Kamis, 23 Desember 2010

Liturgipandang Hari Raya Natal

Artikel ini saya tulis untuk sebuah mailing list, dan sekarang saya sertakan di blog saya ini dengan sedikit perbaikan
-----------------------------------------------------------------

Hari Raya Natal dalam kalender Gereja Latin dimulai sejak Ibadat Sore pertama Natal (Vesper I), yaitu tanggal 24 Desember senja hari.
Pada 24 Desember senja hari, dirayakan Vigili Natal, yang memulai seluruh rangkaian proklamasi dan Liturgi kelahiran Kristus, teofani Allah dalam daging.

Vigili Natal belum secara spesifik merayakan kelahiran Kristus, tetapi bercorak menanti proklamasi kelahiran Kristus.
Seperti seorang ayah menanti anak yang sedang dilahirkan, kita menanti jeritan tangis pertama anak yang sudah didamba-dambakan tersebut lahir ke dunia.
"Hari ini kamu akan mengetahui bahwa Tuhan datang untuk menyelamatkan kita, dan besok kamu akan melihat kemuliaan-Nya," demikianlah Introitus pembukaan Misa Vigili Natal, yang disadur dari Keluaran 16:6-7.
Dalam Injil silsilah Yesus Kristus dibacakan dan dikisahkan Yosef menerima Maria ke dalam rumahnya (Matius 1:1-25).


Ketika hari berganti, yaitu pada (menjelang) tengah Malam, Gereja merayakan Liturgi Natal Tengah Malam.
Amat disayangkan bahwa di kebanyakan paroki, Liturgi Natal Tengah Malam ini biasa dirayakan sebagai pengganti Vigili Natal. Biasanya Gereja-gereja sudah merayakan Liturgi ini sejak tanggal 24 sore, walau sebenarnya ini praktek yang tidak tepat.
Mungkin alasannya karena umat tidak rela kehilangan momen pada perayaan paling meriah ini. Biasanya dimulai dengan pembacaan Kalenda (Proklamasi Kelahiran Yesus Kristus) yang diambil dari Ibadat Bacaan (Ofisi Matins) Natal, kemudian tergantung tradisi lokal setempat patung kanak-kanak Yesus biasa di tahtakan.
Gereja dipenuhi kekaguman ketika seruan Allah Bapa bergema memenuhi Gereja, di tengah malam yang dingin dan gelap dan kilapan cahaya lilin:
"Ia berkata kepadaku: 'Anak-Ku engkau! Engkau telah Kuperanakkan pada hari ini! Mengapa rusuh bangsa-bangsa, mengapa suku-suku bangsa mereka-reka perkara yang sia-sia? Raja-raja dunia bersiap-siap dan para pembesar bermufakat bersama-sama melawan TUHAN dan yang diurapi-Nya: Mintalah kepada-Ku, maka bangsa-bangsa akan Kuberikan kepadamu menjadi milik pusakamu, dan ujung bumi menjadi kepunyaanmu." (Mazmur 2:7, 1, 2, 8).

Begitulah bunyi Introitus pembukaan kelahiran Yesus Kristus, sabda Allah Bapa kepada PuteraNya yang amat dikasihiNya.
Walau kelemah-lembutan, kesederhanaan, dan kemiskinan Kristus sering menjadi perhatian kita selama Natal, Introit Natal Tengah Malam sebenarnya memberikan nuansa yang sama sekali berbeda.
Di satu sisi, ini adalah pernyataan keilahian Yesus Kristus, kata-kata yang sama bergema pula saat Pembaptisan Yesus dan ketika Yesus dipermuliakan dengan berubah rupa di atas gunung Tabor.
Di satu sisi, memperlihatkan bahwa Yesus adalah raja Israel, keturunan Daud yang selama ini dinanti-nantikan, sudah tiba saatnya Israel dibebaskan dari perhambaannya. Kita berhadapan dengan seorang Raja yang sangat mulia. Mazmur 2, sebagai informasi, adalah Mazmur yang dinyanyikan ketika Raja Israel naik tahta.
Suara liturgi ini sering kali hilang, tertelan lantunan lagu-lagu Natal populer bahkan sekuler, yang walaupun mungkin tidak kehilangan seluruh semangat Natal, namun sepertinya malu menampilkan sisi rajawi-ilahi Kristus.

Drama Natal dan segala paradoksnya dimulai. Raja yang sedemikian mulia, yang dimaklumkan sendiri oleh Bapa, lahir di tempat tumpangan, diletakkan di palungan. KeberadaanNya yang lemah, membuat kita iba. Namun Ia penuh kuasa! Sia-sialah kuasa dunia dihadapanNya, Ia akan menaklukkan seluruh alam raya!

Injil malam ini, Lukas 2:1-14, menceritakan kelanjutan dari Vigili Natal yang dirayakan beberapa saat sebelumnya. Yesus lahir di Betlehem, dan isi surga merayakannya. Balatentara malaikat memproklamasikan kelahiranNya kepada para gembala di padang: "Jangan takut, sebab sesungguhnya aku memberitakan kepadamu kesukaan besar untuk seluruh bangsa: Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud."


Namun, perayaan kita belum selesai sampai di sini. Walaupun ini mungkin liturgi Natal yang paling banyak kita ikuti dan kita nanti-nantikan.
Pada saat fajar merekah, Gereja kembali menghadap Kristus dalam Liturgi Natal Fajar.
Introitus Liturgi Natal Fajar diambil dari Yesaya 9:2,6: "Bangsa yang berjalan di dalam kegelapan telah melihat terang yang besar; mereka yang diam di negeri kekelaman, atasnya terang telah bersinar. Sebab seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putera telah diberikan untuk kita; lambang pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebutkan orang: Penasihat Ajaib, Allah yang Perkasa, Bapa yang Kekal, Raja Damai."

Seperti merekahnya fajar dan mulai bersinarnya cahaya mengenyahkan kegelapan, demikian juga harapan dan sukacita yang dibawa pada perayaan Natal Fajar ini. Semalam kita telah menantikan dan telah melihat sendiri sang Terang. Kita telah menyaksikan "Terang yang besar," sang Putera telah diberikan kepada kita, seorang Raja yang akan memerintah kita.

Bagaimana tanggapan kita? Apa yang pantas kita berikan kepadaNya? Mari kita bersama para gembala, seperti dikisahkan pada Injil pada fajar ini (Luk 2:15-20), datang menghadap Dia. Mereka menceritakan perbuatan ajaib Allah kepada mereka, tentang para malaikat yang memberitakan kelahiran Kristus, dan mereka pulang kembali dengan sukacita sambil memuliakan Allah.


Fajar telah usai, dan Gereja merenungkan misteri besar ini dalam Liturgi Natal Siang. Tepatnya ini adalah Liturgi Natal yang dirayakan pada tanggal 25 Desember setelah fajar, entah siang hari, sore, atau malam.
Sekali lagi Gereja menyerukan perbuatan besar Allah, "seorang anak telah lahir untuk kita, seorang putera telah diberikan untuk kita; lambang pemerintahan ada di atas bahunya, dan namanya disebutkan orang: Penasihat Ajaib. Nyanyikanlah nyanyian baru bagi TUHAN, sebab Ia telah melakukan perbuatan-perbuatan yang ajaib."  (Introit Pembukaan Yesaya 9:6, Mazmur 98:1).

Seruan terhadap karya ajaib Allah ini menjiwai seluruh Liturgi Natal Siang, terutama dalam Injil Liturgi Natal Siang, yang kedalaman dan keindahannya begitu menjiwai Gereja, Yohanes 1:1-18: "Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah..."


Kita telah sekilas pandang ambil bagian dalam perayaan Liturgi Hari Raya Natal HARI PERTAMA.

Mengejutkan? Natal adalah salah satu hari raya yang pada kalender Liturgi Latin dirayakan sebagai Oktaf (satu lagi yang dirayakan sebagai Oktaf adalah Hari Raya Paskah). Artinya Hari Raya Natal dirayakan selama 8 hari sebagai satu perayaan.
Secara Liturgis, hari-hari dari tanggal 25 - 31 Desember dirayakan sebagai Hari Raya Natal, dalam setiap perayaan Liturgi Gereja (Ekaristi, Ibadat Harian).
Pada Oktaf Natal jatuh beberapa pesta: 26 Desember Pesta St. Stefanus, martir pertama. 27 Desember Pesta St. Yohanes, pengarang Injil. 28 Desember Pesta Kanak-kanak Suci, martir. Juga dirayakan Pesta Keluarga Kudus pada hari Minggu dalam Oktaf Natal (atau dirayakan tgl 30 Desember jika tidak ada hari Minggu yang jatuh pada Oktaf Natal).
Oktaf Natal ditutup dengan perayaan Hari Raya Maria Bunda Allah pada tanggal 1 Januari (Pesta Yesus Disunat menurut kalender liturgi lama, seusai tradisi Yahudi, seorang anak disunat pada hari ke-8).

Memandang Masa Natal

 Artikel ini saya tulis untuk sebuah mailing list, dan sekarang saya sertakan di blog saya ini dengan sedikit perbaikan.
-----------------------------------------------------------------

Mungkin banyak yang terkejut kalau saya mengatakan hal ini: Bahwa fokus Natal, dan masa Natal dalam tahun liturgi Gereja, bukanlah pada "Ulang Tahun" atau "Kelahiran Yesus." Walaupun Hari Raya Natal, tanggal 25 Desember secara praktis merupakan hari yang diperingati secara paling meriah selama masa Natal.

Tanpa masuk ke dalam paparan sejarah mengenai perayaan Natal dalam sejarah Gereja, Timur dan Barat, fokus keduanya satu dan sama, yaitu "Pewahyuan Diri Allah kepada seluruh dunia dalam diri Kristus," atau istilah Yunaninya, "Teofani/Theophany," penampakan diri Allah.

Selama Masa Natal, kita memperingati dimana Yesus, sebagai pewahyuan diri Allah, ditunjukkan kepada manusia, kepada dunia, kepada Israel dan orang-orang non-Yahudi sebagai perwujudan Allah yang benar yang dinantikan seluruh manusia. Salah satu wujud teofani ini adalah lahirnya Yesus sebagai manusia. Tetapi tidak berhenti di situ, Gereja melanjutkan refleksinya tentang bagaimana teofani Allah ini ditanggapi manusia.

Secara singkat, masa Natal membuka kepada kita drama ini kepada kita. Kita melihat Maria dan Yosef yang menerima Wahyu Allah itu dengan gembira. Diikuti para gembala yang menerima misteri ini dengan sukacita, mereka mewakili Israel dan orang-orang yang sederhana, yang miskin, yang berkehendak baik. Kita juga melihat bagaimana Israel yang menantikan Penyelamatnya menyongsong Yesus, dalam diri Simeon dan Hannah.

Namun tidak selalu demikian, bersama Natal ada dukacita besar. Gereja memperingati dalam masa Natal ini kemartiran para kanak-kanak Betlehem (Pesta para Kanak-kanak suci, 28 Desember) yang dibunuh Herodes yang mencari Kristus. Juga kita memperingati bagaimana Keluarga Kudus, harus melarikan diri ke tanah Mesir dan tinggal sebagai orang asing di negeri orang.

Di Gereja Latin, Pesta besar kedua dalam masa Natal adalah ketika para Majus datang menemui Yesus, yang dalam kalender Gereja Latin dikenal sebagai pesta Epifani (Penampakan Kemuliaan Tuhan). Dalam pesta ini, dirayakan pewahyuan diri Allah bagi bangsa-bangsa bukan Yahudi. Bahwa akhirnya, bangsa-bangsa yang tinggal dalam kegelapan melihat cahaya terang yang menuntun mereka.

Dalam kalender Gereja Latin, perayaan Natal ditutup dengan Pesta Pembaptisan Kristus. Dalam kalender Gereja Timur, ini adalah pesta besar. Bagi mereka inilah pesta Epifani. Banyak dari kita berpikir apa hubungannya pembaptisan Yesus pada masa Natal? Apa sekedar menyatakan bahwa sekarang Yesus sudah dewasa dan masa kanak-kanak sudah lewat?

Tidak sepenuhnya salah. Pembaptisan Yesus adalah awal mula masa pelayanan Yesus. Dia yang selama ini tersembunyi dari orang banyak, besar seperti anak-anak lainnya, sekarang menyibakkan tirai yang menyembunyikan diriNya, menampakkan kemuliaanNya. Ini adalah teofani Allah dalam diri Yesus kepada orang banyak, "Inilah Anak yang Kukasihi, yang kepadaNya aku berkenan." Misteri yang selama ini dibukakan pada sedikit orang (Maria, Yosef, para gembala, Herodes, para Majus, Hannah dan Simeon), sekarang dinyatakan secara publik kepada seluruh dunia ketika Allah memperkenalkan AnakNya terkasih kepada orang banyak.

Namun juga pada Pembaptisan Yesus, Teofani, penampakan diri Allah yang lebih mengejutkan diwahyukan kepada seluruh dunia: Bapa, Putera dan Roh Kudus. Pewahyuan diri Allah yang tersembunyi sejak awal mula, siapakah Allah, diwahyukan kepada dunia dalam Pembaptisan Yesus. Dalam Gereja Timur, teofani Tritunggal secara istimewa dan meriah dirayakan pada hari ini.

Pada artikel selanjutnya, kita akan melihat bagaimana Gereja membawa menelusuri Hari Raya Natal lewat 4 Perayaan Ekaristi Natal sepanjang 24 Desember - 25 Desember dan selama Oktaf Natal.

Rabu, 15 Desember 2010

Bagaimana Forma Extraordinaria Memperkaya Forma Ordinaria - Uskup Pascal N'Koué

Bagaimana forma extraordinaria membantu kita merayakan forma ordinaria dengan lebih baik? Berikut beberapa point:

1) Reevaluasi Misa sebagai korban (Liturgi Ekaristi, bagian kedua dari Misa). Selebran dan koor harus hilang dihadapan Tuhan, menghilangkan kreatifitas berlebihan yang menarik perhatian manusia. Ekaristi adalah Kristus yang mempersembahkan diriNya kepada Bapa. Pada puncak perayaan dalam tahun liturgi, seperti Adven dan Prapaskah, mengapa tidak kita rayakan dengan kembali berfokus, menghadap Salib, versus dominum, atau ad orientem. Ini mendorong rekoleksi, memusatkan perhatian kita pada misteri Salib yang sekarang mengarahkan kehidupan setiap murid Kristus. Sejujurnya, rubik perayaan (forma ordinaria) menyatakan bahwa posisi liturgi Ekaristi (bagian kedua dari Misa) tidak saling berhadapan.

komentar: dalam buku TPE ada bagian-bagian khusus, seperti ketika memberi salam kepada umat, dimana imam diminta secara spesifik menghadap umat. Pada bagian-bagian lain, dan utamanya bagian Liturgi Ekaristi, rubik berforkus pada imam berhadapan dengan Altar dan Tubuh dan Darah Tuhan. Walau pun dalam Misa dimana imam menghadap umat ("versus populum"), fokus liturgi pada bagian itu bukanlah umat.

2) Memberi lebih banyak ruang untuk bahasa Latin dalam perayaan. Ingat bahwa nyanyian Gregorian adalah nyanyian proper liturgi Romawi. Nyanyian yang hanya menggugah indera akan sangat berguna jika dirombak supaya layak disebut musik liturgi. Mari kita hindari kebisingan alat-alat musik, lirik yang kering dan irama yang terlalu profan dalam liturgi kita.

3) Jangan meletakkan kursi selebran di depan Altar. Liturgi bukan tempat untuk pagelaran.

Bagi para Imam:

4) Beri Komuni dengan membuat tanda salib dengan Hosti. Dapat diterima umat berdiri atau berlutut.

5) Persiapkan diri dalam keheningan sebelum Misa mulai, yang juga berarti imam yang datang terlambat jangan berkonselebrasi ketika Misa sudah mulai.

6) Kembalikan kehendingan yang suci dalam perayaan, seperti misalnya tidak menyanyikan refren lagu sewaktu Tubuh dan Darah Tuhan diunjukkan.

7) Gunakan Doa Syukur Agung I pada hari Minggu atau Hari Raya. DSA I lebih agung dan lebih "inkulturatif."



Teks lengkap bahasa Inggris (terjemahan New Liturgical Movement):

Specifically, how the extraordinary form may help us to better celebrate the ordinary form? Here are some points:

1) Revaluate the sacrificial moment or second part of the Mass. The celebrant and choir should disappear before God, eliminating the fabricated and pernicious creativities that draw the eyes on man. The Eucharist is Christ who offers Himself to His Father. During the climaxes of the liturgical year such as Advent and Lent, why not celebrate all turned towards the Cross, "versus Dominum," or "ad orientem". This encourages recollection, draws our attention to the mystery of the Cross (our East), which now orients every life of a disciple of Christ. Truth be told, the rubrics prescribee that the position for the sacrificial part of the Mass be not face to face.

2) Give a little more room to Latin in our celebrations. Remember that Gregorian chant is the singing proper to the Roman liturgy. The songs which are just good to stir our senses would benefit from being reworked in order to deserve to be called sacred music. Let us avoid the din of musical instruments, the banality of lyrics and the shallowness of beats too profane in our liturgies.

3) Do not put the seats of celebrants before the altar of the Holy Sacrifice anymore. The liturgy is not a place for exhibition.

For Priests:

4) Give Holy Communion, making the sign of the cross with the consecrated Host. The faithful may receive it standing or kneeling.

5) In silence, prepare before the start of the Mass; which presupposes the non-concelebration of priests who are late, when Mass has already begun.

6) Reintroduce sacred silence in our celebrations, for example by suppressing the refrains sung at the elevation of the Body and Blood of Christ.

7) Use the Roman Canon or Eucharistic Prayer No. 1 on Sundays or Holy Days. It is more solemn and more "inculturated".



Referensi: An African Bishop on Summorum Pontificum, Mutual Enrichment, and the Reform of the Reform
Teks asli dalam bahasa Perancis: Réforme de la réforme : les propositions de Mgr N’Koué

Laporan Implementasi Summorum Pontificium dari Afrika

Dalam Summorum Pontificium (2007), yang membebaskan secara luas pelaksanaan Liturgi tahun 1962 (Tridentin), Paus meminta para uskup memberikan laporan implementasi 3 tahun setelah diterbitkannya dokumen tersebut.

Salah satu laporan diberikan oleh Uskup dari Diosis Natitingou, Benin, Yang Mulia Pascal N'Koué. Laporan ini diterbitkan dalam surat kabar Keuskupan.

Ringkasan:
Beliau berpendapat bahwa kedua forma bisa hidup berdampingan dan saling melengkapi. Pelaksanaan Misa forma Ekstraordinaria (Tridentin) membuat para imam muda di keuskupan semakin menghayati dan menghormati Altar, keheningan, doa-doa liturgi proper, tindakan-tindakan liturgis (seperti tanda salib dan berlutut) dan orientasi liturgi (bersama umat menghadap Salib - posisi ad orientem). Secara singkat, ritus Tridentin memberi kesempatan untuk semakin memahami dan semakin menghargai ritus Paulus VI (forma Ordinaria pasca Konsili Vatikan II).

Beberapa dari imam-imam di keuskupan secara spontan mempelajari dan mulai mempersembahkan ritus Tridentin ini. Terjadi saling memperkaya antara kedua forma. Terjadi internalisasi makna rubik. Hal-hal yang tadinya diperdebatkan (seperti makna misteri, kekudusan, adorasi, kemuliaan Ilahi, partisipasi aktif) sekarang mengalir secara natural.



Berikut teks lengkapnya dalam bahasa Inggris, diterjemahkan oleh New Liturgical Movement:

Natitingou, June 15, 2010

Your Eminence,

It is with joy that, upon request of the Apostolic Nunciature to Benin, I inform you of our experience concerning the Motu Proprio of Pope Benedict XVI, "Summorum Pontificum".

At the outset I would like to say that the Extraordinary Form of Roman Rite has been introduced in my diocese in October 2003, i.e. before the Motu Proprio. My conviction that these two forms can coexist peacefully and enrich each other is beyond doubt and long held. In my humble opinion, the two forms have no problem (sc. with each other). The conflicts come from our sick and intoxicated hearts or our ideologies arising from the narrowness of our minds and our formation courses which are too set in their ways.

As you will read in the report - delivered herewith, prepared by Father Denis Le Pivain, parish priest of St. John the Baptist - there have been no waves in Natitingou, but still a little turbulence ... The priest does not undertake anything without consulting the bishop. This is one of his great merits. The unity of the Church obliges. In fact, there is a remarkable sympathy and harmony among all the priests on this subject.



Personally, I must profess that the celebration in the old form is an opportunity for my young clergy and the entire diocese. It allows one to value more highly the altar (prayer at the foot of the altar), the sacred silence, the secrets, the multiple signs of the cross and genuflections and even the fact that we are all turned towards the Cross (ad orientem position). In short, the Tridentine rite offers us an opportunity to better understand and better appreciate the rite of Paul VI.

Several of my priests, without any pressure from my part, have spontaneously begun to learn to celebrate the Mass of St. Pius V or more exactly the mass of Pope John XXIII. Obviously the more one emphasizes the "ars celebrandi", the more both forms influence each other positively. When the rubrics are internalised, the liturgy touches the faithful with its beauty and depth; and one no longer needs to quarrel about the mystery, the sacred, adoration, the majesty of God and active participation. It goes without saying. In addition, the Roman Canon and the liturgical gestures in the old rite are closer to our African religiosity and sensibility. I speak only for my diocese.

My wish is that one day every priest is able to celebrate in both forms. It is not impossible, especially if they are introduced in our seminaries. But here in Natitingou, we cannot apply the old rite pure and simple, ignoring the light of "Sacrosanctum Concilium". Everything is there. The extraordinary form cannot ignore the Second Vatican Council, just as the ordinary form cannot ignore the ancient rite without being impoverished. There is a balance to be kept. The Commission "Ecclesia Dei" seems to encourage us to continue in this direction.

I close by invoking the Sacred Hearts of Jesus and Mary on all priests. It is God's love which will save the world and not the rites as such. Let us work to awaken that passion for the Crucified who loved us and gave Himself for us.

In hopes of having answered somewhat according to your request, I assure you, Your Eminence, of my faithful cooperation in the One, Holy, Catholic and Apostolic Church.


Pascal N'KOUE



Referensi: An African Bishop on Summorum Pontificum, Mutual Enrichment, and the Reform of the Reform
Teks asli dalam bahasa Perancis: Application du Motu Proprio : le compte-rendu d’un évêque africain

Selasa, 07 Desember 2010

Kanon Reguler Saint John Cantius menyediakan video tutorial Misa forma Ordinaria

Banyak yang sudah cukup kenal dengan artikel dan video tutorial Misa forma Extraordinaria (Tridentin) yang diproduksi oleh Kanon Reguler Saint John Cantius yang bisa diakes dari website Sancta Missa.


Tetapi banyak juga yang tertarik untuk merayakan Misa forma Ordinaria (Paulus VI) dengan semangat kontinuitas dengan liturgi Romawi sebelum Konsili Vatikan II (forma Extraordinaria). Beberapa pertanyaan mendasar misalnya bagaimana membawakan Misa forma Ordinaria ad orientem (menghadap ke arah timur, umat dan imam menghadap ke arah yang sama, ke arah Altar).


Kanon Reguler Saint John Cantius melayani umat dengan mempersembahkan kedua forma Misa dalam kehidupan paroki yang menjadi tanggung jawab mereka. Untuk menolong melatih para imam membawakan Misa forma Extraordinaria, mereka membuat website website Sancta Missa sebagai referensi online. Berbagai video  Misa, Ofisi Suci dan perayaan Sakramen menurut forma Extraordinaria tersedia.

Sekarang mereka juga mulai menyediakan bahan-bahan online untuk perayaan Misa forma Ordinaria ad orientem. Bisa dialihat dari halaman berikut ini: Ordinary Form Tutorial.
 

Rabu, 17 November 2010

Hari Raya Kristus Raja 2010

Setiap orang memiliki gambaran yang paling disukainya akan Allah. Mungkin karena dalam kehidupan kita, kita dijamah oleh Allah secara khusus dan figur-Nya saat itu menjadi yang paling terpatri dalam batin kita. Allah yang menyembuhkan, Allah yang penuh kasih, Allah yang perkasa, Allah yang sangat dekat dengan kita.

Dalam kehidupan liturgi, Gereja secara hati-hati membawa kepada umat berbagai gambaran Allah dalam sejarah keselamatan. Dan sering kali, kita dikejutkan oleh gambaran yang Allah yang kurang kita kenal, atau tidak berusaha untuk kenal. Namun disinilah kebijaksanaan Gereja bersinar. Lewat tahun liturgi kita berjumpa dengan diri Allah sebagaimana diwartakan Kitab Suci.

Menjelang Hari Raya Kristus Raja Semesta Alam, Gereja mengajak kita bertatap muka dengan pribadi Allah dalam Yesus Kristus secara istimewa.

Liturgi hari ini dibuka dengan Introit yang langsung memberikan tenor perayaan, diambil dari Kitab Wahyu:
"Pantaslah Anak Domba yang disembelih itu menerima kuasa dan kekayaan, dan hikmat, dan kekuatan dah hormat. Bagi Dialah kemuliaan dan kuasa sampai selama-lamanya." (Wahyu 5:12; 1:6).

Kita yang bergaul cukup banyak dengan Kitab Wahyu pasti teringat adegan sangat dramatis yang menjadi konteks kutipan tersebut. Deru kilat dan guntur memenuhi surga, 24 tua-tua duduk di atas takhta, 4 makhluk ilahi masing-masing berkepala burung nasar, singa, lembu dan manusia bersorak tak henti, "kudus, kudus, kuduslah Tuhan Allah, Yang Mahakuasa, yang sudah ada dan yang ada dan yang akan datang."(Wahyu 4:8) di hadapan takhta Allah.

Kemudian Dia yang duduk di takhta itu menyerahkan sebuah kitab yang disegel dengan 7 meterai. Tiada yang dapat membukanya baik di surga dan dibumi. Sampai datang, Anak Domba seperti telah disembelih, bertanduk dan bermata tujuh. Ketika Anak Domba itu mengambil gulungan kitab itu seluruh isi surga tersungkur di hadapan Anak Domba itu, melagukan pujian. Dan kemudian bergemalah, introit yang kita dengar pada awal Misa Kristus Raja: "Anak Domba yang disembelih itu layak untuk menerima kuasa, dan kekayaan, dan hikmat, dan kekuatan, dan hormat, dan kemuliaan, dan puji-pujian! Bagi Dia yang Duduk di atas takhta dan bagi Anak Domba, adalah puji-pujian dan hormat dan kemuliaan dan kuasa sampai selama-lamanya! Amin!" (Why 5:11,13,14).

Sabda Allah ini sudah menghempaskan kita ke suatu kenyataan yang luar biasa. Suatu keagungan dan kemegahan, suatu kengerian, sebab Anak Domba itu akan datang untuk menjadi pemenang, Ia akan mengadili semua makhluk dan akan menaklukkan segalanya, termasuk maut dibawah kaki-Nya.

Gereja mengajak kita bertemu dengan Anak Domba yang hidup walau sudah disembelih, bermata tujuh, bertanduk tujuh, yang membuat seluruh surga tersungkur, dan yang akan menjadi penakluk sejati. Kita bertemu dengan Allah yang perkasa, Hakim yang tertinggi.

Gambaran Allah seperti itu mampu membangkitkan bulu kuduk dan membuat kita tersungkur takut. Namun, Mazmur hari ini juga mengungkapkan kegembiraan, Mazmur 122, yang berseru: "Aku bersukacita ketika dikatakan orang kepadaku, 'Mari kita pergi ke rumah TUHAN.'...sebab di sanalah ditaruh kursi-kursi pengadilan, kursi-kursi milik keluarga raja Daud." (Mzm 122:1,5).

Mengapa ada sorak gembira? Apalagi kegembiraan itu karena pengadilan! Bagi kita benar-benar alasan yang aneh untuk bergembira. Kita biasa bergembira karena hiburan, persahabatan, pertemanan, kumpul-kumpul, pesta dan kebersamaan. Tetapi bersukacita karena kursi pengadilan?

Namun bisa kita bayangkan ini adalah sorak-sorai umat Allah yang ditebus, kitalah umat yang ditebus itu! Sudah tiba saatnya Allah meraja, menjatuhkan para pendakwa kita, memberi keadilan bagi umat-Nya, membuat dunia menanggung darah umat Allah yang telah mereka tumpahkan. "Haleluya! Keselamatan dan kemuliaan dan kekuasaan adalah pada Allah kita, sebab besar dan adil segala penghakiman-Nya, karena Ialah yang telah menghakimi pelacur besar itu, yang merusakkan bumi dengan percabulannya; dan Ialah yang telah membalaskan darah hamba-hamba-Nya atas pelacur itu." (Why 19:1-2).

Dalam bacaan kedua, Paulus mengungkapkan kekagumannya atas karya keselamatan Allah itu. Dalam apa yang dikenal Gereja sebagai Kidung Kolose, yang secara berkala dinyanyikan dalam Ibadat Sore, Gereja ambil bagian bersama Paulus dalam mengungkapkan kekaguman itu. Allah telah bertindak, Ia menyelamatkan kita dari dosa, dan Yesus Kristus menaklukkan segalanya bagi Allah berkat darah salib-Nya.

Inilah pertempuran penentuan yang membuat Kristus menang. Ia memenangkan alam semesta dalam darah-Nya di salib. Karena itu tidak heran, Injil hari ini menampakkan Yesus Sang Raja yang sedang bertahta. Salib adalah takhta-Nya, paku-paku adalah harta-Nya, mahkota duri adalah mahkota kemuliaan-Nya, para penjahat dan pendosa pendamping-Nya, luka sekujur tubuh adalah perhiasan-Nya.
Sang Raja menang mulia, karena salib.
Dan dalam Injil ini, gambaran Allah, Hakim yang Agung memperlihatkan sisi-Nya yang begitu dekat dengan kita. Ia dekat dengan kita dalam penderitaan, dalam kesesakan kita, dan ia berbelas kasihan pada kita. Sekaligus sebuah pernyataan, bahwa jika Raja segala Raja memeluk penderitaan manusia, kita pun harus siap mengikuti Dia dalam penderitaan.

Sukacita kita dijanjikan, sehingga kita dapat bersorak-sorai seperti pemazmur dan bersama seluruh isi surga dalam kitab Wahyu. Itulah kemuliaan kita, yang menanti kita, dan jalan menuju kemuliaan itu adalah jalan salib yang sudah ditapaki Yesus.

Lalu apa refrain terakhir dari ini semua? Datangnya Kerajaan Allah, Yerusalem yang baru. Dan di dalamnya kita akan hidup bersama Allah selama-lamanya, dimana segalanya diperbarui dan kita akan memandang Dia muka dengan muka.

Kita mengantisipasi Yerusalem yang baru dan hidup berhadapan muka dengan Allah sudah dalam perayaan kita di bumi ini, saat ini, ketika kita menyambut Yesus dalam komuni. Ketika kita bersatu dengan Dia, secara istimewa.

Sungguh tepat Antifon Komuni kita hari ini yang berseru: "Tuhan akan bertakhta sebagai raja selama-lamanya. Tuhan akan memberkati umat-Nya dengan damai." (Mzm 29:10-11)

Apa yang dilihat Yohanes, sudah kita alami dalam Ekaristi: "Lihatlah, kemah Allah ada di tengah-tengah manusia dan Ia akan diam bersama-sama dengan mereka. Mereka akan menjadi umat-Nya dan Ia akan menjadi Allah mereka." (Why 21:3), sangat tepat menggemakan Mzm 29 yang kita dengarkan dalam komuni hari ini.

Inilah pemandangan liturgi yang disajikan kepada kita hari ini, pada Hari Raya Kristus Raja.
Secara praktis lansekap liturgi yang dirayakan menentukan bagaimana kita menentukan dan mencari lagu yang tepat untuk mendukung tersampaikannya pesan liturgi hari itu kepada kita.

Dalam Ordo Cantus Missae, sangat ditekankan "Nyanyian yang memiliki relasi dekat dangan bacaan, tentunya, selayaknya digunakan untuk bacaan-bacaan ini."(Ordo Cantus Missae 19).

Dalam ekshortasi pasca sinode umum para uskup ke-12, Paus kita berkata: "Untuk menekankan sabda Allah dalam liturgi, perhatian harus diberikan terhadap penggunaan lagu pada saat yang diberikan sesuai ritus partikular. Lagu utamanya dipilih yang memiliki inspirasi biblis dan yang mengekspresikan, melalui harmoni musik dan nada, keindahan sabda Allah." (Verbum Domini 70).

Jadi kriteria nyanyian, utamanya mendukung pewartaan Sabda Allah.

Keberatan yang sering disampaikan tentunya, bagaimana dengan partisipasi umat?
Sebenarnya partisipasi umat dalam nyanyian Liturgi memiliki beberapa jenjang:
Yang pertama dan terpenting dikuasai umat adalah dialog antara imam dan umat dan yang dibawakan oleh imam dan umat bersama-sama, dengan di sekitarnya ditambahkan bagian-bagian yang dibawakan oleh umat saja atau kor (Instruksi tentang Musik dalam Liturgi no. 7, Sacred Conggregation of Rites, 1967).


Jadi pada selalu ada tempat untuk kor dan selalu ada kesempatan bagi umat untuk ambil bagian aktif dalam liturgi tanpa perlu ikut menyanyi.

Buku Jubilate Deo, bagian pertama, Cantus Missae, yang disusun atas inisiatif  Paus Paulus VI, memberikan repertoir minimum yang harus dikuasai umat:
Beberapa seleksi nyanyian ordinarium Gregorian sederhana, Credo, Bapa Kami, Anamnesis, dan seluruh dialog antara imam dan umat.


Setelah melewati Hari Raya Kristus Raja, kita menyongsong Masa Adven, masa penantian, yang selalu bermakna ganda: Kita menantikan (memperingati) kedatangan pertama Yesus ke dunia sebagai anak, dan kita menantikan kedatangan kedua-Nya sebagai Raja Agung yang kita rayakan pada Hari Raya Kristus Raja.

Selamat menjelang detik-detik tahun baru liturgi.

Let All Mortal Flesh Keep Silence

Madah ini adalah madah Ekaristi, dinyanyikan pada persiapan persembahan, dikenal juga sebagai madah Kerubim (Cherubikon) dalam Liturgi Ilahi Santo Yakobus dari abad ke-4 Masehi, yang masih dirayakan utamanya oleh Gereja-gereja Timur dari tradisi Oriental.
Pada tahun 1906, Ralph Vaughan Williams, mengadaptasi teks ini menurut melodi tradisional Perancis, Picardy, dan menjadikannya populer di kalangan gereja-gereja yang liturgis, termasuk dalam Gereja Katolik, dan menjadi sebuah himne klasik.

InggrisIndonesia
Let all mortal flesh keep silence,
And with fear and trembling stand;
Ponder nothing earthly minded,
For with blessing in His hand,
Christ our God to earth descendeth,
Our full homage to demand.

King of kings, yet born of Mary,
As of old on earth He stood,
Lord of lords, in human vesture,
In the body and the blood;
He will give to all the faithful
His own self for heavenly food.

Rank on rank the host of heaven
Spreads its vanguard on the way,
As the Light of light descendeth
From the realms of endless day,
That the powers of hell may vanish
As the darkness clears away.

At His feet the six winged seraph,
Cherubim with sleepless eye,
Veil their faces to the presence,
As with ceaseless voice they cry:
Alleluia, Alleluia
Alleluia, Lord Most High!
biar semua makhluk fana
terdiam berdiri dan gentar
jangan berpikir soal dunia
karena Kristus telah datang
dengan membawa berkat di tangan-Nya
mari kita sembah sujud

Raja atas segala raja
lahir dari Maria
Ia hidup di dunia
dengan tubuh dan darah
kepada umat-Nya kan Ia berikan
diri-Nya sebagai santapan

Balatentara surgawi
memberi jalan dengan hormat
ketika Sang Terang dari terang
turun dari alam ilahi
agar neraka musnah dilucuti
dan kegelapan pun undur

serafim ada di kaki-Nya
kerubim yang tak pernah terpejam
menyembunyikan wajah mereka
dihadapan hadirat-Nya
dengan tak henti mereka berseru
Alleluya, Yang Maha Tinggi

Voluntati Obsequens

Pada tanggal 14 April 1974, Kongregasi Ibadat Suci (Kongregasi untuk Ibadat dan Disiplin Sakramen) menerbitkan sebuah buku lagu yang diberi judul Jubilate Deo.

Buku Jubilate Deo berisi repertoir Gregorian minimum yang diharapkan dikuasai oleh umat Katolik, sesuai harapan Bapa Suci Paulus VI, agar umat Katolik mengenal beberapa repertoir Gregorian Latin.

Buku kumpulan lagu ini dipersembahkan Gereja kepada umat Katolik sebagai hadiah khusus dari Bapa Suci, mewujudkan amanat Konsili Vatikan II, yang dalam Konstitusi tentang Liturgi Suci no. 54, mengatakan: "Tetapi hendaknya diusahakan, supaya kaum beriman dapat bersama-sama mengucapkan atau menyayikan dalam bahasa latin juga bagian-bagian Misa yang tetap yang menyangkut mereka."

Walaupun nyanyian dalam bahasa setempat baik dan didukung, namun "repertoir minimum nyanyian Gregorian ini disiapkan dengan satu tujuan: agar umat Kristen lebih dimudahkan untuk mencapai kesatuan dan harmoni spiritual dengan saudara-saudara mereka dan dengan tradisi hidup masa lalu. Karena itu mereka yang berusaha meningkatan kualitas nyanyian kongregasional (red: dinyanyikan bersama seluruh umat) tidak boleh menolak memberikan tempat yang selayaknya diduduki nyanyian Gregorian." (Voluntati Obsequens)

Dan untuk mendukung amanat ini, Kongregasi Ibadat Suci membuat buku Jubilate Deo gratis untuk direproduksi dan dikopi.

Nyanyian apa saja yang ada di dalam buku tersebut?
Buku tersebut dibagi menjadi 2 bagian. Bagian pertama, Cantus Missae, berisi nyanyian-nyanyian yang umum dalam Misa. Terdiri dari:
1. Kyrie XVI
2. Gloria VIII (De Angelis). Terdapat juga dalam Puji Syukur 343
3. Nyanyian tanggapan bacaan I dan II: Verbum Domini - Deo gratias (Demikianlah sabda Tuhan - Syukur kepada Allah)
4. Dua Alleluya sederhana
5. Pengantar bacaan Injil: Dominus vobiscum - Et cum spiritu tuo- Lectio sancti Evangelii secundum N. - Gloria tibi Domine (Tuhan bersamamu - Dan bersama rohmu - Inilah Injil Yesus Kristus menurut N. - Dimuliakanlah Tuhan)
6. Nyanyian tanggapan Injil: Verbum Domini - Laus tibi Christe (Demikianlah sabda Tuhan - Terpujilah Kristus)
7. Credo III. Terdapat juga dalam Puji Syukur 374.
8. Tanggapan terhadap intensi doa umat: Te rogamus, audi nos (kami mohon kepada-Mu, dengarkanlah kami).
9. Dialog pembuka Prefasi
10. Sanctus XVIII. Terdapat juga dalam Puji Syukur 388.
11. Anamnesis.
12. Doksologi penutup Doa Syukur Agung.
13. Bapa Kami. Terdapat juga dalam Puji Syukur 402.
14. Dialog ritus damai.
15. Agnus Dei XVIII. Terdapat juga dalam Puji Syukur 409.
16. Pembubaran umat.

Bagian kedua, Cantus Varii, berisi nyanyian-nyanyian Gregorian untuk berbagai keperluan.
1. O salutaris (hostia)
2. Adoro te (devote). Terdapat juga dalam Puji Syukur no. 560, Allah yang Tersamar.
3. Tantum Ergo. Terdapat juga dalam Puji Syukur no. 501, Mari Kita Memadahkan (bait 5 dan 6).
4. Mazmur 116 (117), Laudate.
5. Parce Domine.
6. Da pacem.
7. Ubi caritas (est vera). Terdapat juga dalam Puji Syukur no. 498, Jika ada Cinta Kasih.
8. Veni Creator (Spiritus). Terdapat juga dalam Puji Syukur no. 567, Ya Roh Pencipta, Datanglah.
9. Regina Caeli. Terdapat juga dalam Puji Syukur no. 624.
10. Salve Regina. Terdapat juga dalam Puji Syukur no. 623.
11. Ave Maris Stella. 
12. Magnificat.
13. Tu es Petrus.
14. Te Deum (laudamus). Terdapat juga dalam Puji Syukur no. 669.

Buku nyanyian Jubilate Deo bisa diunduh di beberapa situs, salah satunya di sini: Jubilate Deo (1974)

Senin, 15 November 2010

Suasana Adven dan Natal

Pada masa Adven, ada nuansa pertobatan, tetapi tidak seketat Prapaskah.
Nuansa yang pasti adalah nuansa penantian, rangkap 2, yaitu:
1. Menantikan Kedatangan Kristus yang Kedua sebagai Hakim Agung
2. Menantikan Kedatangan Kristus pada masa Natal.

Nuansa yang pertama ini kerap kali hilang, terutama karena kita sudah dalam suasana dan lagu-lagu ekspektasi Natal. Padahal Bacaan, teks liturgi dan lagu-lagu Liturgi (Proprium) masa Adven terutama minggu pertama, bicara soal pengadilan Allah.

Penyebab hilangnya nuansa pertama juga dikarenakan hilangnya makna Masa Natal dalam pemahaman umat Katolik, Latin utamanya.

Awalnya peristiwa utama yang diperingati pada masa Natal adalah Pembaptisan Yesus di Yordan, pada satu hari yang sama diperingati kunjungan para magi dan para gembala dan bahkan mukjizat pertama di Kana. Ini semua kemudian dipisah menjadi rentang yang lebih panjang.

Teks liturgi Natal jauh bicara soal kelahiran Kristus dalam konsepsi modern sekarang. Teks Liturgi masa ini menggarisbawahi teofani atau penyingkapan diri Allah di tengah manusia. Mula-mula kepada Israel, kemudian pada orang-orang bukan keturunan Israel. Berpuncak pada pembaptisan Yesus ketika pribadi Allah yang tersembunyi sepenuhnya diungkapkan kepada dunia: Bapa, Putera dan Roh Kudus.

Dalam Gereja Latin, terutama jemaat yang tidak menggunakan lagi lagu-lagu proprium Misa, semua nuansa ini lenyap digantikan suasana Natal sekuler, suasana pergantian tahun, dan komersialisme.

Akhirnya, pemahaman umat akan Adven dan Natal menjadi timpang.

Paus Memberi Rekomendasi untuk Meningkatkan Partisipasi Umat dalam Misa

Dalam exhortasi pasca sinode yang dikeluarkannya, Verbum Domini, Paus Benediktus XVI memberikan 7 rekomendasi praktis untuk meningkatkan partisipasi umat dalam mengikuti Misa:

Rekomendasi pertama menyangkut "perayaan sabda Allah" (ibadat sabda).

Berdasarkan rekomendasi dari para bapa sinode, para pastor harus lebih banyak memberikan waktu dan mempromosikan ibadat sabda bersama komunitas yang dipercayakan kepada mereka, dan menjadikan saat-saat itu sebagai "saat istimewa berjumpa langsung dengan Tuhan."


Beliau mengaktakan bahwa praktek ini akan sangat bermanfaat bagi umat dan harus dijadikan bagian penting dari formasi liturgi. Hal ini penting terutama untuk menyiapkan umat merayakan Ekaristi hari Minggu, membantu umat menyelami Leksionari (bacaan-bacaan selama tahun liturgi), berdoa dan merenungkan Kitab Suci, terutama pada masa-masa Adven, Natal, Prapaskah dan Paskah.

Ibadat sabda sangat penting terutama bagi jemaat dimana perayaan Ekaristi tidak dapat secara rutin dilaksanakan, sambil tetap menjaga agar perbedaan antara ibadat sabda dan Ekaristi tidak dikaburkan.

Juga sangat dianjurkan pada momen-momen seperti ziarah, pesta-pesta gereja, misi, retret, dan hari-hari tobat dan silih. Berbagai bentuk kesalehan umat (devosi), walaupun bukan tindakan liturgi dan jangan sampai mengaburkan perayaan liturgi, harus diinspirasikan oleh liturgi dan memberi tempat yang cukup untuk pewartaan sabda Allah.


Rekomendasi kedua menyangkut sabda dan keheningan.

Paus mengatakan bahwa sabda hanya bisa diujarkan dan didengarkan dalam keheningan, luar dan dalam (keheningan eksternal, suasana, maupun batin).

Sayangnya zaman kita sekarang tidak mendukung rekoleksi, dan ada impresi bahwa orang takut menjauhkan dirinya, bahkan sebentar saja, dari media massa (gadget, hape misalnya).

Karena itu, perlu mendidik umat akan nilai keheningan. Menemukan kembali sentralitas sabda Allah dalam hidup Gereja berarti juga menemukan kembali keheningan, rekoleksi batin, sebab hanya dalam keheningan sabda Allah menemukan tempat dalam diri kita.

Untuk itu Paus meminta perayaan sabda (liturgi dan ibadat sabda) dirayakan sedemikian sehingga mendukung meditasi/perenungan. "Hening, pada tempatnya dalam perayaan, harus dianggap sebagai bagian dari perayaan."

Rekomendasi ketiga menyangkut pewartaan sabda secara khidmat (solemn).
 
Anjuran selanjutnya yang datang dari sinode adalah supaya pewartaan sabda, Injil utamanya, dilakukan lebih khidmat, terutama pada pesta-pesta liturgi utama, dengan mengarak Injil dalam perarakan pada ritus pembuka dan kemudian dibawa ke mimbar oleh seorang diakon atau imam untuk diwartakan.
Ini akan membantu umat untuk menyadari bahwa "pewartaan Injil adalah titik puncak dalam liturgi sabda."
Sesuai Ordo Lectionum Missae, adalah baik jika pewartaan sabda Allah, terutama Injil, dimeriahkan dengan dilagukan, terutama pada hari-hari raya tertentu. Kalimat pembukaan: "Inilah Injil Yesus Kristus..", dan kalimat penutup: "Demikianlah Injil Tuhan," dapat dilagukan sebagai cara menekankan apa yang dibacakan.



Rekomendasi keempat menyangkut sabda Allah dalam Gereja.


Demi pewartaan sabda dapat ditangkap dengan baik oleh umat, harus juga diperhatikan akustik gereja, dengan tetap memperhatikan norma-norma liturgi dan arsitektur. Arsitektur gereja harus mendukung pewartaan sabda, untuk meditasi/perenungan dan perayaan Ekaristi. Bahkan diluar perayaan liturgi, gedung harus merepresentasikan misteri iman dalam hubungannya dengan sabda Allah.

Perhatian istimewa harus diberikan pada ambo (mimbar sabda). Mimbar harus diletakkan di tempat yang jelas terlihat dimana fokus umat secara natural akan mengarah selama perayaan liturgi sabda. Mimbar harus permanen, dihias seiras dengan altar, supaya terlihat secara jelas hubungan teologis dua meja (altar), sabda dan Ekaristi.

Bacaan-bacaan Kitab Suci, Mazmur dan Exultet harus dibawakan dari mimbar, dan dapat juga digunakan untuk homili dan doa umat.

Para bapa sinode juga menganjurkan bawha dalam gereja, ada tempat terhormat untuk Sabda Allah, bahkan di luar perayaan liturgis, tanpa mengesampingkan tempat sentral yang layak bagi tabernakel tempat disemayamkannya Sakramen Mahakudus.


Rekomendasi kelima, hanya sabda Allah saja yang diwartakan dalam Liturgi.


Para bapa sinode juga menggarisbawahi kembali apa yang sudah dinyatakan dalam hukum liturgi: bahwa bacaan dari Kitab Suci tidak pernah boleh diganti oleh bacaan lain, bahkan jika teks lain tersebut secara spiritual dan pastoral bermanfaat.

Harus senantiasa diingat dan diperhatikan bahwa Mazmur Tanggapan adalah juga sabda Allah dan karenanya tidak boleh diganti oleh teks lain. Adalah selayaknya bahwa Mazmur Tanggapan dinyanyikan.


Rekomendasi keenam menyangkut musik liturgis yang diilhami Kitab Suci

"Untuk menekankan sabda Allah dalam liturgi, perhatian harus diberikan terhadap penggunaan lagu pada saat yang diberikan sesuai ritus partikular. Lagu utamanya dipilih yang memiliki inspirasi biblis dan yang mengekspresikan, melalui harmoni musik dan nada, keindahan sabda Allah. Sebagian besar lagu yang diwariskan tradisi Gereja memenuhi kriteria ini. Saya secara khusus memaksudkan pentingnya lagu Gregorian."

Rekomendasi ketujuh, perhatian bagi mereka yang cacat.

Terutama bagi mereka yang tidak bisa mendengar dan melihat, perhatian harus diberikan bagi mereka supaya mereka dapat berjumpa dengan sabda Allah.

Jumat, 05 November 2010

My Liturgical Journey

Apa yang saya dapat tentang liturgi, langung maupun tak langung berasal dari Pembaruan Hidup dalam Roh, yang kerap dikenal sebagai "pembaruan karismatik."
Persinggungan dengan gerakan ini mengisi kekosongan hidup rohani yang saya alami, dan saya akan selalu bersyukur karenanya.
Pembaruan hidup dalam Roh membawa saya pada formasi kehidupan rohani, devosi, Adorasi, Firman, dan Ekaristi.

Dan menariknya, membawa saya pada kecintaan terhadap liturgi.
Saya katakan menarik karena ada 2 sikap yang saya cermati ada dalam fenomena pembaruan hidup dalam Roh ini:
Yang pertama dan lebih kerap saya jumpai adalah orang-orang yang dinamis, menggebu-gebu, memiliki passion dan semangat, dan tulus berusaha menghidupi kehidupan rohani dengan serius.
Mereka dengan tulus berusaha membawa Allah kepada banyak orang.

Mereka menemukan sesuatu yang sama sekali baru dan segar secara spiritual, dibandingkan pengalaman rohani mereka sebelumnya.

Namun, seringkali mereka memandang pengalaman mereka sebelumnya sebagai sesuatu yang kaku, kering, bosan, "tidak ada urapan". Termasuk juga pengalaman dan pemahaman mereka akan liturgi Gereja.

Tergabung dalam kelompok ini adalah mereka yang memang tidak punya formasi liturgis, tetapi setidaknya tidak memandang kata liturgi seradikal sebuah penjara.

Untuk itu mereka mengusahakan suatu solusi.
Apa yang menyentuh mereka, sukacita dan kegembiraan mereka, hendak mereka refleksikan juga dalam penghayatan hidup liturgis mereka.

Mereka membawa pengalaman spiritual mereka, ke dalam liturgi. Lagu-lagu yang menyentuh mereka, ekspresi bebas yang mereka temukan, spontanitas yang mengalir dari hati.

Terjadi pertentangan antara yang 'sesuai aturan', yang dicap kaku, dengan yang 'bebas' yang diartikan sebagai membawa segala inovasi ke dalam liturgi, sering kali terjadi pembongkaran liturgi secara sepihak. Imam yang menggubah Doa Syukur Agung sendiri, atau umat yang hanya mau berpartisipasi dalam Ekaristi "karismatik," sebagai contoh ekstrimnya.

Kalau ini terdengar tidak asing, mungkin karena ini merefleksikan pengalaman pribadi rekan-rekan sendiri. Dan saya pun pernah memposisikan diri seperti ini.


Namun dalam kehidupan menggereja, saya menemukan orang dan kelompok yang punya pemahaman lain.
Beberapa adalah tokoh penting dalam pembaruan hidup dalam Roh, seperti Suster Briege McKenna, dan Romo Raniero Cantalamessa. Mereka bisa dibilang leader, tetapi menghidupi pembaruan hidup dalam Roh dengan cara berbeda.
Tampak luar konservatif, tetapi tidak ada yang meragukan bahwa mereka digunakan Allah secara efektif dan pendoa yang handal.

Juga persinggungan dengan kelompok-kelompok lain dalam Gereja, seperti misalnya Komunitas Emmanuel, membuka wawasan yang lebih luas tentang apa itu gerakan pembaruan hidup dalam Roh. Kelompok ini tidak memiliki 'warna' menggebu-gebu umumnya terbersit kalau kita mendengar "Karismatik", melainkan membawa warna kontemplatif. Untuk beberapa saat saya kerap mengikuti Adorasi yang diselenggarakan rutin oleh Komunitas Emmanuel.

Mendengarkan dan membaca juga menambah wawasan, bahwa pembaruan hidup dalam Roh tidak identik dengan kemasan luar tertentu. Seseorang dan suatu kelompok bisa sangat aktif dalam hidup baru tetapi tidak mengadopsi ekspresi yang biasa dijumpai dalam jemaat Pentakostal.
Perjumpaan dengan statuta ICCRS (International Catholic Charismatic Renewal Services), yaitu lembaga tingkat dunia yang memayungi dan menjadi kelompok-kelompok dan organisasi-organisasi Karismatik Katolik sedunia, membawa visi dan misi pembaruan hidup dalam Roh ke arah yang berbeda dari yang umumnya ditangkap umat kebanyakan.

Ditambah perkenalan saya dengan Ibadat Harian (Brevir) dan Pedoman Umum Ibadat Harian, yang bukan saja mengungkapkan tata-cara tetapi juga landasan teologis doa liturgi ini, menjadi pemicu pasti perkenalan saya dengan kekayaan liturgi Gereja Katolik. Dengan segera Ibadat Harian menjadi bagian dari kehidupan doa saya.

Api semakin dikobarkan oleh tulisan-tulisan yang saya baca dari penulis populer seperti Scott Hahn dan Kardinal Ratzinger (yang sekarang dikenal sebagai Paus Benediktus XVI). Dari Scott Hahn pula pertama kali awal perkenalan saya dengan istilah Teology of the Body, sekitar tahun 2004. Tulisannya tentang makna Covenant (perjanjian) dalam sejarah keselamatan dan sakramen sangat berkaitan langsung dengan perayaan liturgi Gereja.

Tulisannya yang berhubungan dengan studi Kitab Suci juga menekankan makna alegori Kitab Suci, bagaimana sejarah dalam Perjanjian Lama terkuak dalam Perjanjian Baru dan dihidupi kembali dalam perayaan sakramen-sakramen, yang adalah perayaan liturgi.

Semua semakin menarik ketika saya berjumpa dengan blog New Liturgical Movement, dan banyaknya interaksi saya dengan umat Gereja Katolik Timur lewat forum Katolik Byzantin.

Dari semua itu saya semakin disadarkan tentang keunikan liturgi Romawi, karakteristiknya, dan simbol-simbol yang ada di dalamnya.
Teks-teks liturgi, dan banyaknya kutipan Kitab Suci yang membentuk liturgi Romawi, menegaskan cara Gereja membaca Kitab Suci dan mengaktualisasikannya dalam liturgi. Dan bahwa dalam liturgi, kita tidak pernah menjadi penonton pasif, melainkan seorang partisipan aktif yang melaksanakan imamat rajawi kita bersama dan dalam Kristus, dalam ibadah raya bersama Gereja di surga dan di bumi.

Jika simbol sekedar simbol, struktur dan rubik sekedar struktur, maka mengganti semua itu supaya lebih aktual sangat masuk akal. Tetapi, kalau semuanya itu secara hati-hati dipertahankan dalam liturgi dan mengaktualkan Firman dalam aksi, maka mengganti semuanya itu demi selera dan penafsiran pribadi adalah gegabah. Apalagi kalau kita tak pernah menyediakan cukup waktu untuk mempelajarinya. Betapa kita selama ini baru mengenal kedalaman liturgi secara dangkal!
Tidak heran orang seperti Scott Hahn bisa begitu excited ketika ikut ambil bagian dalam Misa pertama kali! Kedekatannya dengan Kitab Suci membuatnya ambil bagian dalam Misa seolah menemukan mutiara yang sangat berharga.

Ternyata, saya tidak sendirian.
Ada teman-teman komunitas yang juga sampai pada pemahaman yang sama dan punya kerinduan yang sama. Anak muda yang menghabiskan waktu lama diskusi tentang liturgi sungguh salah satu keajaiban dunia. Bahkan dari kacamata teman-teman di komunitas pada umumnya.

Ada banyak juga komunitas-komunitas tradisional yang didirikan oleh orang-orang yang pernah bersentuhan dengan pembaruan hidup dalam Roh.

Perjumpaan dengan tulisan-tulisan Kardinal Suenens tentang awal gerakan Karismatik Katolik (Malines Documents - studi pertanggungjawaban tentang Karismatik Katolik pada awal mula munculnya, yang dilaporkan beliau kepada Paus Paulus VI dan Yohanes Paulus II dan Kardinal Ratzinger) semakin memperjelas visi misi pembaruan hidup dalam Roh yang dikehendaki Gereja.
Betapa mereka yang menyebut diri Karismatik harus membacanya!

Visi Gereja akan pembaruan liturgi, dan tulisan-tulisan para Paus (Yohanes Paulus II, Benediktus XVI) yang menekankan kesetiaan terhadap liturgi dan memerangi abuse, sebagai kunci pembaruan hidup Gereja di zaman kita bagi saya terdengar jelas sebagai karya dan arahan yang sama yang diberikan oleh Roh Kudus bagi pembaruan Karismatik.
Keduanya pasti sejalan, keduanya, pasti selaras.
Dan jika selaras, mungkin, dan saya menyakininya, gerakan pembaruan hidup dalam Roh akan lebih powerful ketika menghidupi liturgi Gereja dengan setia. Tetapi kelalaian dan inovasi di nadi kehidupan Gereja ini, walau berasal dari maksud dan niat yang baik, malah akan melemahkan, membawa disintegrasi, kekeringan, kekacauan dan menjauhkan kita dari visi dan misi otentik pembaruan.

Dari sini jelas, perjalanan saya di ranah liturgi, berawal dan berasal, dari pembaruan hidup dalam Roh dan masih digerakkan olehnya.

Rabu, 03 November 2010

Introit (Antifon Pembukaan)

Introit (nyanyian liturgi yang membuka perayaan Ekaristi) dan Antifon Pembukaan (teks liturgi yang dibacakan oleh umat/imam jika tidak ada nyanyian pembukaan, sebagian besar teks Antifon Pembukaan identik dengan ulangan Introit), adalah teks liturgi yang biasanya diambil dari Kitab Suci.

Introit ini menarik karena sering kali merupakan ringkasan atau tema dari seluruh perayaan Ekaristi hari itu.
Utamanya untuk perayaan hari Minggu, ada juga kebiasaan menyebut perayaan hari tersebut sesuai dengan kata pertama Introit yang dinyanyikan hari itu.

Misalnya, Minggu Adven III biasa disebut juga Hari Minggu Gaudete, sesuai dengan Introit hari itu: "Gaudete in Domino semper: iterum dico gaudete: modestia vestra nota sit omnibus hominibus: Dominus prope est. Nihil soliciti sitis: sed in omni oratione petitiones vestrae innotescant apud Deum."
Yang artinya, "Bersukacitalah senantiasa dalam Tuhan! Sekali lagi kukatakan: Bersukacitalah! Hendaklah kebaikan hatimu diketahui semua orang. Tuhan sudah dekat! Janganlah hendaknya kamu kuatir tentang apapun juga, tetapi nyatakanlah dalam segala hal keinginanmu kepada Allah dalam doa dan permohonan."
Teks ini diambil dari Surat Rasul Paulus kepada jemaat di Filipi 4:4-6.

Minggu Prapaskah IV biasa disebut juga Hari Minggu Laetare, sekali lagi sesuai dengan kata pertama Introit hari itu: "Laetare Ierusalem: et conventum facite omnes qui diligitis eam: gaudete cum laetitia, qui in tristitia fuistis: ut exultetis, et satiemini ab uberibus consolationis vestrae."
Yang artinya, "Bersukacitalah bersama-sama Yerusalem, dan bersorak-soraklah karenanya, hai semua orang yang mencintainya! Bergiranglah bersama-sama dia segirang-girangnya, hai semua orang yang berkabung karenanya! Bersuka dan segarkanlah dirimu dengan penghiburan yang mengalir dari dadanya yang bernas."
Yang merupakan teks dari nubuat Yesaya 66:10-11.

Adalah karakteristik Misa Romawi bahwa teks-teks Liturginya padat dan singkat, dipenuhi kutipan-kutipan Kitab Suci  yang menunjuk kepada Kristus dan peristiwa di sekitar Kristus.

Ini sesuai dengan adage Kitab Suci yang dinyatakan Gereja, bahwa Perjanjian Baru tersembunyi dalam Perjanjian Lama, dan Perjanjian Lama menjadi jelas dalam Perjanjian Baru.

Maka itu, mulai dari awal dimulainya Misa, kita sudah diajak Gereja untuk merenungkan Firman Tuhan. Kalimat singkat dari Kitab Suci hendak dibuka dan pemenuhannya akan terjadi dalam Ekaristi, yaitu dalam diri Kristus dan Gereja-Nya.
Tidak heran bahwa karakteristik Misa Romawi yang kedua adalah keheningan dan solemnitas, suasana meditatif yang diperlukan untuk mencerna dan menyerap Firman Allah dan seluruh aksi Liturgi yang terjadi.

Tentu saja, kemampuan untuk menyerap Liturgi seperti ini perlu dilatih dan diajarkan. Dan yang kedua, mengasumsikan kedekatan kita akan Kitab Suci. Mereka yang terbiasa bergaul dengan Kitab Suci akan menemukan bahwa Misa adalah Kitab Suci dalam aksi, dan sepenuhnya tentang Kristus dan adalah tindakan Kristus.

Tetapi kita punya banyak waktu untuk berlatih, minimal setiap hari Minggu kita merayakan Ekaristi.

Banyak umat yang sekarang tidak mampu menimba kekayaan rohani dan rahmat yang begitu dalam dari perayaan Ekaristi, aksi dan teks Liturgi, namun menjalani Misa karena kewajiban. Sebagian menyerah untuk datang ke perayaan Ekaristi sama sekali karena tidak tahu apa yang tersedia di sana.

Selain itu, umat kurang memahami bahwa dalam Ekaristi mereka bukan penonton. Mentalitas hiburan bahwa mereka datang mengharapkan suatu performance atau hiburan, budaya sibuk dan instan, membuat umat kurang menghargai waktu hening yang sangat vital dalam kehidupan rohani.

Akibatnya, alih-alih membiarkan Liturgi mengajar dan menyirami kita dengan Firman Allah, kita memilih memasukkan dalam Liturgi apa yang kita rasa menyentuh, menyenangkan, dan menjawab selera kita.

Mungkin memasukkan apa yang menarik umat ada gunanya sebagai awal katakese untuk mengajar umat spiritualitas Liturgi yang sejati. Tetapi jika berusaha menarik demi menarik itu sendiri menjadi tujuan, kita akan selalu berhadapan dengan kekeringan rohani dan eksperimentasi terhadap Liturgi demi menjadi menarik. Namun akhirnya umat akan selalu pergi, jajan, ke tempat lain yang diarasa lebih menarik, lebih menyediakan hiburan atau menjawab selera mereka.

Umat perlu diajarkan dan dibiasakan "mendengarkan" Liturgi menyampaikan dirinya secara penuh. Dan menimba dari dalamnya kekayaan spiritual yang selama ini tidak pernah secara penuh dihamparkan kepada mereka.
Ambil bagian dalam Liturgi membutuhkan sikap batin yang sama dengan sikap batin yang diperlukan untuk membaca Firman Allah, suatu Lectio Divina dalam aksi. Firman ini begitu hidup, memuncak pada momen dimana akhirnya apa yang sudah kita dengar dan renungkan, kita amini, sekarang menjelma dihadapan kita sendiri dalam rupa Roti dan Anggur, yang kita pegang, santap, dan satukan dengan diri kita sendiri.

Di sini, Gereja menyediakan Offertorium (nyanyian persembahan) dan Communio (nyanyian komuni). Tetapi biarlah akan kita bicarakan dalam tulisan yang terpisah.

Lagu dalam Liturgi

Mungkin bagi yang ikut Retret Destination Confirmed 2010 kemarin, ada yang terkejut ketika mendengar Antifon Komuni dinyanyikan.
Ada juga yang menanyakan, apa sih itu? Apa bedanya dengan lagu yang biasa dinyanyikan saat Misa?

Mungkin agak mengejutkan tetapi karakteristik Liturgi Ekaristi Romawi sangat minim madah/lagu, tetapi kaya akan kutipan Mazmur yang dinyanyikan berwujud ulangan dan ayat.

Seperti juga doa pembukaan, doa persiapan persembahan dan doa penutup yang sudah baku untuk tiap hari sepanjang tahun, demikian juga sebenarnya nyanyian liturgis dalam Misa.

Untuk tiap hari, sudah dirumuskan teks nyanyian yang berupa kutipan Kitab Suci, yang sangat berkaitan dengan bacaan hari itu, yaitu: Introit (pembukaan), Graduale (antifon tanggapan) yang sepadan dengan Mazmur Tanggapan, Bait Pengantar Injil, Sekwensia (untuk hari raya tertentu), Offertorium (persiapan persembahan), dan Communio (komuni).

Dari kalimat pertama Introit, biasanya kita menamai Misa dalam tahun Liturgi. Misalnya, Minggu Gaudete pada Minggu III Adven, diambil dari kalimat pertama Introit Minggu III Adven: "Gaudete in Domino semper: iterum dico, gaudete...", yang artinya: Bersukacitalah selalu dalam Tuhan, kukatakan sekali lagi bersukacitalah. Yang merupakan teks dari Filipi 4:4-5.

Pada pelaksanaan Misa extraordinaria, yang juga dirayakan oleh Gereja disamping Misa Paus Paulus VI yang biasa dirayakan dan kita kenal, bagian-bagian ini tidak boleh dilewatkan imam dan harus didoakan imam selain dinyanyikan umat/koor.

Nyanyian Liturgi sepanjang tahun ini diterbitkan sebagai buku yang disebut Graduale Romanum.
Namun karena sering kali ditemukan nada-nada kompleks yang sulit dinyanyikan koor/jemaat yang tidak punya paduan suara yang baik, diterbitkan juga Graduale Simplex, yaitu Nyanyian Gradual sederhana yang dapat dipakai sepanjang tahun.

Jika tidak dinyanyikan, untuk tiap perayaan Misa ada yang disebut Antifon (Pembukaan-Komuni), yang menurut ketentuan dibacakan oleh umat/imam. Karena teksnya untuk dibacakan, bisa sedikit berbeda dengan teks dari Graduale Romanum, namun umumnya teksnya sama. Misalnya, untuk Hari Raya Kristus Raja, baik Introit maupun Antifon Pembukaan diambil dari Why 5:12,1:6.

Lalu, mengapa sekarang sepertinya umat bahkan tidak tahu bahwa normatifnya nyanyian dalam Misa sebenarnya bagian dari Teks Liturgi yang sudah ditentukan?
Malahan timbul salah kaprah bahwa bagian-bagian dalam Misa yang biasa diisi lagu, merupakan selingan yang bisa diganti atau dipilih lagu sesuka hati. Misa perkawinan misalnya.

Ada beberapa sebab:
1. Terjadinya pengembangan Leksionari, yang tadinya berulang setiap setahun, menjadi 3 tahun (Tahun A, B, C). Ini diterbitkan lebih dulu selagi Graduale Romanum diekspansi menjadi masa liturgi 3 tahun. Akibatnya timbul kekosongan.
2. Undangan bagi para musisi untuk menelurkan lagu-lagu baru, ditambah panggilan untuk inkulturasi.
3. Kekacauan interpretasi untuk keterbukaan terhadap dunia atas nama "Semangat Konsili Vatikan II."
4. Penggunaan bahasa setempat.
5. Provisio dalam Pedoman Umum Misale Romawi, yang mengatakan:

....Nyanyian tersebut dapat berupa mazmur dengan antifonnya yang di ambil dari Graduale Romanum atau dari Graduale Simplex. Tetapi boleh juga digunakan nyanyian lain yang sesuai dengan sifat perayaan, sifat pesta, dan suasana masa liturgi, asal teksnya disahkan oleh Konferensi Uskup. (Pedoman Umum Misale Romawi 48)

Provisio lagu lain ini utamanya ditujukan bagi Konferensi Waligereja untuk melakukan penterjemahan dan inkulturasi Graduale, dan memacu para pemusik untuk menghasilkan karya lagu liturgis, yang itupun harus disahkan oleh Konferensi Waligereja setempat untuk menjamin teks dan nada, sesuai dengan kaidah Liturgi.

Dalam kekosongan teks Graduale dalam bahasa lokal, bahasa Latin ditinggalkan sama sekali demi bahasa setempat (walaupun Pedoman Umum Misale Romawi mengatakan bahwa Nyanyian Gregorian dan bahasa Latin menempati tempat terhormat dan umat dihimbau untuk tidak sama sekali buta terhadap teks Latin yang umum), dan semangat menggebu-gebu untuk usaha inkulturisasi, kekosongan ini diisi oleh lagu-lagu yang awalnya eksperimentatif, tapi kemudian menjadi permanen karena kebiasaan. Sementara itu, Graduale tidak pernah diterjemahkan. Di Indonesia, yang sukses diinkulturisasikan barulah Mazmur Tanggapan.

Dari sini timbul pemikiran bahwa semua lagu boleh digunakan.
Di sini perlu diperhatikan bahwa tidak semua lagu rohani adalah lagu Liturgis.
Mudahnya, nyanyian/lagu Liturgis adalah doa-doa Liturgi/Ibadat yang dinyanyikan, dan mengindahkan peraturan-peraturan menurut Tradisi dan Tertib Gerejawi.
Lagu liturgis adalah lagu rohani yang khusus. Dan adalah tugas Konferensi Waligereja untuk memastikan bahwa hanya lagu dan teks liturgis yang diperbolehkan untuk perayaan Liturgi.

Namun kecenderungan umat sekarang ini, adalah memasukkan lagu-lagu rohani apapun, bahkan lagu-lagu non-rohani ke dalam perayaan Liturgi. Padahal ini secara langsung bertentangan dengan tertib Gerejani (lihat Konstitusi tentang Musik di dalam Liturgi, Musicam Sacram).

Atas berbagai pertimbangan ini, saya mengusahakan untuk menggunakan kesempatan diberi tanggung jawab membantu jalannya perayaan Ekaristi dengan berusaha menggunakan pilihan lagu liturgis yang ada, dan menggunakan teks dari Antifon yang diseting ke dalam nada Mazmur dari Graduale Romanum (menggunakan nada yang lebih sederhana).

Penggunaan lagu-lagu yang biasa digunakan dalam Persekutuan Doa, saya batasi di luar perayaan Ekaristi (sebagai conditioning sebelum Misa dan pada akhir Misa). Penggunaan dalam Ekaristi sendiri saya batasi sebagai pilihan terakhir, itupun saya batasi lagi dari buku Kidung Syukur yang setidaknya mendapat persetujuan eksperimental dari KAJ.

Bukannya saya anti dengan lagu-lagu rohani populer, tetapi saya berusaha bertanggungjawab menempatkannya di tempat yang tepat berbekal informasi yang saya miliki.

Yang kedua karena saya melihat adanya potensi bahwa ini bisa dilakukan, baik oleh para singer dan pemusik, dan dukungan dari Romo Deshi dan Riko.

Semoga perayaan Ekaristi yang kita rayakan, justru menjadi sekolah yang membentuk kita, dan membuat kita lebih peka mendengarkan Firman Tuhan lewat Nyanyian Liturgis yang hampir semuanya adalah kutipan-kutipan Kitab Suci yang dinyanyikan.

Selasa, 12 Oktober 2010

Liturgi, Ekaristi dan Evangelisasi

Artikel ini dibawakan oleh Uskup Agung Chaput pada Liturgical Institute of the University of St. Mary of the Lake, Chicago, IL pada tanggal 24 Juni 2010.
Saya membuat sedikit modifikasi ketika melakukan penterjemahan. Sambutan awal beliau saya potong. Beberapa kalimat dan paragraf saya potong supaya bisa saya strukturisasi seperti yang saya buat.

Terjemahan ini adalah terjemahan bebas dan tidak dimaksudkan sebagai terjemahan resmi.
Bagi yang tertarik silahkan membaca artikel aslinya (dalam bahasa Inggris) di link berikut ini:

Apa yang dibawakan oleh Uskup Agung Chaput berkisar dari tulisan seorang teolog Jerman pada masanya, Rm. Romano Guardini, pengarang karya yang sekarang menjadi literatur klasik, The Spirit of the Liturgy dalam konferensi Liturgis, 1964:

Bukankah aksi liturgi (liturgical act), termasuk semua hal yang disebut 'liturgi', memiliki ikatan begitu erat dengan latar belakang historis – apakah itu antik, abad pertengahan, atau barok – sehingga lebih jujur jika kita meninggalkannya sama sekali? Tidakkah lebih baik jika kita mengakui bahwa manusia di zaman industri dan sains sekarang ini, dengan struktur sosiologinya yang baru, tidak lagi mampu akan aksi liturgi?”[1]

Apa yang dimaksud dengan aksi liturgi?
Apa yang dimaksud Guardini dengan aksi liturgi adalah transformasi doa dan kesalehan pribadi menjadi bentuk penyembahan korporat yang otentik, leitourgia, ibadah publik yang dipersembahkan Gereja kepada Allah. Beliau menyadari bahwa doa korporat Gereja sangat berbeda dari doa pribadi seorang beriman.

Aksi liturgi membutuhkan suatu kesadaran yang baru, “kesiapan menghadap Tuhan,” penyadaran ke dalam akan kesatuan seluruh pribadi, tubuh dan roh, dengan tubuh spiritual Gereja, yang hadir di surga dan bumi. Aksi liturgi juga membutuhkan apresiasi akan tanda-tanda suci dan gerakan dalam Misa – berdiri, berlutut, menyanyi dan sebagainya – pada dasarnya adalah “doa.”

Lalu bagaimana dengan manusia modern?
Guardini percaya bahwa jiwa dunia modern memandang rendah apa yang memampukan kesadaran liturgis. Iman dan penyembahan tidak hadir dalam vakum. Kita sedikit banyak adalah produk dari budaya kita. Bingkai yang kita pakai untuk memberi makna, persepsi kita akan realitas, dibentuk oleh budaya dimana kita hidup – entah kita menyukainya atau tidak.

Dalam konteks Amerika modern, kita hidup dalam masyarakat yang prinsip utamanya adalah kemajuan teknologi, yang dipahami dalam bahasa sains dan materialistik yang sempit. Budaya kita didominasi asumsi sains dan materialistik. Kita memutuskan apa yang 'benar' dan apa yang 'nyata' berdasarkan apa yang bisa kita lihat, sentuh dan verifikasi melalui riset dan eksperimen.

Dalam budaya demikian, apakah pandangan Katolik yang tradisional bahwa manusia diciptakan menurut gambar dan rupa Allah yang tidak kelihatan masih memiliki makna? Bahwa seorang pribadi adalah ciptaan yang terdiri dari tubuh dan roh, dipenuhi dengan “Roh yang menjadikan kita anak”[2] melalui liturgi dan sakramen-sakramen?
 

Kenyataannya, hampir tidak ada yang kita percaya sebagai orang Katolik diafirmasi oleh budaya kita. Bahkan makna kata “manusia” dan “orang” menjadi bahan perdebatan. Dan pandangan Katolik yang lain secara agresif ditolak atau tidak dihiraukan.

Pertanyaannya menjadi: Apa implikasi dari semua ini dengan ibadah kita – dimana kita memaklumkan bahwa kita terhubung tubuh dan roh dengan realitas spiritual, bernyanyi bersama para malaikat dan para kudus di surga, menerima secara nyata Tubuh dan Darah Tuhan kita yang telah mati dan sekarang bangkit dan hadir di atas altar?

Ada datum berikutnya: dalam kehidupan harian kita dikepung oleh monumen kekuasaan kita atas alam dan kebutuhan. Piala otonomi dan kemandirian diri kita ada dimana-mana – bangunan, mesin, obat-obatan, penemuan. Semua seolah memperlihatkan kapasitas kita untuk memenuhi segala kebutuhan kita sendiri melalui pengetahuan dan teknologi.

Sekali lagi, pertanyaannya menjadi: Bagaimana semua ini mempengaruhi inti dari ibadat kita – bahwa kita adalah makhluk yang bergantung pada Pencipta kita, dan bahwa kita berhutang syukur kepada Allah atas segala anugerah yang baik, dimulai dari anugerah kehidupan?

Kita bisa menanyakan hal yang sama mengenai misi evangelisasi kita. Kita memberitakan kabar baik bahwa dunia ini mempunyai seorang Penyelamat yang dapat membebaskan kita dari belenggu dosa dan kematian. Apa makna kabar baik kita dalam dunia dimana orang tidak lagi percaya akan dosa atau tidak merasa butuh diselamatkan dari sesuatu? Apa makna janji kemenangan atas kematian bagi orang yang tidak percaya akan adanya kenyataan di luar dunia yang kelihatan?

Apakah Guardini benar? Apakah manusia modern tidak memiliki kapasitas untuk ibadah yang sejati? Saya rasa demikian. Namun pertanyaan yang lebih penting bagi kita adalah ini: Jika beliau benar, apa yang harus kita lakukan?

Salah satu dari sedikit orang yang berkutat dengan masalah yang diangkat Guardini adalah seorang imam dari Chicago yang telah memberi kontribusi penting bagi pembaruan intelektual dan liturgis bagi Gereja, Rm. Robert Barron.

Barron menyatakan demikian: “Yang harus dilakukan bukanlah membentuk liturgi menurut pendapat zaman, tetapi membiarkan liturgi untuk mengajukan pertanyaan dan membentuk pendapat zaman. Apakah manusia modern tidak memiliki kapasitas untuk aksi liturgi? Mungkin. Tetapi, ini tidak menjadi alasan untuk putus asa. Tujuan kita bukan untuk mengakomodasi liturgi untuk dunia, tetapi membiarkan liturgi menjadi dirinya sendiri – sebuah ikon transformasi dari ordo Allah.”

Menurut Barron, setelah Konsili Vatikan II, para liturgis Katolik professional memilih cara pertama, berusaha mengadaptasi liturgi sesuai tuntutan budaya modern. Saya sependapat dengan Barron. Dan saya hendak menambahkan bahwa waktu telah menunjukkan kalau usaha ini adalah jalan buntu. Mencoba membentuk liturgi supaya lebih “relevan” dan “dipahami” melalui inovasi tiada henti hanya mengakibatkan kebingunan dan memperdalam jurang antara umat beriman dan jiwa liturgi yang sejati.[3]


Jadi apa yang bisa dilakukan?
Tugas besar berikutnya dari pembaruan liturgi adalah untuk membentuk budaya Ekaristis yang otentik, untuk membangun sensibilitas sakramental dan liturgis yang memampukan umat Katolik menghadapi berhala dan pandangan budaya kita, dengan kepercayaan diri umat beriman yang menimba kehidupan dari misteri-misteri suci, yang melaluinya kita mempunyai persekutuan dengan Allah yang hidup.

Kita harus menemukan kembali cara-cara baru untuk masuk ke dalam misteri liturgi; untuk menyadari posisi sentral liturgi dalam rencana penyelamatan Allah; untuk sungguh-sungguh menghidupi hidup kita sebagai persembahan spiritual bagi Allah; dan untuk memeluk tanggungjawab kita untuk misi Gereja dengan spiritualitas Ekaristis yang baru.

Ada 4 hal yang hendak saya sampaikan:
  1. Kita perlu memulihkan kembali hubungan intrinsik dan tak terpisahkan antara liturgi dan evangelisasi. Liturgi adalah sumber misi Gereja dan sekaligus juga tujuan misi itu. Ini adalah ajaran Gereja dan praktek Gereja perdana. Dan juga afirmasi ulang oleh Konsili Vatikan II.
    Sacrosanctum Concillium mengatakan ini: “Liturgi adalah puncak yang kepadanya aktifitas Gereja diarahkan; pada saat yang sama liturgi adalah sumber dari mana kekuatan Gereja mengalir. Adalah menjadi tujuan semua kegiatan apostolik bahwa semua yang telah diangkat menjadi anak Allah melalui iman dan baptisan, harus datang bersama untuk memuji Allah ditengah-tengah Gereja-Nya, untuk ambil bagian dalam korban, dan untuk menyantap Perjamuan Tuhan.”[4]
    Ini adalah visi kehidupan yang indah, untuk hidup dari Ekaristi dan untuk Ekaristi. Ini harus menjadi fondasi tidak hanya bagi pemikiran kita tentang liturgi, tetapi untuk strategi pastoral kita juga. Tujuan kita melakukan evangelisasi adalah untuk membawa orang-orang ke dalam persekutuan dengan Allah yang hidup dalam liturgi Ekaristi. Dan pengalaman akan persekutuan dengan Allah ini pada gilirannya, mendorong kita untuk melakukan evangelisasi.
    Jadi yang pertama hendak saya sampaikan adalah kita tidak dapat melihat liturgi sebagai sesuatu yang terpisah dari misi kita. Ibadah kita kepada Allah dalam Misa dimaksudkan sebagai tindakan adorasi, penyarahan diri dan syukur. Juga berarti kita menerima dengan penuh cinta, panggilan kita sebagai murid. Itulah sebabnya mengapa liturgi Ekaristi berakhir dengan pesan misionaris – kita diutus, ditugaskan untuk membagi harta yang telah kita temukan dengan semua orang yang kita jumpai.
  1. Liturgi di dunia adalah antisipasi perayaan liturgi di surga, di mana kita menyembah dalam Roh dan kebenaran bersama dengan Gereja semesta dan persekutuan para kudus.[5]

    Ini mungkin merupakan dimensi liturgi yang sekarang ini paling terlupakan. Jika liturgi kita terasa biasa, terkotak-kotak secara sempit, atau terlalu terfokus pada komunitas dan kebutuhan kita sendiri; jika liturgi kita kekurangan rasa akan yang ilahi dan yang transenden, hal itu dikarenakan kita telah kehilangan pandangan kalau liturgi kita sesungguhnya merupakan partisipasi liturgi surgawi.

    Untuk memahami hal ini sedikit lebih baik lagi, kita harus ingat kisah bagaimana kekristenan sampai ke Rusia. Menurut kisah pada tahun 988, Pangeran Vladimir I dari Kiev mencari agama nasional bagi bangsanya. Beliau mengirim utusan ke negara-negara tetangga untuk melihat keutamaan-keutamaan agama Yahudi, Kristen dan Islam. Dalam perjalanan mereka mengumpulkan informasi, para utusan tersebut berkesempatan ambil bagian dalam perayaan Ekaristi di Gereja Agung Hagia Sofia di Konstantinopel.

    Mereka dipenuhi kekaguman. Mereka kembali pulang dan menyampaikan laporan: “Kami menjumpai orang-orang Yunani, dan kami dibawa ke tempat di mana mereka menyembah Allah mereka. Kami tidak tahu apakah kami ada di surga atau di bumi. Kami hanya tahu bahwa Allah tinggal di sana diantara manusia.”[6] Tidak lama setelah itu, Vladimir dibaptis dan menganjurkan orang-orang sebangsanya untuk dibaptis juga.

    Sumber kisah ini sangat kuno, dan banyak sejarawan sekarang berpendapat kisah tersebut tidak benar. Walau demikian, kisah itu menggarisbawahi dimensi kosmik dan misionaris dari liturgi.

    Ekaristi, sebagaimana dikisahkan utusan Pangeran dari Kiev tersebut alami, adalah liturgi kosmik yang menyatukan ibadah di surga dengan ibadah di bumi. Dalam Liturgi Ilahi, Kerajaan Allah terjadi di bumi sebagaimana di surga. Surga dan bumi dipenuhi kemuliaan Allah. Ini adalah iman kita, tetapi saya tidak tahu berapa banyak umat beriman yang sesungguhnya menghidupinya.

    Kita melihat liturgi surgawi dalam kitab Wahyu. Ingatlah bagaimana kitab Wahyu dimulai. Santo Yohanes “dikuasai Roh pada Hari Tuhan.” Dengan kata lain, ia sedang merayakan Ekaristi pada hari Minggu ketika ia menerima visi ibadah di surga dan di dunia yang akan datang.[7]

    Buku ini dipenuhi dengan penggambaran liturgis dan sakramental. Pada satu saat Yohanes melihat banyak orang yang tak terhitung banyaknya dari setiap suku, bahasa, bangsa dan negara menyembah dihadapan sang Domba Ekaristi. Puncak dari kitab Wahyu adalah datangnya “surga dan bumi yang baru” dan pernyataan: “Lihat, kediaman Allah ada diantara manusia.”

    Ada 2 hal yang hendak saya sampaikan di sini: Pertama, ibadah kita adalah ikon dari kenyataan surgawi, sebuah jendela yang melaluinya kita sekelebat melihat realitas dan tujuan hidup kita.
    Yang kedua, liturgi surgawi adalah kunci bagi universalitas misi Gereja. Dalam pandangan Gereja akan sejarah, rencana keselamatan Allah ditujukan untuk memuncak pada liturgi kosmik dimana semua ciptaan memuji dan memuliakan Allah, pencipta segalanya. Kita mencicipi penggenapan sejarah setiap kali kita merayakan liturgi di bumi.

    Kenyataan ini harus mengubah cara kita beribadah. Kenyataan ini harus menggerakkan kita dengan syukur bahwa Allah memberi kesempatan pada kita untuk bergabung dengan para malaikat dan para kudus yang menyembah di hadapan-Nya. Ini harus membuat kita mengusahakan liturgi yang penuh hormat dan indah, dan yang mengarahkan hati dan pikiran kita ke surga.

    Kenyataan ini juga harus mengubah cara pikir kita tentang kesaksian publik kita dalam budaya sekarang ini. Kita dipanggil untuk memberi kesaksian akan Yesus Kristus, untuk membuat ajarannya dikenal, untuk melawan segala yang melanggar kekudusan dan keadilan Allah. Dan kita harus memahami misi kita dalam terang rencana Allah yang lebih luas, yang dirancang sebelum dunia dijadikan.

    Tujuan terutama kesaksian kita adalah untuk mempersiapkan jalan bagi sebuah liturgi kosmis dimana semua manusia akan menyembah sang Pencipta. Karya kita ambil bagian dalam rencana penebusan ini, dimana Kristus terus menyatukan segala sesuatu, sampai hari itu ketika semua lutut di surga dan di bumi akan bertekuk menyembah, dan Allah menjadi “semua dalam segalanya”, sebagaimana dikatakan Santo Paulus.[8]
  1. Kita perlu berusaha untuk mengembalikan dan hidup dalam spiritualitas liturgis dan evangelis seperti umat Kristen perdana.
    Beberapa ide liturgis terburuk sejak Konsili Vatikan II telah dilandaskan pada pandangan romantis semata-mata mengenai apa yang dipercaya umat Kristen perdana dan bagaimana mereka beribadah. Salah satu pendapat misalnya, mengatakan bahwa Gereja perdana tidak memiliki tahbisan imamat dan bahwa Ekaristi dirayakan dengan sangat sedikit ritual, utamanya sebagai perjamuan yang dibagikan diantara sahabat.

    Saya tidak akan menghabiskan waktu di sini untuk mendebat pandangan itu. Yang jadi masalah dari pandangan rekonstruksi nostalgia-primitif semacam itu dapat diungkapkan dalam satu hal: Tidak ada seorangpun mau menanggung risiko disiksa dan dibunuh untuk sebuah perjamuan dengan teman-temannya. Dan penyiksaan dan kematian adalah hukuman yang sering dijatuhkan bagi mereka yang tertangkap merayakan Ekaristi pada masa Gereja perdana.

    Ada banyak kisah yang bisa kita angkat. Salah satu yang secara khusus menggerakkan hati saya berasal dari tahun 304, semasa penganiayaan besar yang dilakukan oleh Kaisar Diocletian. Sebuah jemaat di Abitina, sebuah desa dekat kota Kartago, dikepung. Kisah penyiksaan mereka, ditulis seorang saksi hanya beberapa tahun setelah kejadian, sangat mendetil dan brutal. Yang bersinar dari kisah itu adalah iman Ekaristis dari jemaat.

    Ketika diinterogasi mengapa dia melanggar perintah Kaisar, seorang lektor muda bernama Felix mengatakan ini: “Bagaimana mungkin seorang dapat menjadi Kristen tanpa Misa atau Misa dapat dirayakan tanpa seorang Kristen! … Umat Kristen ada melalui Misa dan Misa dalam umat Kristen! Yang satu tidak dapat ada tanpa yang lain. … Kami merayakan jemaat yang mulia. Kami berkumpul untuk membaca Kitab Suci Tuhan pada saat Misa.” [9]

    Kita melihat dalam pengakuan ini, tema yang sudah kita bicarakan sejauh ini. Misa bagi mereka ini bukan sekedar perjamuan. Misa adalah “jemaat yang mulia,” sebuah liturgi surgawi. Liturgi ini memberi mereka identitas sebagai seorang Kristen. Juga liturgi ini mendefinisikan identitas Gereja; sedemikian sehingga salah seorang martir yang bersama Felix dapat berseru: “Kami tidak dapat hidup tanpa Misa.”

    Ini adalah bentuk iman yang harus menginspirasi ibadah kita. Dan ini adalah bentuk iman yang harus diinspirasikan oleh ibadah kita. Dapatkah kita sungguh-sungguh berkata hari ini bahwa kita siap mati daripada tidak merayakan Misa?
    Liturgi hanya dapat menginspirasi kita jika kita menjadikannya jantung dari hari-hari kita. Dan itu adalah tugas bagi kita di yang hadir di ruangan ini. Batu penjuru dari budaya Ekaristis yang baru haruslah perayaan Ekaristi hari Minggu. Tidak ada tanda yang lebih besar yang menunjukkan pengaruh budaya kita terhadap Ekaristi daripada kenyataan bahwa kita tidak lagi melihat hari Minggu sebagai hari pertama kita dalam pekan, tetapi malah melihatnya sebagai hari terakhir dari “akhir pekan” kita.

    Yesus Kristus bangkit dari mati pada “hari pertama dalam pekan.[10] Itulah sebabnya umat Kristen perdana menguduskan hari Minggu sebagai “Paskah mingguan”, Hari Tuhan. Karena itu kita pun harus berbuat yang sama.

    Misa harus menjadi persembahan rohani yang kita buat memulai pekan kita, bukan sesuatu yang kita coba untuk “selipkan” diantara kegiatan santai kita sebelum kita kembali kerja pada hari Senin. Bahkan perubahan cara pandang yang kecil ini dapat memberikan dampak mendalam terhadap cara kita beribadah dan terhadap cara kita menghidupi iman kita di dunia.
  1. Yang terakhir yang hendak saya sampaikan adalah ini: Liturgi adalah sekolah cinta yang berkorban. Sebagaimana kita berdoa, demikian kita hidup. Lex orandi, lex vivendi. Kita hendak menjadi korban dari perayaan kita.
    Sangat kentara betapa banyak kisah para martir Kristen perdana – terutama kisah tentang para uskup dan imam – yang dikisahkan dapat apa yang bisa kita sebut sebagai “kunci Ekaristi.” Kisah yang klasik adalah kemartiran seorang uskup tua bernama Polikarpus. Seluruh kisah terpapar seolah sebuah liturgi. Polikarpus bahkan menyampaikan sebuah doa panjang yang dimodelkan dari Doa Syukur Agung.

    Akhirnya Polikarpus memohon, sekali lagi menggemakan Doa Syukur Agung: “Kiranya aku diterima pada hari ini … sebagai persembahan yang kaya dan berkenan kepada-Mu.” Kisah ini berlanjut dengan Polikarpus dipanggang hidup-hidup. Para saksi memberi kesaksian bahwa mereka mencium, bukan aroma daging terbakar, tetapi aroma roti yang dipanggang.[11]

    Contoh klasik lain adalah kisah Santo Ignatius dari Antiokia. Dalam penjara ketika ia menanti eksekusi dengan diumpankan hidup-hidup kepada anjing-anjing, ia menulis: “Aku adalah gandum Tuhan, dan dengan gigi binatang buas aku akan digiling sehingga aku dapat menjadi roti Kristus yang murni.”[12]

    Tetapi tidak hanya para martir yang harus melihat diri mereka sebagai korban Ekaristi. Anda dan saya juga harus melakukan yang sama. Demikian juga semua orang percaya yang telah dibaptis. Lagi dan lagi kita mendengar dalam Perjanjian Baru bahwa kita semua dipanggil untuk mempersembahkan diri kita kepada Allah sebagai persembahan pujian yang hidup, bahwa kita harus menjadikan diri kita persembahan yang murni, kudus dan berkenan kepada Allah.[13]
    Ini adalah batu fondasi iman Katolik akan imamat semua orang yang dibaptis. Jemaat Kristen perdana percaya mereka adalah pewaris panggilan yang diberikan pada Israel – untuk menjadi “bangsa terpilih, imamat rajawi, bangsa yang kudus.”[14] Melalui imamat hidup kita, semua orang beriman yang dibaptis harus mempersembahkan, bukan darah hewan korban, tetapi persembahan hati kita, simbol kehidupan kita, sebagaimana Yesus Kristus sendiri.

    Kita mempersembahkan korban pujian kita pertama dan terutama di dalam Ekaristi. Ini adalah makna dibalik panggilan Konsili Vatikan II untuk “partisipasi aktif” umat awam dalam liturgi.[15] Ekspresi ini sayangnya telah dijadikan lisensi untuk segala macam aktifitas eksternal, keributan dan kesibukan dalam ibadah kita. Bukan ini yang dimaksud oleh Konsili Vatikan II.

    Partisipasi aktif” menunjuk pada gerakan jiwa, partisipasi interior kita dalam tindakan Kristus mempersembahkan Tubuh dan Darah-Nya. Ini membutuhkan ruang tenang dan “perhentian” dalam ibadah kita, dimana kita dapat menyatukan emosi dan pikiran kita, dan membuat tindakan dedikasi diri yang dilakukan secara sadar. Kita harus “mengarahkan hati kepada Tuhan” dan dalam tobat dan kerendahan hati meletakkan hati kita di altar bersama dengan roti dan anggur.
    Tetapi karya kita tidak berhenti pada Misa.

    Semua dalam keseharian kita – pekerjaan kita, penderitaan kita, doa kita, pelayanan kita – semua yang kita lakukan dan alami dimaksudkan untuk dipersembahkan kepada Tuhan sebagai persembahan rohani. Semua karya kita untuk anak-anak yang belum lahir, mereka yang miskin dan yang cacat; semua karya kita untuk keadilan bagi para migran dan bagi martabat pernikahan dan keluarga; Semua itu harus dipersembahkan bagi pujian dan kemuliaan nama Tuhan dan bagi keselamatan saudara dan saudari kita.

    Ini adalah ajaran agung lain dari Konsili Vatikan II yang masih harus kita integrasikan dalam spiritualitas Katolik kita. Dalam
    Lumen Gentium, Konsili mengajar bahwa semua karya kita “dalam perayaan Ekaristi, bersama dengan persembahan Tubuh Tuhan, penuh khidmat dipersembahkan kepada Bapa. Demikianlah para awam pun juga sebagai penyembah Allah, yang dimana-mana hidup dengan suci, membaktikan dunia kepada Allah.”[16]

    Semua yang kita lakukan – dalam liturgi dan dalam hidup kita di dunia – dimaksudkan untuk mengkonsekrasikan dunia ini kepada Allah.

    Jadi teman-teman, inilah jawaban dari tantangan yang diajukan Guardini. Kalian adalah jawaban itu.

    Aksi liturgi menjadi mungkin bagi manusia modern ketika kalian
    menjadikan hidup kalian sebuah liturgi, ketika kalian menghidupi hidup kalian secara liturgis – sebagai persembahan syukur dan pujian bagi Allah atas anugerahdan keselamatan dari-Nya. Kalian adalah masa depan pembaruan liturgi.
    Aksi liturgi menjadi mungkin bagi manusia modern ketika kalian melihat hidup dan pekerjaan kalian dalam terang rencana Allah bagi dunia, dalam terang kehendak-Nya supaya semua laki-laki dan perempuan diselamatkan dan sampai pada pengetahuan akan kebenaran.[17]

    Misteri yang kita rayakan bersama para malaikat dan para kudus harus mengakar mendalam dalam hidup dan personalitas kita. Misteri ini harus berbuah. Setiap dari kita harus memberi kontribusi unik dalam rencana kasih Allah – supaya semua ciptaan menjadi penyembahan dan korban pujian bagi-Nya.


Rujukan:

[1] Robert Krieg, Romano Guardini: A Precursor of Vatican II (Notre Dame, 1997), 87-90. Terjemahan tidak resmi dari surat Guardini dapat dilihat di: http://www.jknirp.com/guardf.htm
[2] bdk. Roma 8:15
[3] Robert E. Barron, Bridging the Great Divide: Musings of a Post-Liberal, Post-Conservative Evangelical Catholic (Rowan & Littlefield, 2004), 66; cf. Chap. 5: “The Liturgical Act and the Church of the 21st Century.”
[4] Sacrosanctum Concillium 10
[5] bdk. Sacrosanctum Concillium 8, Lumen Gentium 50; Katekismus Gereja Katolik 1090, 1111, 1136, 1187, 1326, 2642
[6] The Rus Primary Chronicle (Cambridge: Mediaeval Academy, 1953); cf. Ratzinger, Pilgrim Fellowship of Faith (Ignatius, 2005), 90-91
[7] Wahyu 1:9
[8] 2 Petrus 3:13; Efesus 1:10, 23; 1 Korintus 15:28; 2 Korintus 5:19; Kolose 1:18, 20; Filipi 2:5-12
[9] Patrologia Latina, vol. 8, col. 696; kata Latin dominico kadang diterjemahkan sebagai “Hari Tuhan” atau “Perjamuan Tuhan.” Namun bentuk ini semacam slang, menunjuk “Misa”; bdk. Mike Aquilina, Fire of God's Love: 120 Reflections on the Eucharist (Servant, 2009), 13
[10] Markus 16:2, 9; Lukas 24:1; Yohanes 20:1
[11] Martyrdom of Polycarp, 9, dalam The Acts of the Christian Martyrs, trans. Herbert Musurillo (Clarendon, 1972)
[12] To the Romans, 4
[13] bdk. Roma 12:1; 1 Petrus 2:5; Ibrani 9:14; 13:15, 16
[14] bdk. 2 Petrus 2:9; Wahyu 1:6; Keluaran 19:4
[15] bdk. Sacrosanctum Concillium, 14 (Latin: actuosa participatio)
[16] Lumen Gentium 34
[17] bdk. 1 Timotius 2:4


ACKNOWLEDGEMENT
Charles J. Chaput, O.F.M. Cap. "Glorify God by your life: evangelization and the renewal of the liturgy." Hillenbrand Distinguished Lecture (June 24, 2010).
The Hillenbrand Distinguished Lecture was delivered by Archbishop Chaput at the Liturgical Institute of the University of St. Mary of the Lake, Chicago, IL on June 24, 2010
Reprinted with permission of Archbishop Charles J. Chaput, O.F.M. Cap.