Sabtu, 09 Juli 2011

Ketika Menanti dan Menerima Menjadi Begitu Sulit

Sudah dua hari ini, dalam perjalanan pulang ke rumah saya melewati GPdI Kramat Raya no. 65. Dari dalam kendaraan yang melaju samar-samar terlihat panggung dan dinding putih yang berada di dalam gedung tersebut. Halaman parkirnya dipenuhi beberapa mobil dan motor. Tidak tampak sedang ada ibadah berlangsung, kemungkinan besar mereka adalah umat yang sedang berlatih mempersiapkan diri untuk ibadah mendatang.

Saya berpikir, bahwa setiap pekan pasti akan ada orang-orang yang mempersiapkan diri, memilih lagu, berlatih menari, memikirkan koreografi, memikirkan apa yang sebaiknya ditampilkan pekan ini, berdoa bersama demi pelayanan pekan tersebut. Singkatnya, setiap pekan adalah sebuah event yang perlu dipersiapkan. Entah tepat atau tidak, namun "worship" bagi mereka identik dengan karya, dengan performa. Pemberian diri diwujudkan utamanya dalam sumbangsih peran dalam mempersiapkan dan menggelar event, yang merupakan bentuk ibadah, memberi yang terbaik bagi Allah.

Saya akui, rasa kagum saya langsung meluber. Tetapi pada saat yang bersamaan, terbersit sesuatu dalam benak saya, mengapa "worship" yang demikian sungguh populer. Ibadah ini pada saat yang bersamaan menjadi ajang aktualisasi diri: bakat, minat, kemampuan, keramahan, pengakuan dan kebersamaan. Tidak ada yang buruk dengan semuanya itu, dan memang kita memerlukan wadah, event, momen yang tepat dan baik untuk itu semua. Jemaat menjadi terlihat dinamis, aktif dan menarik. Ada upaya untuk selalu tampak segar, menampilkan kemasan yang menarik dan mampu memikat orang.

Umat Katolik biasa memandang dengan iri dan berusaha sebaik mungkin memberikan performa yang sama dalam kegiatan-kegiatannya. Utamanya, Misa Kudus, menjadi tempat dimana aktualisasi diri itu hendak diwujudnyatakan. Namun dalam segala kejujuran, umat banyak berbenturan dengan norma, aturan dan hukum Liturgi yang seolah tidak memberi tempat, lalu menjadi frustasi: Tata perayaan yang tetap, teks yang tidak berubah, lagu yang tidak banyak berubah, penampilan yang tidak mencolok, petugas yang terbatas, persembahan roti dan anggur yang makin hari seolah hilang makna dan tidak lagi relevan, dsb, dsb, dsb.

Menarik bahwa dalam ibadah utama Gereja Katolik, yaitu Misa Kudus, pemahaman "worship" memiliki makna yang sama sekali berbeda dengan apa yang bisa diperhatikan dari "worship" GPdI yang saya lihat. Karena dalam Gereja Katolik, "worship" pertama-tama bukan kita melakukan sesuatu bagi Allah. Melainkan kita secara aktif membiarkan diri kita ambil bagian dalam tindakan Allah. Tidak semua orang memiliki peran yang sama dan sepadan. "Worship" adalah tindakan Kristus mempersembahkan diri. Secara aktif kita memberikan diri kita larut dalam tindakan Kristus itu, segala karya, suka dan duka kita. Menanti Allah bertindak dan menerima Allah melayani dan memberikan diri-Nya kepada kita. Dengan demikian, utamanya, perayaan Ekaristi bukan momen dimana kita mengaktualisasikan diri. Melainkan momen dimana Allah mengaktualisasikan diri. Aktualisasi diri kita terjadi dalam perutusan kita ke dunia.

Dalam masyarakat modern, dimana kita menjadi begitu aktif dan aktualisasi diri menjadi kebutuhan bahkan tuntutan, membiarkan diri menerima dan menanti menjadi pengalaman yang begitu sulit. Membosankan, menyebalkan, atau bahkan menakutkan.
Ternyata, membiarkan diri dilayani, direngkuh dan menerima, tidak semudah yang kita bayangkan.
Bukan berarti kita tidak bisa memberikan pemberian-pemberian terbaik kita. Tetapi pemberian-pemberian terbaik kita tidak pernah menjadi pemeran utama. Dan sering kali ini bukan menjadi berita yang membebaskan, malahan seolah menjadi pil pahit yang harus ditelan. Menanti dan menerima seolah menjadi identik dengan penolakan atau pernyataan tidak dibutuhkan.

Jika ada teman-teman yang pernah merasa demikian, saya bisa katakan bahwa saya pun pernah merasa demikian. Tetapi, dilihat dari sisi yang berbeda, Misa Kudus adalah momen mengagumkan.
Momen di mana Sang Pengantin merengkuh MempelaiNya. Atau juga momen di mana Panglima Perang kita yang perkasa maju ke medan pertempuran dan menang dengan jaya, sementara para ksatria, panglima dan puteri-puteri bersujud memberi hormat di hadapan kemuliaan yang begitu besar.

Penantian dan menerima... diriku kehabisan kata-kata...