Jumat, 02 Desember 2011

Spirituality: Shelter vs Training Camp

Setelah Hari Raya Kristus Raja, setiap angkatan diingatkan kembali tentang pentingnya "spiritualitas" yang selalu erat kaitannya dengan "formasi spiritual."
Inti terdalam dari setiap spiritualitas, yang dituangkan dalam formasi spiritual, adalah belajar, ditempa, dihajar, diganjar, dididik dalam iman. Dan melalui berbagai latihan rohani, berusaha menjadikan iman sebagai sebuah cara hidup yang nyata, konkret, memiliki tuntutan dan komitmen yang secara sukarela dan sadar dijalani.

Karenanya formasi spiritual selalu dapat diibaratkan sebagai sebuah Training Camp, dimana seseorang digojlok, dipaksa, dihajar untuk mau keluar dari kenyamanan dan berkembang secara optimal. Dan kita sangat mengagumi orang-orang yang telah melewati segala ujian ini. Kita menaruh kepercayaan lebih pada tentara yang melewati pelatihan keras untuk melindungi kita, daripada pada sekelompok orang yang hidup dalam kenyamanan dan jauh dari kerasnya kehidupan.

Sebaliknya sebuah Shelter, atau tempat penampungan, sebuah panti, selalu diusahakan menjadi tempat dimana ada orang lain yang melayani kebutuhan mereka yang ditampung. Entah korban bencana, orang sakit, orang tua atau orang yang sekedar lelah. Sebuah tempat penampungan diusahakan menjadi sebuah oasis dimana seseorang bisa melepas beban dan dilayani.

Dalam pertemuan sel, timbul pertanyaan: mengapa Ibadat Katolik (perayaan Liturgi, dengan Misa utamanya) bagi kebanyakan umat, dianggap begitu dangkal, membosankan, menyebalkan, hambar, membuat ngantuk dan tidak menarik?
Mendingan ke Persekutuan Doa, atau ibadah non-Katolik. Lebih nyaman, lebih hidup, lebih bertumbuh dan berkembang.

Terbersit dalam benak saya, mungkin alasan pertama mengapa Ibadat Katolik "kurang menyenangkan" adalah karena Liturgi pertama-tama adalah sebuah Training Camp daripada sebuah Shelter. Liturgi pertama-tama adalah karya Allah, masuk dalam Liturgi seseorang "dipaksa" untuk masuk dalam aliran misteri iman yang disediakan Gereja.

Mungkin kita sedang bergembira, sedang senang, hati kita sedang berbunga-bunga, lalu di Gereja kita disodorkan Firman Allah tentang penghakiman, kesukaran, kemiskinan, kematian.
Mungkin kita sedang berduka, namun Gereja sedang berpesta dengan pujian-pujian meriah dan Alleluya membahana.
Mungkin kita orang yang susah diam, sulit disuruh tenang, pikiran selalu sibuk tidak karuan, duduk diam rasanya sulit, tangan gatel gak pegang Blackberry. Tetapi dalam perayaan Liturgis, kita dipaksa untuk diam merenungkan bacaan suci.
Liturgi juga sarat dengan norma dan aturan pelaksanaan, sehingga baik umat maupun imam dan petugas, bertindak sebagai pelayan (dan bukan tuan) yang tunduk kepada tata Liturgi, mempelajarinya dengan cermat dan melaksanakannya dengan penuh kesadaran, mengorbankan selera pribadi.

Kalau merenungkan bagaimana umat Kristen awal merayakan Liturgi dibawah sanksi hukuman mati, hal ini akan tampak semakin jelas. Untuk apa mereka datang ke perayaan Ekaristi sampai harus bertaruh nyawa? Untuk mendengarkan lagu yang enak, menyumbangkan kreatifitas, atau mencari hiburan?

Bandingkan dengan Persekutuan Doa atau Ibadah Kristen pada umumnya. Ketika datang kita disambut, perayaan disesuaikan untuk anak muda, anak-anak, orang tua. Emosi bisa dituangkan dengan bebas, kreasi bisa dilaksanakan dengan lepas. Pemilihan lagu disesuaikan dengan minat ataupun trend.

Sekarang kita pikirkan realitas kehidupan awam umat modern, apalagi kota besar seperti Jakarta.
Banyak yang datang merantau jauh dari keluarga, para pekerja yang sibuk bekerja dari pagi sampai malam, teknologi yang memberi kesan serba instan, hiburan audio visual yang cepat saji dan menarik, dan manusia-manusia modern yc ji'udan hidupnya terpecah, rapuh, berantakan, terluka di dalam sementera berusaha tampak necis dan berkecukupan di luar.

Tidak heran, budaya Shelter jauh lebih menawan dan menarik. Hidup sudah cape dan lelah, masalah keluarga sudah banyak, kenapa datang ke Gereja masih harus repot?
Apalagi datang ke Ibadat Katolik, dengan Gereja berasumsi orang Katolik yang dewasa dan bertanggungjawab atas iman mereka, belajar sendiri, berkomunitas sendiri. Yang mengasumsikan bahwa keluarga-keluarga mengajar anak-anak mereka dalam iman, makna-makna simbolis, doa dan Kitab Suci.
Repot amat?!

Tidak bisa dipungkiri, bahwa ada tempat bagi keduanya, Shelter dan Training Camp.
Orang yang terluka harus dirawat lebih dulu sebelum bisa masuk ke sebuah training camp.

Gereja selalu berkata, bahwa Ekaristi adalah puncak dan mahkota ibadah kita.
Tetapi, tentu saja, sebagai sebuah puncak, ada dasar yang harus dibangun dengan kokoh dan kuat. Jika tidak, puncak tersebut tidak akan pernah dicapai sebab runtuh karena tidak memiliki dasar yang mantap.

Katekismus Gereja Katolik 1072 mengatakan demikian:
"'Liturgi kudus tidak mencakup seluruh kegiatan Gereja' (Sacrosanctum Concillium 9); penginjilan, iman
dan pertobatan harus mendahuluinya; barulah ia dapat menghasilkan buahnya dalam
kehidupan umat beriman: kehidupan baru dalam Roh Kudus, keterlibatan yang aktif
dalam perutusan Gereja, dan pelayanan pada kesatuannya."

Karena itu diseputar Ekaristi, Gereja selalu menganjurkan berbagai bentuk devosi, persekutuan doa, komunitas, berhimpun dalam kelompok, perayaan-perayaan bahkan yang meriah, walau selalu dipisahkan dari pelaksanan Liturgi.

Tapi apa jadinya, kalau orang modern ingin semuanya: rekreasi dan didikan dilaksanakan cukup 1 jam seminggu hanya dalam perayaan Ekaristi?
Cukup dikatakan, rekreasinya gak dapat (atau dipaksakan walau harus melanggar aturan), didikannya tidak memadai (karena bukan hanya bacaan, melainkan juga sikap, tindakan, keheningan yang merupakan bagian dari pembentukan dan didikan, hilang lenyap).

Kita butuh Shelter, kita juga butuh Training Camp. Tetapi mencampur adukkan keduanya, sungguh bukan ide yang bagus....