Apa yang saya dapat tentang liturgi, langung maupun tak langung berasal dari Pembaruan Hidup dalam Roh, yang kerap dikenal sebagai "pembaruan karismatik."
Persinggungan dengan gerakan ini mengisi kekosongan hidup rohani yang saya alami, dan saya akan selalu bersyukur karenanya.
Pembaruan hidup dalam Roh membawa saya pada formasi kehidupan rohani, devosi, Adorasi, Firman, dan Ekaristi.
Dan menariknya, membawa saya pada kecintaan terhadap liturgi.
Saya katakan menarik karena ada 2 sikap yang saya cermati ada dalam fenomena pembaruan hidup dalam Roh ini:
Yang pertama dan lebih kerap saya jumpai adalah orang-orang yang dinamis, menggebu-gebu, memiliki passion dan semangat, dan tulus berusaha menghidupi kehidupan rohani dengan serius.
Mereka dengan tulus berusaha membawa Allah kepada banyak orang.
Mereka menemukan sesuatu yang sama sekali baru dan segar secara spiritual, dibandingkan pengalaman rohani mereka sebelumnya.
Namun, seringkali mereka memandang pengalaman mereka sebelumnya sebagai sesuatu yang kaku, kering, bosan, "tidak ada urapan". Termasuk juga pengalaman dan pemahaman mereka akan liturgi Gereja.
Tergabung dalam kelompok ini adalah mereka yang memang tidak punya formasi liturgis, tetapi setidaknya tidak memandang kata liturgi seradikal sebuah penjara.
Untuk itu mereka mengusahakan suatu solusi.
Apa yang menyentuh mereka, sukacita dan kegembiraan mereka, hendak mereka refleksikan juga dalam penghayatan hidup liturgis mereka.
Mereka membawa pengalaman spiritual mereka, ke dalam liturgi. Lagu-lagu yang menyentuh mereka, ekspresi bebas yang mereka temukan, spontanitas yang mengalir dari hati.
Terjadi pertentangan antara yang 'sesuai aturan', yang dicap kaku, dengan yang 'bebas' yang diartikan sebagai membawa segala inovasi ke dalam liturgi, sering kali terjadi pembongkaran liturgi secara sepihak. Imam yang menggubah Doa Syukur Agung sendiri, atau umat yang hanya mau berpartisipasi dalam Ekaristi "karismatik," sebagai contoh ekstrimnya.
Kalau ini terdengar tidak asing, mungkin karena ini merefleksikan pengalaman pribadi rekan-rekan sendiri. Dan saya pun pernah memposisikan diri seperti ini.
Namun dalam kehidupan menggereja, saya menemukan orang dan kelompok yang punya pemahaman lain.
Beberapa adalah tokoh penting dalam pembaruan hidup dalam Roh, seperti Suster Briege McKenna, dan Romo Raniero Cantalamessa. Mereka bisa dibilang leader, tetapi menghidupi pembaruan hidup dalam Roh dengan cara berbeda.
Tampak luar konservatif, tetapi tidak ada yang meragukan bahwa mereka digunakan Allah secara efektif dan pendoa yang handal.
Juga persinggungan dengan kelompok-kelompok lain dalam Gereja, seperti misalnya Komunitas Emmanuel, membuka wawasan yang lebih luas tentang apa itu gerakan pembaruan hidup dalam Roh. Kelompok ini tidak memiliki 'warna' menggebu-gebu umumnya terbersit kalau kita mendengar "Karismatik", melainkan membawa warna kontemplatif. Untuk beberapa saat saya kerap mengikuti Adorasi yang diselenggarakan rutin oleh Komunitas Emmanuel.
Mendengarkan dan membaca juga menambah wawasan, bahwa pembaruan hidup dalam Roh tidak identik dengan kemasan luar tertentu. Seseorang dan suatu kelompok bisa sangat aktif dalam hidup baru tetapi tidak mengadopsi ekspresi yang biasa dijumpai dalam jemaat Pentakostal.
Perjumpaan dengan statuta ICCRS (International Catholic Charismatic Renewal Services), yaitu lembaga tingkat dunia yang memayungi dan menjadi kelompok-kelompok dan organisasi-organisasi Karismatik Katolik sedunia, membawa visi dan misi pembaruan hidup dalam Roh ke arah yang berbeda dari yang umumnya ditangkap umat kebanyakan.
Ditambah perkenalan saya dengan Ibadat Harian (Brevir) dan Pedoman Umum Ibadat Harian, yang bukan saja mengungkapkan tata-cara tetapi juga landasan teologis doa liturgi ini, menjadi pemicu pasti perkenalan saya dengan kekayaan liturgi Gereja Katolik. Dengan segera Ibadat Harian menjadi bagian dari kehidupan doa saya.
Api semakin dikobarkan oleh tulisan-tulisan yang saya baca dari penulis populer seperti Scott Hahn dan Kardinal Ratzinger (yang sekarang dikenal sebagai Paus Benediktus XVI). Dari Scott Hahn pula pertama kali awal perkenalan saya dengan istilah Teology of the Body, sekitar tahun 2004. Tulisannya tentang makna Covenant (perjanjian) dalam sejarah keselamatan dan sakramen sangat berkaitan langsung dengan perayaan liturgi Gereja.
Tulisannya yang berhubungan dengan studi Kitab Suci juga menekankan makna alegori Kitab Suci, bagaimana sejarah dalam Perjanjian Lama terkuak dalam Perjanjian Baru dan dihidupi kembali dalam perayaan sakramen-sakramen, yang adalah perayaan liturgi.
Semua semakin menarik ketika saya berjumpa dengan blog New Liturgical Movement, dan banyaknya interaksi saya dengan umat Gereja Katolik Timur lewat forum Katolik Byzantin.
Dari semua itu saya semakin disadarkan tentang keunikan liturgi Romawi, karakteristiknya, dan simbol-simbol yang ada di dalamnya.
Teks-teks liturgi, dan banyaknya kutipan Kitab Suci yang membentuk liturgi Romawi, menegaskan cara Gereja membaca Kitab Suci dan mengaktualisasikannya dalam liturgi. Dan bahwa dalam liturgi, kita tidak pernah menjadi penonton pasif, melainkan seorang partisipan aktif yang melaksanakan imamat rajawi kita bersama dan dalam Kristus, dalam ibadah raya bersama Gereja di surga dan di bumi.
Jika simbol sekedar simbol, struktur dan rubik sekedar struktur, maka mengganti semua itu supaya lebih aktual sangat masuk akal. Tetapi, kalau semuanya itu secara hati-hati dipertahankan dalam liturgi dan mengaktualkan Firman dalam aksi, maka mengganti semuanya itu demi selera dan penafsiran pribadi adalah gegabah. Apalagi kalau kita tak pernah menyediakan cukup waktu untuk mempelajarinya. Betapa kita selama ini baru mengenal kedalaman liturgi secara dangkal!
Tidak heran orang seperti Scott Hahn bisa begitu excited ketika ikut ambil bagian dalam Misa pertama kali! Kedekatannya dengan Kitab Suci membuatnya ambil bagian dalam Misa seolah menemukan mutiara yang sangat berharga.
Ternyata, saya tidak sendirian.
Ada teman-teman komunitas yang juga sampai pada pemahaman yang sama dan punya kerinduan yang sama. Anak muda yang menghabiskan waktu lama diskusi tentang liturgi sungguh salah satu keajaiban dunia. Bahkan dari kacamata teman-teman di komunitas pada umumnya.
Ada banyak juga komunitas-komunitas tradisional yang didirikan oleh orang-orang yang pernah bersentuhan dengan pembaruan hidup dalam Roh.
Perjumpaan dengan tulisan-tulisan Kardinal Suenens tentang awal gerakan Karismatik Katolik (Malines Documents - studi pertanggungjawaban tentang Karismatik Katolik pada awal mula munculnya, yang dilaporkan beliau kepada Paus Paulus VI dan Yohanes Paulus II dan Kardinal Ratzinger) semakin memperjelas visi misi pembaruan hidup dalam Roh yang dikehendaki Gereja.
Betapa mereka yang menyebut diri Karismatik harus membacanya!
Visi Gereja akan pembaruan liturgi, dan tulisan-tulisan para Paus (Yohanes Paulus II, Benediktus XVI) yang menekankan kesetiaan terhadap liturgi dan memerangi abuse, sebagai kunci pembaruan hidup Gereja di zaman kita bagi saya terdengar jelas sebagai karya dan arahan yang sama yang diberikan oleh Roh Kudus bagi pembaruan Karismatik.
Keduanya pasti sejalan, keduanya, pasti selaras.
Dan jika selaras, mungkin, dan saya menyakininya, gerakan pembaruan hidup dalam Roh akan lebih powerful ketika menghidupi liturgi Gereja dengan setia. Tetapi kelalaian dan inovasi di nadi kehidupan Gereja ini, walau berasal dari maksud dan niat yang baik, malah akan melemahkan, membawa disintegrasi, kekeringan, kekacauan dan menjauhkan kita dari visi dan misi otentik pembaruan.
Dari sini jelas, perjalanan saya di ranah liturgi, berawal dan berasal, dari pembaruan hidup dalam Roh dan masih digerakkan olehnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar