Rabu, 03 November 2010

Introit (Antifon Pembukaan)

Introit (nyanyian liturgi yang membuka perayaan Ekaristi) dan Antifon Pembukaan (teks liturgi yang dibacakan oleh umat/imam jika tidak ada nyanyian pembukaan, sebagian besar teks Antifon Pembukaan identik dengan ulangan Introit), adalah teks liturgi yang biasanya diambil dari Kitab Suci.

Introit ini menarik karena sering kali merupakan ringkasan atau tema dari seluruh perayaan Ekaristi hari itu.
Utamanya untuk perayaan hari Minggu, ada juga kebiasaan menyebut perayaan hari tersebut sesuai dengan kata pertama Introit yang dinyanyikan hari itu.

Misalnya, Minggu Adven III biasa disebut juga Hari Minggu Gaudete, sesuai dengan Introit hari itu: "Gaudete in Domino semper: iterum dico gaudete: modestia vestra nota sit omnibus hominibus: Dominus prope est. Nihil soliciti sitis: sed in omni oratione petitiones vestrae innotescant apud Deum."
Yang artinya, "Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah! Hendaklah kebaikan hatimu diketahui semua orang. Tuhan sudah dekat! Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan."
Teks ini diambil dari Surat Rasul Paulus kepada jemaat di Filipi 4:4-6.

Minggu Prapaskah IV biasa disebut juga Hari Minggu Laetare, sekali lagi sesuai dengan kata pertama Introit hari itu: "Laetare Ierusalem: et conventum facite omnes qui diligitis eam: gaudete cum laetitia, qui in tristitia fuistis: ut exultetis, et satiemini ab uberibus consolationis vestrae."
Yang artinya, "Bersukacitalah bersama-sama Yerusalem, dan bersorak-soraklah karenanya, hai semua orang yang mencintainya! Bergiranglah bersama-sama dia segirang-girangnya, hai semua orang yang berkabung karenanya! Bersuka dan segarkanlah dirimu dengan penghiburan yang mengalir dari dadanya yang bernas."
Yang merupakan teks dari nubuat Yesaya 66:10-11.

Adalah karakteristik Misa Romawi bahwa teks-teks Liturginya padat dan singkat, dipenuhi kutipan-kutipan Kitab Suci  yang menunjuk kepada Kristus dan peristiwa di sekitar Kristus.

Ini sesuai dengan adage Kitab Suci yang dinyatakan Gereja, bahwa Perjanjian Baru tersembunyi dalam Perjanjian Lama, dan Perjanjian Lama menjadi jelas dalam Perjanjian Baru.

Maka itu, mulai dari awal dimulainya Misa, kita sudah diajak Gereja untuk merenungkan Firman Tuhan. Kalimat singkat dari Kitab Suci hendak dibuka dan pemenuhannya akan terjadi dalam Ekaristi, yaitu dalam diri Kristus dan Gereja-Nya.
Tidak heran bahwa karakteristik Misa Romawi yang kedua adalah keheningan dan solemnitas, suasana meditatif yang diperlukan untuk mencerna dan menyerap Firman Allah dan seluruh aksi Liturgi yang terjadi.

Tentu saja, kemampuan untuk menyerap Liturgi seperti ini perlu dilatih dan diajarkan. Dan yang kedua, mengasumsikan kedekatan kita akan Kitab Suci. Mereka yang terbiasa bergaul dengan Kitab Suci akan menemukan bahwa Misa adalah Kitab Suci dalam aksi, dan sepenuhnya tentang Kristus dan adalah tindakan Kristus.

Tetapi kita punya banyak waktu untuk berlatih, minimal setiap hari Minggu kita merayakan Ekaristi.

Banyak umat yang sekarang tidak mampu menimba kekayaan rohani dan rahmat yang begitu dalam dari perayaan Ekaristi, aksi dan teks Liturgi, namun menjalani Misa karena kewajiban. Sebagian menyerah untuk datang ke perayaan Ekaristi sama sekali karena tidak tahu apa yang tersedia di sana.

Selain itu, umat kurang memahami bahwa dalam Ekaristi mereka bukan penonton. Mentalitas hiburan bahwa mereka datang mengharapkan suatu performance atau hiburan, budaya sibuk dan instan, membuat umat kurang menghargai waktu hening yang sangat vital dalam kehidupan rohani.

Akibatnya, alih-alih membiarkan Liturgi mengajar dan menyirami kita dengan Firman Allah, kita memilih memasukkan dalam Liturgi apa yang kita rasa menyentuh, menyenangkan, dan menjawab selera kita.

Mungkin memasukkan apa yang menarik umat ada gunanya sebagai awal katakese untuk mengajar umat spiritualitas Liturgi yang sejati. Tetapi jika berusaha menarik demi menarik itu sendiri menjadi tujuan, kita akan selalu berhadapan dengan kekeringan rohani dan eksperimentasi terhadap Liturgi demi menjadi menarik. Namun akhirnya umat akan selalu pergi, jajan, ke tempat lain yang diarasa lebih menarik, lebih menyediakan hiburan atau menjawab selera mereka.

Umat perlu diajarkan dan dibiasakan "mendengarkan" Liturgi menyampaikan dirinya secara penuh. Dan menimba dari dalamnya kekayaan spiritual yang selama ini tidak pernah secara penuh dihamparkan kepada mereka.
Ambil bagian dalam Liturgi membutuhkan sikap batin yang sama dengan sikap batin yang diperlukan untuk membaca Firman Allah, suatu Lectio Divina dalam aksi. Firman ini begitu hidup, memuncak pada momen dimana akhirnya apa yang sudah kita dengar dan renungkan, kita amini, sekarang menjelma dihadapan kita sendiri dalam rupa Roti dan Anggur, yang kita pegang, santap, dan satukan dengan diri kita sendiri.

Di sini, Gereja menyediakan Offertorium (nyanyian persembahan) dan Communio (nyanyian komuni). Tetapi biarlah akan kita bicarakan dalam tulisan yang terpisah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar