adoration and glorification of God – “that the whole world may become a temple and a sacrifice pelasing to God, and that in the end God may be all in all (1 Cor. 15:28)” (John F. Thornton and Susan B. Varenne, eds. The essential Pople Benedict XVI: His Central Writings and Speeches. San Francisco: HarperSanFrancisco, 2007. Page 302-3.)
Langganan:
Postingan (Atom)