Selasa, 12 Oktober 2010

Liturgi, Ekaristi dan Evangelisasi

Artikel ini dibawakan oleh Uskup Agung Chaput pada Liturgical Institute of the University of St. Mary of the Lake, Chicago, IL pada tanggal 24 Juni 2010.
Saya membuat sedikit modifikasi ketika melakukan penterjemahan. Sambutan awal beliau saya potong. Beberapa kalimat dan paragraf saya potong supaya bisa saya strukturisasi seperti yang saya buat.

Terjemahan ini adalah terjemahan bebas dan tidak dimaksudkan sebagai terjemahan resmi.
Bagi yang tertarik silahkan membaca artikel aslinya (dalam bahasa Inggris) di link berikut ini:

Apa yang dibawakan oleh Uskup Agung Chaput berkisar dari tulisan seorang teolog Jerman pada masanya, Rm. Romano Guardini, pengarang karya yang sekarang menjadi literatur klasik, The Spirit of the Liturgy dalam konferensi Liturgis, 1964:

Bukankah aksi liturgi (liturgical act), termasuk semua hal yang disebut 'liturgi', memiliki ikatan begitu erat dengan latar belakang historis – apakah itu antik, abad pertengahan, atau barok – sehingga lebih jujur jika kita meninggalkannya sama sekali? Tidakkah lebih baik jika kita mengakui bahwa manusia di zaman industri dan sains sekarang ini, dengan struktur sosiologinya yang baru, tidak lagi mampu akan aksi liturgi?”[1]

Apa yang dimaksud dengan aksi liturgi?
Apa yang dimaksud Guardini dengan aksi liturgi adalah transformasi doa dan kesalehan pribadi menjadi bentuk penyembahan korporat yang otentik, leitourgia, ibadah publik yang dipersembahkan Gereja kepada Allah. Beliau menyadari bahwa doa korporat Gereja sangat berbeda dari doa pribadi seorang beriman.

Aksi liturgi membutuhkan suatu kesadaran yang baru, “kesiapan menghadap Tuhan,” penyadaran ke dalam akan kesatuan seluruh pribadi, tubuh dan roh, dengan tubuh spiritual Gereja, yang hadir di surga dan bumi. Aksi liturgi juga membutuhkan apresiasi akan tanda-tanda suci dan gerakan dalam Misa – berdiri, berlutut, menyanyi dan sebagainya – pada dasarnya adalah “doa.”

Lalu bagaimana dengan manusia modern?
Guardini percaya bahwa jiwa dunia modern memandang rendah apa yang memampukan kesadaran liturgis. Iman dan penyembahan tidak hadir dalam vakum. Kita sedikit banyak adalah produk dari budaya kita. Bingkai yang kita pakai untuk memberi makna, persepsi kita akan realitas, dibentuk oleh budaya dimana kita hidup – entah kita menyukainya atau tidak.

Dalam konteks Amerika modern, kita hidup dalam masyarakat yang prinsip utamanya adalah kemajuan teknologi, yang dipahami dalam bahasa sains dan materialistik yang sempit. Budaya kita didominasi asumsi sains dan materialistik. Kita memutuskan apa yang 'benar' dan apa yang 'nyata' berdasarkan apa yang bisa kita lihat, sentuh dan verifikasi melalui riset dan eksperimen.

Dalam budaya demikian, apakah pandangan Katolik yang tradisional bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah yang tidak kelihatan masih memiliki makna? Bahwa seorang pribadi adalah ciptaan yang terdiri dari tubuh dan roh, dipenuhi dengan “Roh yang menjadikan kita anak”[2] melalui liturgi dan sakramen-sakramen?
 

Kenyataannya, hampir tidak ada yang kita percaya sebagai orang Katolik diafirmasi oleh budaya kita. Bahkan makna kata “manusia” dan “orang” menjadi bahan perdebatan. Dan pandangan Katolik yang lain secara agresif ditolak atau tidak dihiraukan.

Pertanyaannya menjadi: Apa implikasi dari semua ini dengan ibadah kita – dimana kita memaklumkan bahwa kita terhubung tubuh dan roh dengan realitas spiritual, bernyanyi bersama para malaikat dan para kudus di surga, menerima secara nyata Tubuh dan Darah Tuhan kita yang telah mati dan sekarang bangkit dan hadir di atas altar?

Ada datum berikutnya: dalam kehidupan harian kita dikepung oleh monumen kekuasaan kita atas alam dan kebutuhan. Piala otonomi dan kemandirian diri kita ada dimana-mana – bangunan, mesin, obat-obatan, penemuan. Semua seolah memperlihatkan kapasitas kita untuk memenuhi segala kebutuhan kita sendiri melalui pengetahuan dan teknologi.

Sekali lagi, pertanyaannya menjadi: Bagaimana semua ini mempengaruhi inti dari ibadat kita – bahwa kita adalah makhluk yang bergantung pada Pencipta kita, dan bahwa kita berhutang syukur kepada Allah atas segala anugerah yang baik, dimulai dari anugerah kehidupan?

Kita bisa menanyakan hal yang sama mengenai misi evangelisasi kita. Kita memberitakan kabar baik bahwa dunia ini mempunyai seorang Penyelamat yang dapat membebaskan kita dari belenggu dosa dan kematian. Apa makna kabar baik kita dalam dunia dimana orang tidak lagi percaya akan dosa atau tidak merasa butuh diselamatkan dari sesuatu? Apa makna janji kemenangan atas kematian bagi orang yang tidak percaya akan adanya kenyataan di luar dunia yang kelihatan?

Apakah Guardini benar? Apakah manusia modern tidak memiliki kapasitas untuk ibadah yang sejati? Saya rasa demikian. Namun pertanyaan yang lebih penting bagi kita adalah ini: Jika beliau benar, apa yang harus kita lakukan?

Salah satu dari sedikit orang yang berkutat dengan masalah yang diangkat Guardini adalah seorang imam dari Chicago yang telah memberi kontribusi penting bagi pembaruan intelektual dan liturgis bagi Gereja, Rm. Robert Barron.

Barron menyatakan demikian: “Yang harus dilakukan bukanlah membentuk liturgi menurut pendapat zaman, tetapi membiarkan liturgi untuk mengajukan pertanyaan dan membentuk pendapat zaman. Apakah manusia modern tidak memiliki kapasitas untuk aksi liturgi? Mungkin. Tetapi, ini tidak menjadi alasan untuk putus asa. Tujuan kita bukan untuk mengakomodasi liturgi untuk dunia, tetapi membiarkan liturgi menjadi dirinya sendiri – sebuah ikon transformasi dari ordo Allah.”

Menurut Barron, setelah Konsili Vatikan II, para liturgis Katolik professional memilih cara pertama, berusaha mengadaptasi liturgi sesuai tuntutan budaya modern. Saya sependapat dengan Barron. Dan saya hendak menambahkan bahwa waktu telah menunjukkan kalau usaha ini adalah jalan buntu. Mencoba membentuk liturgi supaya lebih “relevan” dan “dipahami” melalui inovasi tiada henti hanya mengakibatkan kebingunan dan memperdalam jurang antara umat beriman dan jiwa liturgi yang sejati.[3]


Jadi apa yang bisa dilakukan?
Tugas besar berikutnya dari pembaruan liturgi adalah untuk membentuk budaya Ekaristis yang otentik, untuk membangun sensibilitas sakramental dan liturgis yang memampukan umat Katolik menghadapi berhala dan pandangan budaya kita, dengan kepercayaan diri umat beriman yang menimba kehidupan dari misteri-misteri suci, yang melaluinya kita mempunyai persekutuan dengan Allah yang hidup.

Kita harus menemukan kembali cara-cara baru untuk masuk ke dalam misteri liturgi; untuk menyadari posisi sentral liturgi dalam rencana penyelamatan Allah; untuk sungguh-sungguh menghidupi hidup kita sebagai persembahan spiritual bagi Allah; dan untuk memeluk tanggungjawab kita untuk misi Gereja dengan spiritualitas Ekaristis yang baru.

Ada 4 hal yang hendak saya sampaikan:
  1. Kita perlu memulihkan kembali hubungan intrinsik dan tak terpisahkan antara liturgi dan evangelisasi. Liturgi adalah sumber misi Gereja dan sekaligus juga tujuan misi itu. Ini adalah ajaran Gereja dan praktek Gereja perdana. Dan juga afirmasi ulang oleh Konsili Vatikan II.
    Sacrosanctum Concillium mengatakan ini: “Liturgi adalah puncak yang kepadanya aktifitas Gereja diarahkan; pada saat yang sama liturgi adalah sumber dari mana kekuatan Gereja mengalir. Adalah menjadi tujuan semua kegiatan apostolik bahwa semua yang telah diangkat menjadi anak Allah melalui iman dan baptisan, harus datang bersama untuk memuji Allah ditengah-tengah Gereja-Nya, untuk ambil bagian dalam korban, dan untuk menyantap Perjamuan Tuhan.”[4]
    Ini adalah visi kehidupan yang indah, untuk hidup dari Ekaristi dan untuk Ekaristi. Ini harus menjadi fondasi tidak hanya bagi pemikiran kita tentang liturgi, tetapi untuk strategi pastoral kita juga. Tujuan kita melakukan evangelisasi adalah untuk membawa orang-orang ke dalam persekutuan dengan Allah yang hidup dalam liturgi Ekaristi. Dan pengalaman akan persekutuan dengan Allah ini pada gilirannya, mendorong kita untuk melakukan evangelisasi.
    Jadi yang pertama hendak saya sampaikan adalah kita tidak dapat melihat liturgi sebagai sesuatu yang terpisah dari misi kita. Ibadah kita kepada Allah dalam Misa dimaksudkan sebagai tindakan adorasi, penyarahan diri dan syukur. Juga berarti kita menerima dengan penuh cinta, panggilan kita sebagai murid. Itulah sebabnya mengapa liturgi Ekaristi berakhir dengan pesan misionaris – kita diutus, ditugaskan untuk membagi harta yang telah kita temukan dengan semua orang yang kita jumpai.
  1. Liturgi di dunia adalah antisipasi perayaan liturgi di surga, di mana kita menyembah dalam Roh dan kebenaran bersama dengan Gereja semesta dan persekutuan para kudus.[5]

    Ini mungkin merupakan dimensi liturgi yang sekarang ini paling terlupakan. Jika liturgi kita terasa biasa, terkotak-kotak secara sempit, atau terlalu terfokus pada komunitas dan kebutuhan kita sendiri; jika liturgi kita kekurangan rasa akan yang ilahi dan yang transenden, hal itu dikarenakan kita telah kehilangan pandangan kalau liturgi kita sesungguhnya merupakan partisipasi liturgi surgawi.

    Untuk memahami hal ini sedikit lebih baik lagi, kita harus ingat kisah bagaimana kekristenan sampai ke Rusia. Menurut kisah pada tahun 988, Pangeran Vladimir I dari Kiev mencari agama nasional bagi bangsanya. Beliau mengirim utusan ke negara-negara tetangga untuk melihat keutamaan-keutamaan agama Yahudi, Kristen dan Islam. Dalam perjalanan mereka mengumpulkan informasi, para utusan tersebut berkesempatan ambil bagian dalam perayaan Ekaristi di Gereja Agung Hagia Sofia di Konstantinopel.

    Mereka dipenuhi kekaguman. Mereka kembali pulang dan menyampaikan laporan: “Kami menjumpai orang-orang Yunani, dan kami dibawa ke tempat di mana mereka menyembah Allah mereka. Kami tidak tahu apakah kami ada di surga atau di bumi. Kami hanya tahu bahwa Allah tinggal di sana diantara manusia.”[6] Tidak lama setelah itu, Vladimir dibaptis dan menganjurkan orang-orang sebangsanya untuk dibaptis juga.

    Sumber kisah ini sangat kuno, dan banyak sejarawan sekarang berpendapat kisah tersebut tidak benar. Walau demikian, kisah itu menggarisbawahi dimensi kosmik dan misionaris dari liturgi.

    Ekaristi, sebagaimana dikisahkan utusan Pangeran dari Kiev tersebut alami, adalah liturgi kosmik yang menyatukan ibadah di surga dengan ibadah di bumi. Dalam Liturgi Ilahi, Kerajaan Allah terjadi di bumi sebagaimana di surga. Surga dan bumi dipenuhi kemuliaan Allah. Ini adalah iman kita, tetapi saya tidak tahu berapa banyak umat beriman yang sesungguhnya menghidupinya.

    Kita melihat liturgi surgawi dalam kitab Wahyu. Ingatlah bagaimana kitab Wahyu dimulai. Santo Yohanes “dikuasai Roh pada Hari Tuhan.” Dengan kata lain, ia sedang merayakan Ekaristi pada hari Minggu ketika ia menerima visi ibadah di surga dan di dunia yang akan datang.[7]

    Buku ini dipenuhi dengan penggambaran liturgis dan sakramental. Pada satu saat Yohanes melihat banyak orang yang tak terhitung banyaknya dari setiap suku, bahasa, bangsa dan negara menyembah dihadapan sang Domba Ekaristi. Puncak dari kitab Wahyu adalah datangnya “surga dan bumi yang baru” dan pernyataan: “Lihat, kediaman Allah ada diantara manusia.”

    Ada 2 hal yang hendak saya sampaikan di sini: Pertama, ibadah kita adalah ikon dari kenyataan surgawi, sebuah jendela yang melaluinya kita sekelebat melihat realitas dan tujuan hidup kita.
    Yang kedua, liturgi surgawi adalah kunci bagi universalitas misi Gereja. Dalam pandangan Gereja akan sejarah, rencana keselamatan Allah ditujukan untuk memuncak pada liturgi kosmik dimana semua ciptaan memuji dan memuliakan Allah, pencipta segalanya. Kita mencicipi penggenapan sejarah setiap kali kita merayakan liturgi di bumi.

    Kenyataan ini harus mengubah cara kita beribadah. Kenyataan ini harus menggerakkan kita dengan syukur bahwa Allah memberi kesempatan pada kita untuk bergabung dengan para malaikat dan para kudus yang menyembah di hadapan-Nya. Ini harus membuat kita mengusahakan liturgi yang penuh hormat dan indah, dan yang mengarahkan hati dan pikiran kita ke surga.

    Kenyataan ini juga harus mengubah cara pikir kita tentang kesaksian publik kita dalam budaya sekarang ini. Kita dipanggil untuk memberi kesaksian akan Yesus Kristus, untuk membuat ajarannya dikenal, untuk melawan segala yang melanggar kekudusan dan keadilan Allah. Dan kita harus memahami misi kita dalam terang rencana Allah yang lebih luas, yang dirancang sebelum dunia dijadikan.

    Tujuan terutama kesaksian kita adalah untuk mempersiapkan jalan bagi sebuah liturgi kosmis dimana semua manusia akan menyembah sang Pencipta. Karya kita ambil bagian dalam rencana penebusan ini, dimana Kristus terus menyatukan segala sesuatu, sampai hari itu ketika semua lutut di surga dan di bumi akan bertekuk menyembah, dan Allah menjadi “semua dalam segalanya”, sebagaimana dikatakan Santo Paulus.[8]
  1. Kita perlu berusaha untuk mengembalikan dan hidup dalam spiritualitas liturgis dan evangelis seperti umat Kristen perdana.
    Beberapa ide liturgis terburuk sejak Konsili Vatikan II telah dilandaskan pada pandangan romantis semata-mata mengenai apa yang dipercaya umat Kristen perdana dan bagaimana mereka beribadah. Salah satu pendapat misalnya, mengatakan bahwa Gereja perdana tidak memiliki tahbisan imamat dan bahwa Ekaristi dirayakan dengan sangat sedikit ritual, utamanya sebagai perjamuan yang dibagikan diantara sahabat.

    Saya tidak akan menghabiskan waktu di sini untuk mendebat pandangan itu. Yang jadi masalah dari pandangan rekonstruksi nostalgia-primitif semacam itu dapat diungkapkan dalam satu hal: Tidak ada seorangpun mau menanggung risiko disiksa dan dibunuh untuk sebuah perjamuan dengan teman-temannya. Dan penyiksaan dan kematian adalah hukuman yang sering dijatuhkan bagi mereka yang tertangkap merayakan Ekaristi pada masa Gereja perdana.

    Ada banyak kisah yang bisa kita angkat. Salah satu yang secara khusus menggerakkan hati saya berasal dari tahun 304, semasa penganiayaan besar yang dilakukan oleh Kaisar Diocletian. Sebuah jemaat di Abitina, sebuah desa dekat kota Kartago, dikepung. Kisah penyiksaan mereka, ditulis seorang saksi hanya beberapa tahun setelah kejadian, sangat mendetil dan brutal. Yang bersinar dari kisah itu adalah iman Ekaristis dari jemaat.

    Ketika diinterogasi mengapa dia melanggar perintah Kaisar, seorang lektor muda bernama Felix mengatakan ini: “Bagaimana mungkin seorang dapat menjadi Kristen tanpa Misa atau Misa dapat dirayakan tanpa seorang Kristen! … Umat Kristen ada melalui Misa dan Misa dalam umat Kristen! Yang satu tidak dapat ada tanpa yang lain. … Kami merayakan jemaat yang mulia. Kami berkumpul untuk membaca Kitab Suci Tuhan pada saat Misa.” [9]

    Kita melihat dalam pengakuan ini, tema yang sudah kita bicarakan sejauh ini. Misa bagi mereka ini bukan sekedar perjamuan. Misa adalah “jemaat yang mulia,” sebuah liturgi surgawi. Liturgi ini memberi mereka identitas sebagai seorang Kristen. Juga liturgi ini mendefinisikan identitas Gereja; sedemikian sehingga salah seorang martir yang bersama Felix dapat berseru: “Kami tidak dapat hidup tanpa Misa.”

    Ini adalah bentuk iman yang harus menginspirasi ibadah kita. Dan ini adalah bentuk iman yang harus diinspirasikan oleh ibadah kita. Dapatkah kita sungguh-sungguh berkata hari ini bahwa kita siap mati daripada tidak merayakan Misa?
    Liturgi hanya dapat menginspirasi kita jika kita menjadikannya jantung dari hari-hari kita. Dan itu adalah tugas bagi kita di yang hadir di ruangan ini. Batu penjuru dari budaya Ekaristis yang baru haruslah perayaan Ekaristi hari Minggu. Tidak ada tanda yang lebih besar yang menunjukkan pengaruh budaya kita terhadap Ekaristi daripada kenyataan bahwa kita tidak lagi melihat hari Minggu sebagai hari pertama kita dalam pekan, tetapi malah melihatnya sebagai hari terakhir dari “akhir pekan” kita.

    Yesus Kristus bangkit dari mati pada “hari pertama dalam pekan.[10] Itulah sebabnya umat Kristen perdana menguduskan hari Minggu sebagai “Paskah mingguan”, Hari Tuhan. Karena itu kita pun harus berbuat yang sama.

    Misa harus menjadi persembahan rohani yang kita buat memulai pekan kita, bukan sesuatu yang kita coba untuk “selipkan” diantara kegiatan santai kita sebelum kita kembali kerja pada hari Senin. Bahkan perubahan cara pandang yang kecil ini dapat memberikan dampak mendalam terhadap cara kita beribadah dan terhadap cara kita menghidupi iman kita di dunia.
  1. Yang terakhir yang hendak saya sampaikan adalah ini: Liturgi adalah sekolah cinta yang berkorban. Sebagaimana kita berdoa, demikian kita hidup. Lex orandi, lex vivendi. Kita hendak menjadi korban dari perayaan kita.
    Sangat kentara betapa banyak kisah para martir Kristen perdana – terutama kisah tentang para uskup dan imam – yang dikisahkan dapat apa yang bisa kita sebut sebagai “kunci Ekaristi.” Kisah yang klasik adalah kemartiran seorang uskup tua bernama Polikarpus. Seluruh kisah terpapar seolah sebuah liturgi. Polikarpus bahkan menyampaikan sebuah doa panjang yang dimodelkan dari Doa Syukur Agung.

    Akhirnya Polikarpus memohon, sekali lagi menggemakan Doa Syukur Agung: “Kiranya aku diterima pada hari ini … sebagai persembahan yang kaya dan berkenan kepada-Mu.” Kisah ini berlanjut dengan Polikarpus dipanggang hidup-hidup. Para saksi memberi kesaksian bahwa mereka mencium, bukan aroma daging terbakar, tetapi aroma roti yang dipanggang.[11]

    Contoh klasik lain adalah kisah Santo Ignatius dari Antiokia. Dalam penjara ketika ia menanti eksekusi dengan diumpankan hidup-hidup kepada anjing-anjing, ia menulis: “Aku adalah gandum Tuhan, dan dengan gigi binatang buas aku akan digiling sehingga aku dapat menjadi roti Kristus yang murni.”[12]

    Tetapi tidak hanya para martir yang harus melihat diri mereka sebagai korban Ekaristi. Anda dan saya juga harus melakukan yang sama. Demikian juga semua orang percaya yang telah dibaptis. Lagi dan lagi kita mendengar dalam Perjanjian Baru bahwa kita semua dipanggil untuk mempersembahkan diri kita kepada Allah sebagai persembahan pujian yang hidup, bahwa kita harus menjadikan diri kita persembahan yang murni, kudus dan berkenan kepada Allah.[13]
    Ini adalah batu fondasi iman Katolik akan imamat semua orang yang dibaptis. Jemaat Kristen perdana percaya mereka adalah pewaris panggilan yang diberikan pada Israel – untuk menjadi “bangsa terpilih, imamat rajawi, bangsa yang kudus.”[14] Melalui imamat hidup kita, semua orang beriman yang dibaptis harus mempersembahkan, bukan darah hewan korban, tetapi persembahan hati kita, simbol kehidupan kita, sebagaimana Yesus Kristus sendiri.

    Kita mempersembahkan korban pujian kita pertama dan terutama di dalam Ekaristi. Ini adalah makna dibalik panggilan Konsili Vatikan II untuk “partisipasi aktif” umat awam dalam liturgi.[15] Ekspresi ini sayangnya telah dijadikan lisensi untuk segala macam aktifitas eksternal, keributan dan kesibukan dalam ibadah kita. Bukan ini yang dimaksud oleh Konsili Vatikan II.

    Partisipasi aktif” menunjuk pada gerakan jiwa, partisipasi interior kita dalam tindakan Kristus mempersembahkan Tubuh dan Darah-Nya. Ini membutuhkan ruang tenang dan “perhentian” dalam ibadah kita, dimana kita dapat menyatukan emosi dan pikiran kita, dan membuat tindakan dedikasi diri yang dilakukan secara sadar. Kita harus “mengarahkan hati kepada Tuhan” dan dalam tobat dan kerendahan hati meletakkan hati kita di altar bersama dengan roti dan anggur.
    Tetapi karya kita tidak berhenti pada Misa.

    Semua dalam keseharian kita – pekerjaan kita, penderitaan kita, doa kita, pelayanan kita – semua yang kita lakukan dan alami dimaksudkan untuk dipersembahkan kepada Tuhan sebagai persembahan rohani. Semua karya kita untuk anak-anak yang belum lahir, mereka yang miskin dan yang cacat; semua karya kita untuk keadilan bagi para migran dan bagi martabat pernikahan dan keluarga; Semua itu harus dipersembahkan bagi pujian dan kemuliaan nama Tuhan dan bagi keselamatan saudara dan saudari kita.

    Ini adalah ajaran agung lain dari Konsili Vatikan II yang masih harus kita integrasikan dalam spiritualitas Katolik kita. Dalam
    Lumen Gentium, Konsili mengajar bahwa semua karya kita “dalam perayaan Ekaristi, bersama dengan persembahan Tubuh Tuhan, penuh khidmat dipersembahkan kepada Bapa. Demikianlah para awam pun juga sebagai penyembah Allah, yang dimana-mana hidup dengan suci, membaktikan dunia kepada Allah.”[16]

    Semua yang kita lakukan – dalam liturgi dan dalam hidup kita di dunia – dimaksudkan untuk mengkonsekrasikan dunia ini kepada Allah.

    Jadi teman-teman, inilah jawaban dari tantangan yang diajukan Guardini. Kalian adalah jawaban itu.

    Aksi liturgi menjadi mungkin bagi manusia modern ketika kalian
    menjadikan hidup kalian sebuah liturgi, ketika kalian menghidupi hidup kalian secara liturgis – sebagai persembahan syukur dan pujian bagi Allah atas anugerahdan keselamatan dari-Nya. Kalian adalah masa depan pembaruan liturgi.
    Aksi liturgi menjadi mungkin bagi manusia modern ketika kalian melihat hidup dan pekerjaan kalian dalam terang rencana Allah bagi dunia, dalam terang kehendak-Nya supaya semua laki-laki dan perempuan diselamatkan dan sampai pada pengetahuan akan kebenaran.[17]

    Misteri yang kita rayakan bersama para malaikat dan para kudus harus mengakar mendalam dalam hidup dan personalitas kita. Misteri ini harus berbuah. Setiap dari kita harus memberi kontribusi unik dalam rencana kasih Allah – supaya semua ciptaan menjadi penyembahan dan korban pujian bagi-Nya.


Rujukan:

[1] Robert Krieg, Romano Guardini: A Precursor of Vatican II (Notre Dame, 1997), 87-90. Terjemahan tidak resmi dari surat Guardini dapat dilihat di: http://www.jknirp.com/guardf.htm
[2] bdk. Roma 8:15
[3] Robert E. Barron, Bridging the Great Divide: Musings of a Post-Liberal, Post-Conservative Evangelical Catholic (Rowan & Littlefield, 2004), 66; cf. Chap. 5: “The Liturgical Act and the Church of the 21st Century.”
[4] Sacrosanctum Concillium 10
[5] bdk. Sacrosanctum Concillium 8, Lumen Gentium 50; Katekismus Gereja Katolik 1090, 1111, 1136, 1187, 1326, 2642
[6] The Rus Primary Chronicle (Cambridge: Mediaeval Academy, 1953); cf. Ratzinger, Pilgrim Fellowship of Faith (Ignatius, 2005), 90-91
[7] Wahyu 1:9
[8] 2 Petrus 3:13; Efesus 1:10, 23; 1 Korintus 15:28; 2 Korintus 5:19; Kolose 1:18, 20; Filipi 2:5-12
[9] Patrologia Latina, vol. 8, col. 696; kata Latin dominico kadang diterjemahkan sebagai “Hari Tuhan” atau “Perjamuan Tuhan.” Namun bentuk ini semacam slang, menunjuk “Misa”; bdk. Mike Aquilina, Fire of God's Love: 120 Reflections on the Eucharist (Servant, 2009), 13
[10] Markus 16:2, 9; Lukas 24:1; Yohanes 20:1
[11] Martyrdom of Polycarp, 9, dalam The Acts of the Christian Martyrs, trans. Herbert Musurillo (Clarendon, 1972)
[12] To the Romans, 4
[13] bdk. Roma 12:1; 1 Petrus 2:5; Ibrani 9:14; 13:15, 16
[14] bdk. 2 Petrus 2:9; Wahyu 1:6; Keluaran 19:4
[15] bdk. Sacrosanctum Concillium, 14 (Latin: actuosa participatio)
[16] Lumen Gentium 34
[17] bdk. 1 Timotius 2:4


ACKNOWLEDGEMENT
Charles J. Chaput, O.F.M. Cap. "Glorify God by your life: evangelization and the renewal of the liturgy." Hillenbrand Distinguished Lecture (June 24, 2010).
The Hillenbrand Distinguished Lecture was delivered by Archbishop Chaput at the Liturgical Institute of the University of St. Mary of the Lake, Chicago, IL on June 24, 2010
Reprinted with permission of Archbishop Charles J. Chaput, O.F.M. Cap.
 

Rabu, 06 Oktober 2010

A 1999 letter by Cardinal Ratzinger on the reform of the liturgy





Letter from Fr. Matias Auge to Joseph Cardinal Ratzinger:

Rome, 16 November 1998

Most Reverend Eminence,

I beg you to excuse me for venturing to write this letter. I do it in humble simplicity and also with great sincerity. I am a professor of liturgy at the Pontifical Liturgical Institute of Sant’ Anselmo and at the Theological Faculty of the Pontifical Lateran as well as Consultant of the Congregation for Divine Worship. I have read the conference that you gave some time ago on the occasion of the ”Ten Years After the Motu Proprio ’Ecclesia Dei’” ("Dix ans du Motu Proprio ‘Ecclesia Dei’”). I must confess that its content left me deeply perplexed. In particular I was struck by the response you gave to the objections made by those who do not approve of "the attachment to the old liturgy”. It is on this that I would like to pause a little in this letter to you.

The accusation of disobedience to Vatican II is fended off by saying that the Council did not itself reform the liturgical books but only ordered that they may be revised. This is true enough, and the affirmation cannot be contradicted. However, I want to draw your attention to the fact that not even the Council of Trent reformed the liturgical books, as they only occupied themselves with the very general principles. To execute the reform as such, the Council asked the Pope to do it, and Pius V and his successors implemented it in a most loyal way.

Therefore, I cannot understand how the principles of the Second Vatican Council concerning the reform of the Mass, presented in Sacrosanctum Concilium, nos. 47-58 (thus not only in nos. 34-36 as cited by Your Eminence), may be in harmony with the re-instatement of the so-called Tridentine Mass.If on the other hand we consider the affirmation of Cardinal Newman mentioned by you, namely that the Church has never abolished or prohibited ”orthodox liturgical forms”, then I ask myself if, for instance, the admirable changes introduced by Pius X in the Roman Psalter (Breviary – CAP) and by Pius XII in the (ceremonies for) Holy Week have abolished the old Tridentine orders or not. The above mentioned principle could make some people think – for example, in Spain – that it is permitted to celebrate the old Spanish rite – the Visigothic, (which is) orthodox, and return it to its place after Vatican II. To say that the Tridentine Rite is something different from the rite of Vatican II does not seem accurate to me: I would say that it is contrary to the notion of what is meant here by rite. Therefore the Tridentine Rite and the present one are one and the same rite: the Roman Rite, in two different phases of its history.

The second objection was that the return to the old liturgy is likely to break the unity of the Church. This objection is met by you in distinguishing between the theological and the practical side of the problem. I can share many of the considerations made by you in this respect, except some that are not historically sustainable, as for instance the claim that until the Council of Trent there existed Mozarabic Rites (of Toledo and other places), which were then suppressed by the same. The Mozarabic Rite was in fact suppressed already by Gregory VII, with the exclusion of Toledo, where it still remains in force. The Ambrosian Rite, on the other hand, has never been suppressed.Thus I cannot understand why it has been forgotten what Paul VI says in the Apostolic Constitution of April 3,1969, with which he promulgated the new Missal, namely: “We are confident that this Missal will be received by the faithful as a means of testifying to and confirming the unity of all, and that through it, in a great variety of languages, to our heavenly Father will rise one sole and identical prayer.” Paul VI desired that the new Missal should be an expression of unity for the Church. He then adds in conclusion: “What we have here established and ordained, we wish to remain valid and effective now and in the future, despite what may be contrary to it in the Constitutions and the Apostolic Decrees of our predecessors, as well as other provisions also worthy of mention and exception.”

I know the subtle distinctions made by some persons who are legal specialists or considered as such. I believe, however, that these are mere “subtleties” not meriting much attention. One could cite several documents that clearly show the intention of Paul VI in this respect. I can only remember the letter of October 11, 1975, which Cardinal J. Villot wrote to Monsignor Coffy, president of the French Episcopal Commission for Liturgy and the Sacraments (Secretariat of State, no. 287608), in which he said, inter alia: ”By the Constitution Missale Romanum, the Pope prescribes, as you know, that the new Missal should replace the old one, notwithstanding the Apostolic Constitutions and Ordinances of his predecessors, which consequently includes all the dispositions made in the Constitution Quo primum and which would have permitted the preservation of the old Missal [...] In short, as mentioned in the Constitution Missale Romanum, it is to the new Roman Missal and nowhere else that the Catholics of the Roman rite should look for the signs and the instrument of the mutual unity of all ... .”

Your Eminence, please let me say, that being a professor of liturgy, I find myself in the position of teaching facts that seem to me different from those expressed by you in above mentioned conference. And I believe that I have to continue on this road of obedience to the Pontifical Magisterium. I also lament the excesses with which some people after the Council have celebrated and still celebrate the reformed liturgy. But I cannot understand why some eminent Cardinals, not only yourself, think it opportune to call into question a reform approved, after all, by Pope Paul VI and to open the doors more and more to the use of the old Missal of Pius V. With humility, but also with apostolic frankness, I feel the need to state my opposition to such an outlook. I prefer to say openly that which many liturgists and non-liturgists, feeling themselves to be obedient sons of the Church, say to each other in the corridors of Roman universities.

Your most devoted [servant] in Christ,
Matias Augé, CMF


Response of Joseph Cardinal Ratzinger to Matias Auge

February 18 1999
Reverend Father
P. Prof. Matias Augé, CMF
Istituto “Claretianum”
L.go Lorenzo Mossa, 4
00165 Rome

Reverend Father,

I have attentively read your letter of November 16, in which you express some criticism in respect to the conference I held on October 24, 1998, on the occasion of the 10th anniversary of the motu proprio “Ecclesia Dei.”

I understand that you do not share my opinions on the liturgical reform, the way it has been implemented, and the crisis deriving from some of the tendencies hidden in it, such as desacralization.

However, it seems to me that your criticism does not take into consideration two points:

The first one being that the Pope John Paul II, with the indult of 1984, under certain conditions, granted the use of the liturgy preceding the Pauline reform; thereafter the same Pope in 1988 published the motu proprio “Ecclesia Dei”, manifesting his wish to please the faithful who are attached to certain forms of the earlier Latin liturgy; and furthermore he asks the bishops ”by a wide and generous application” to allow the use of the liturgical books of 1962.

The second one is that a considerable number of the Catholic faithful, especially those of French, English, and German nationality and language remain strongly attached to the old liturgy, and the Pope does not intend to repeat what happened in 1970 when the new liturgy was imposed in an extremely abrupt way, with a transition time of only six months, whereas the prestigious Liturgical Institute in Trier had rightly proposed a transition time of ten years (if I am not mistaken) for such an undertaking, one that touches in a vital way the heart of the Faith.

Thus, these two points, namely the authority of the Supreme Pontiff and his pastoral and respectful concern for the traditionalist faithful, that must be taken into consideration.

I, therefore, take the liberty to add some answers to your criticism of my speech.

1. Regarding the Council of Trent, I have never said that it should have reformed the liturgical books; on the contrary, I have always emphasized that the post-Tridentine reform, situating itself in the continuity of liturgical history, did not wish to abolish the other Latin orthodox liturgies (which existed for more than 200 years); neither did it wish to impose liturgical uniformity.

When I said that even the faithful who use the indult of 1984 must follow the decrees of the Council, I wanted to show that the fundamental decisions of Vatican II are the meeting point of all liturgical trends and are therefore also the bridge for reconciliation in the area of liturgy. The audience present actually understood my words as an invitation to an opening to the Council, to the liturgical reform. I believe that those who defend the necessity and the value of the reform should be completely in agreement with this way of bringing Traditionalists closer to the Council.

2. The citation from Cardinal Newman means that the authority of the Church has never in its history abolished with a legal mandate an orthodox liturgy. However, it is true that a liturgy that vanishes belongs to historical times, not the present.

3. I do not wish to enter into all the details of your letter, even if I would have no difficulties meeting your various criticisms against my arguments. However, I wish to comment on that what concerns the unity of the Roman rite. This unity is not threatened by small communities using the indult, who are often treated as lepers, as people doing something indecent, even immoral. No, the unity of the Roman rite is threatened by the wild creativity, often encouraged by liturgists (in Germany, for instance, there is propaganda for the project Missale 2000, which presumes that the Missal of Paul VI has already been superseded). I repeat that which was said in my speech: the difference between the Missal of 1962 and the Mass faithfully celebrated according to the Missal of Paul VI is much smaller than the difference between the various, so-called ”creative” applications of the Missal of Paul VI. In this situation, the presence of the earlier Missal may become a bulwark against the numerous alterations of the liturgy and thus act as a support of the authentic reform. To oppose the Indult of 1984 (1988) in the name of the unity of the Roman rite, is – in my experience – an attitude far removed from reality. Besides, I am sorry that you did not perceive in my speech the invitation to the ”traditionalists” to be open to the Council and to reconcile themselves to it in the hope of overcoming one day the split between the two Missals.

However, I thank you for your courage in addressing this subject, which has given me the occasion – in an open and frank way – to discuss a reality which is dear to both our hearts.

With sentiments of gratitude for the work you perform in the education of future priests, I salute you,


Yours in Christ

+ Joseph Card. Ratzinger

The liturgical renewal I would like to see

Narasumber: The liturgical renewal I would like to see

By Archbishop Jesus Dosado of Ozamis
Courtersy of UCANews.com

Looking back, some of the culprits for me for the gradual loss of the true reform of the liturgy were the so-called “liturgists” who were more like technicians and choreographers rather than pure students of liturgy.

They had a peculiar affinity for refined liturgical celebrations coupled with disdain for the old rites and devotions. Unfortunately, some bishops, not pure students of liturgy either, gave in to their terrorist proclivities.

A search for creativity and community were dominant projects in “reform-minded” Catholic circles in the 1960s and beyond. In itself, this might not have been bad. But the philosophy that the community was god, and that “God” was not fully “God” without the community was the source of ideas that have done most damage to the Church.

This secular notion of community made its way into the liturgy to gradually supplant the inherited Christian tradition.

These self-appointed arbiters of the reform were, and I hate to say this, liturgical hijackers who deprived ordinary parishioners – and bewildered pastors – of their right to the normative worship of their own Church. Hence, there was the need for a reform of the reform.

A major goal of Pope Benedict XVI is the restoration of our Catholic identity. Liturgy is a key component of such an endeavor.
Benedict’s broad liturgical approach can be described in terms of “continuity,” i.e. recovering elements of the liturgical tradition which he believes were too hastily set aside or downplayed in the immediate period after the Second Vatican Council.

The idea of a new liturgical movement came with strength from his book, Spirit of the Liturgy.

A relevant section: “I am convinced that the crisis in the Church that we are experiencing today is to a large extent due to the disintegration of the liturgy … in that it is a matter of indifference whether or not God exists and whether or not he speaks to us and hears us. … Such circumstances will inexorably result in a disintegration. This is why we need a new Liturgical Movement, which will call to life the real heritage of the Second Vatican Council.”

Pope Benedict XVI in his Pastoral Letter to Catholics in Ireland situated the sexual abuse of children in the wake of fast-paced social change and a decline in adherence to traditional devotional and sacramental practices.

To his priests in the Diocese of Rome he said, “In the Eucharist we do not invent something, but we enter into a reality that precedes us, more than that, which embraces heaven and earth and, hence, also the past, the future and the present. … Hence, the liturgical prescriptions dictated by the Church are not external things, but express concretely the reality of the revelation of the body and blood of Christ and thus the prayer reveals the faith according to the ancient principle ‘lex orandi – lex credendi.’” (“the law of praying establishes the law of believing.”)

To be sure, the Pope has great regard for the Novus Ordo. He issued a Letter to the Bishops on the Occasion of the Publication of Summorum Pontificum where he narrated why he wanted to expand the use of what is now called the Extraordinary Form of the Roman Rite and, in so doing, he deliberately responded to the fear that this expansion was somehow intended to demote the Novus Ordo or undermine the Vatican Council’s call for liturgical reform, saying it was unfounded.

For the former Cardinal Joseph Ratzinger, (now Pope Benedict XVI) the liturgy is of its nature an inheritance, a space we inhabit as others have inhabited it before us. It is never an instrument we design or manipulate. Self-made liturgy is a contradiction in terms, and he distrusts liturgies that emphasize spontaneity, self-expression and extreme forms of local inculturation.

In his own book, Spirit of the Liturgy, Cardinal Ratzinger scathingly compared such liturgies to the worship of the Golden Calf, “a feast that the community gives itself, a festival of self-affirmation. Instead of being worship of God, it becomes a circle closed in on itself: eating, drinking and making merry … It is a kind of banal self-gratification … no longer concerned with God but with giving oneself a nice little alternative world, manufactured from one’s own resources.”

In his view, the liturgy is meant to still and calm human activity, to allow God to be God, to quiet our chatter in favor of attention to the Word of God and in adoration and communion with the self-gift of the Word incarnate.

The call for active participation seems to Benedict XVI to have “dumbed” down the mystery we celebrate, and left us with a banal inadequate language (and music) of prayer.

The “active participation” in the liturgy for which Vatican II called, he argues, emphatically, does not mean participation in many acts. Rather, it means a deeper entry by everyone present into the one great action of the liturgy, its only real action, which is Christ’s self-giving on the Cross.

We can best enter into the action of the Mass by a recollected silence, and by traditional gestures of self-offering and adoration – the Sign of the Cross, folded hands, reverent kneeling.

For the Pope, therefore, liturgical practice since the Council has taken a wrong turn, aesthetically impoverished, creating a rupture in the continuity of Catholic worship, and reflecting and even fostering a defective understanding of the Divine and our relationship to it.
His decision to permit the free celebration of the Tridentine liturgy was intended both to repair that rupture and to issue a call to the recovery of the theological, spiritual and cultural values that he sees as underlying the old Mass.

In his letter to the bishops of July 2007, he expressed the hope that the two forms of the one Roman liturgy might cross-fertilize each other, the old Missal being enriched by the use of the many beautiful collects and prefaces of Paul VI’s reformed Missal, and the celebration of the Novus Ordo recovering by example some of the “sacrality” that characterized the older form.

It is just like Anglicanorum Coetibus, the Apostolic Constitution providing for personal ordinariates for Anglicans entering into full communion with the Catholic Church, about which the Pope talked to the Bishops of England and Wales in their ad limina visit.

“It helps us to set our sights on the ultimate goal of all ecumenical activity: the restoration of full ecclesial communion in the context of which the mutual exchange of gifts from our respective spiritual patrimonies serves as an enrichment to us all,” Anglicanorum Coetibus reads.

Despite Summorum Pontificum, Pope Benedict himself has only celebrated the ordinary form of the Mass in public, “facing the people” in the manner of the Novus Ordo, using modern languages, all as stipulated in the Liturgical Books of the different countries where he celebrated.

Many people, for example, were waiting for him to use “for many,” instead of “for all” in the United States, but he did not do so.

The Pope celebrated ad orientem (to the east) once more at the newly renovated Pauline Chapel, whose altar was repositioned so that it could be used to celebrate both ways – and the Pope chose the traditional direction in the Mass he celebrated with members of the International Theological Commission.

Small changes to the accessories, vestments and ritual rubrics point to the Pope’s Reform of the Reform. On Corpus Domini of 2008 he began to give Communion exclusively on the tongue to the kneeling faithful.

In November of that year with a new master of pontifical liturgical ceremonies, the Crucifix and candle holders returned to the papal altar, from which the post-Conciliar liturgical reform had taken them away putting the Cross to the side and replacing the candelabra, if at all, by little temple lights.

On the Feast of the Epiphany last year, the Pope wore the guitar-shaped so-called Philippine chasuble instead of the post-Conciliar flowing chasuble, to underscore the continuity between past and present, manifested through liturgical vestments.

Then there are the ritual silences during the liturgies, observed after readings, after psalms, after the homily, and most especially, after Communion.

With these silences, the Pope is starting to educate the faithful who follow papal liturgies to a better, more appropriate attitude of concentration and meditation.

What is the Pope up to? In the words of Monsignor Guido Marini, “I think what the Holy Father is trying to do is to wisely bring together traditional things with the new, in order to carry out, in letter and spirit, what Vatican II intended, and to do it in such a way that papal liturgies can be exemplary in all aspects. Whoever takes part in, or watches, a papal liturgy should be able to say, “This is the way it should be done. Even in my diocese, in my parish!”

And that is how I would like the direction of the liturgical renewal to take with the Mass to be recast, yes, but in order to remain what it is, Calvary and the Upper Room.

Vincentian Archbishop Jesus Dosado of Ozamis, 71, was among six Church officials conferred the Sacrosanctum Concilium Awards during last week’s 25th National Meeting of Diocesan Directors of Liturgy in Manila. The awards are to recognize “outstanding contribution” recipients have made “to the promotion of the Church’s teachings on liturgy.”