Rabu, 26 Desember 2012

Is Christmas Over?


Pertama-tama, saya ucapkan selamat Hari Natal untuk para pembaca blog sekalian.

Sekarang, sebelum mulai membaca sekelumit refleksi yang mau saya bagikan, silahkan bersantai sejenak, menutup mata dan ingat-ingat kembali apa yang terjadi beberapa hari ini dalam rangka Natal.

Apa yang mengapung di dalam ingatan kita ketika melihat pengalaman Natal kita setelah tanggal 25 Desember?
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Apakah terasa seperti baru saja turun dari sebuah roller-coaster?
Puncak tertingginya baru saja terlewati dan sekarang mencapai anti klimaks, ketika pesta, kemeriahan, gegap-gempita dan excitement yang dirasakan mulai reda?

Apakah ada perasaan seperti pengelola sebuah Department Store yang menanti dengan penuh harap penjualan hiasan-hiasan Natal dengan harga diskon akan menghasilkan laba yang banyak, dan setelah tanggal 25 Desember menghela napas karena sudah saatnya membereskan semuanya itu ke gudang?

Jika iya, mungkin kita selama beberapa hari terakhir ini mulai terpisah dari kenyataan, "apa itu Natal?" dan "kenapa aku merayakan Natal?"



Bagi Gereja Katolik, Natal belum berakhir. Christmas is not over yet. Natal baru saja DIMULAI!

Kita baru saja memasuki hari pertama Natal. 
Misteri Natal yang dirayakan Gereja tidak habis pada saat kelahiran Yesus.
Kelahiran Yesus hanyalah pintu masuk ke dalam Misteri Natal yang kita rayakan.
Inkarnasi Sabda menjadi Daging adalah fondasi dasar, kerangka yang akan menyokong kita melihat, mendalami, mengenyam dan menelan apa yang diwartakan oleh iman kita.

Maka kalau kita sudah kehabisan napas setelah perayaan 25 Desember, mungkin tanda-tanda yang menunjukkan kita sudah kehilangan makna Natal dan terseret arus Natal Komersil.

The Stoning of Saint Stephen
Rembrandt (1625)
Hari ini, 26 Desember kita memasuki Oktaf Kelahiran Yesus (Hari Raya Natal dirayakan selama 8 hari sebagai satu hari raya), hari ini adalah Pesta Santo Stefanus, Martir Pertama.

Ketika kita merayakan Natal, dalam homili, di warta Gereja, di film-film, di siaran radio, bahkan iklan-iklan komersial mengusung pesan-pesan seperti: solidaritas, damai, sukacita, rekonsiliasi, kemiskinan, kerendahan hati, berbagi, dan sebagainya.

Semua itu sangat amat baik. Tetapi, jika cuma itu yang kita usung, itu menjadi tanda sangat amat jelas bahwa kita kehilangan makna Natal yang sesungguhnya.
Karena Natal bukan soal ideologi, walaupun baik dan indah sekalipun. Natal adalah soal seseorang!
Dunia mendukung dan memberi tempat bagi semua orang yang mau mengusung panji "damai," "kasih," "sukacita," "berbagi," "solider." Tetapi belum tentu bersedia memberi tempat bagi seorang pribadi, Yesus Kristus, yang menjadi sumber semua itu.

Kita semua dipanggil untuk memberi kesaksian akan seorang pribadi: Yesus Kristus, bukan menjadi birokrat yang mengusung ideologi. Kalau kita memberi kesaksian akan pribadi Yesus, barulah kita menjadi seorang martir (saksi) dalam arti yang sesungguhnya.

Hari ini, melangkah masuk melewati ambang pintu Natal, Gereja memperingati kematian seorang Martir, Pesta Santo Stefanus.
Hari berikutnya dalam Oktaf Natal kita memperingati Pesta Santo Yohanes Rasul, seorang saksi yang turut berada di bawah Salib Kristus bersama Bunda Maria.
Hari berikutnya dalam Oktaf Natal kita memperingati Pesta Kanak-kanak Suci, para martir kecil, kanak-kanak Betlehem yang dibunuh Herodes dalam usahanya membinasakan Kristus yang dianggap mengancam kekuasaannya.

Kita dipanggil untuk menjadi martir (saksi) akan seorang pribadi, Yesus Kristus, Sabda yang menjadi Daging dan siap sedia mempertanggungjawabkan kesaksian ini di muka dunia, sampai titik darah penghabisan.

Natal, saudara-saudari, baru saja dimulai!

Senin, 24 Desember 2012

Katekismus sepanjang Tahun Iman 5




Temans, bagaimana hari-hari bersama Katekismus?
Hari ke-59 (sejak 11 Oktober 2012), memasuki rangkaian misteri dosa dan kejahatan, Katekismus mengajarkan tentang para malaikat yang jatuh.

Menarik bahwa biasanya kalau bicara soal Setan, otak manusia biasa bergolak dan menggelora. Entah karena excitement, penasaran, atau takut.
Banyak detil-detil yang kita supply sendiri, entah dari mana datangnya. Apakah dari gosip, film, rumor, kepercayaan masyarakat...
Bahkan sering kali orang lebih tertarik pada misteri kegelapan daripada bicara soal terang.
Ekstrim lainnya, menganggap roh-roh yang jatuh ini sebagai tidak nyata, tidak ada.

Katekismus dalam mengajarkan tentang para malaikat yang jatuh ini sangatlah singkat. Hanya 5 paragraf pendek. Iman kita mengajarkan kebenaran keberadaan mereka, tapi tidak meletakkan mereka di luar proporsi.

Yang terpenting adalah menyadari bahwa mereka adalah ciptaan. Karena itu, "kekuasaan setan bukan tanpa batas. Ia hanya ciptaan belaka. Walaupun kuat, karena ia adalah roh murni, namun ia tetap saja makhluk: ia tidak dapat menghindarkan pembangunan Kerajaan Allah." (KGK 395)

Kalau mau jujur, dipengaruhi oleh film, cerita, kepercayaan-kepercayaan, secara tidak sadar orang Kristen sering kali menjadikan Setan "setara" dengan Allah. 
Seolah-olah dua kekuatan yang sejajar tapi saling berlawanan. Seolah-olah hitam dan putih yang seimbang dan saling berlawanan.
Renungkan sebentar... ketakutan-ketakuan kita terhadap roh-roh yang jatuh ini, apakah secara tidak sadar kita menempatkan mereka sebagai "setara" walaupun "berlawanan" dengan Allah?

Jika iya, kita secara tidak sadar "meninggikan" Setan lebih daripada posisi yang seharusnya dan secara tidak sadar menjadikannya ilah.

Dari strata ciptaan, mereka sejajar dengan malaikat-malaikat lain. Karena itu dalam tradisi Gereja melawankan setan dengan Mikael malaikat agung.

Dalam strata ciptaan, roh-roh yang jatuh ini berada di bawah persekutuan para kudus, anggota Tubuh Kristus, Gereja. "Tidak tahukah kamu, bahwa kita akan menghakimi malaikat-malaikat?" (1 Kor 6:3), demikian Paulus menulis. Mengapa? Bukan karena manusia hebat, tetapi karena Yesus Kristus yang menciptakan malaikat-malaikat yang akan menghakimi mereka. Dan kita, lewat pembaptisan menjadi anggota tubuh-Nya, kita disatukan dengan Kristus, dan Kristus yang utuh, kepala dan tubuh yang akan menghakimi para malaikat.

Dalam tradisi, roh-roh yang jatuh ini sangat dipermalukan dan tidak berdaya dihadapan Maria Sang Bunda Allah. Karena Maria adalah Ratu Para Malaikat. Maria adalah personifikasi seluruh Gereja. Dalam diri Maria buah-buah penebusan Kristus paling sempurna dihasilkan secara paling berlimpah. Dan karena kerendahannya ia ditinggikan Allah di atas para malaikat-malaikat.

Yang merendahkan roh-roh ini adalah Yesus sendiri, "Untuk inilah Anak Allah menyatakan diri-Nya, yaitu supaya la membinasakan perbuatan-perbuatan Iblis itu" (1 Yoh 3:8, KGK 394). Tetapi bukan karena Iblis sepadan dengan diri-Nya. Ia membinasakan perbuatan-perbuatan Iblis dengan menjadi manusia, supaya tersingkaplah kepada seluruh ciptaan tatanan yang sesungguhnya dijadikan Allah sejak pada mulanya. Dengan demikian tersingkaplah kebohongan-kebohongannya selama ini.

Ini bukan berarti sekarang kita petantang-petenteng sok jadi mandor. Kitab Suci sendiri mengatakan mereka adalah "'pembunuh sejak awal' (Yoh 8:44) dan yang malahan mencoba menyesatkan Yesus dari perutusan yang diterima-Nya dari Allah." (KGK 394)
Kita berhadapan dengan kekuatan dan bahaya yang sangat nyata.

Tetapi kita harus memeriksa diri juga, apakah pandangan kita selama ini sudah mengarah kepada Allah. Sebab sering kali tanpa sadar, kita meninggikan ciptaan setara dengan Allah. Sesuatu yang sangat menggembirakan si Jahat.

Kamis, 20 Desember 2012

Katekismus sepanjang Tahun Iman 4


Potongan Katekismus hari ke-56 menggemakan pengajaran awal dari Teologi Tubuh (Theology of the Body) dari Paus Yohanes Paulus II secara padat dan singkat, yaitu akan keadaan manusia "pada awalnya."

Penciptaan manusia sebagai pria dan wanita adalah "persamaan dan perbedaan yang dikehendaki Allah." (KGK 369)
Tidak bisa dipungkiri martabat manusia, laki-laki dan perempuan, adalah setara: "bermartabat sama 'menurut citra Allah.'"
Tetapi Gereja tidak malu-malu mengatakan bahwa persamaan martabat tidak berarti perbedaan peran harus dihilangkan. Masyarakat modern menolak mengakui adanya perbedaan tugas dan peran antara laki-laki dan perempuan. Bahkan secara ekstrim sampai berusaha menutup mata terhadap perbedaan peran yang secara biologis diukir oleh Allah.
Dengan dalih bahwa perbedaan laki-laki dan perempuan tidak lebih dari konstruksi yang diciptakan masyarakat, David Reimer (22 Agt 1965 - 5 Mei 2004) akibat kecelakaan medis dibesarkan sebagai perempuan. Pada akhirnya ia mengakhiri hidup dengan bunuh diri.

Katekismus melanjutkan, walaupun Allah adalah Roh dan karenanya bukan laki-laki maupun perempuan, tetapi secara sengaja Ia menciptakan manusia sebagai laki-laki dan perempuan supaya "dalam 'kesempurnaan-kesempurnaan' pria dan wanita tercermin sesuatu dari kesempurnaan Allah yang tidak terbatas: ciri khas seorang ibu dan ciri khas seorang ayah dan suami." (KGK 370)

Katekismus hari ini juga menggemakan tema yang berisi pesan "Single 100% Happy." Sangat berbeda dengan lagu tema sinetron yang setiap hari gak habisnya dinyanyikan semua pengamen di bus kota di Jakarta: "karena separuh aku, dirimu."
Manusia yang hanya setengah penuh, akan senantiasa berusaha mengambil kepenuhannya dari orang lain. Tetapi 2 gelas setengah penuh yang disatukan hanya akan jadi satu gelas besar yang tetap setengah penuh. Allah menciptakan "manusia asali" untuk menjadi pribadi yang penuh, dan karena kepenuhan itulah mereka bisa saling menjadi penolong satu dengan yang lain:
"Pria dan wanita diciptakan 'satu untuk yang lain', bukan seakan-akan Allah membuat mereka sebagai manusia setengah-setengah dan tidak lengkap, melainkan la menciptakan mereka untuk satu persekutuan pribadi, sehingga kedua orang itu dapat menjadi 'penolong' satu untuk yang lain." (KGK 372)

Kepenuhan ini dikehendaki Allah, kepenuhan ini berakar dan bersumber dari persahabatan sejati antara Allah dan manusia.
"Manusia pertama diciptakan sebagai makhluk yang baik dan ditempatkan dalam persahabatan dengan Penciptanya dan dalam keselarasan dengan diri sendiri dan dengan ciptaan yang berada di sekitarnya." (KGK 374)

Keadaan ini disebut "Original Justice," yang dalam Katekismus disebut sebagai "Keadilan Purba."
Menarik istilah ini jarang keluar dalam bahasan Teologi Tubuh, tetapi bukan sama sekali tidak disentuh. Bisa dibilang, "Original Justice" adalah kesempurnaan penciptaan manusia pada awalnya, ketika "Kesendirian Asali" (Original Solitude), "Ketelanjangan Asali" (Original Nakedness) dan "Kebersatuan Asali" (Original Unity) dihidupi oleh "Manusia Asali" (Original Man). [lihat catatan kaki]
"Oleh sinar rahmat ini kehidupan manusiawi diperkuat menurut segala aspek. Selama manusia tinggal dalam hubungan erat dengan Allah, ia tidak perlu mati atau bersengsara. Keselarasan batin dari pribadi manusiawi, keselarasan antara pria dan wanita, dan keselarasan antara pasangan suami isteri pertama dan seluruh ciptaan merupakan keadaan yang dinamakan 'keadilan purba."' (KGK 376)

Merenungkan ini, memberi arti dan wawasan baru akan makna "keadilan." Keadilan bukan sekedar istilah politik, bukan sekedar istilah yuridis, bukan sesuatu yang negatif seperti biasanya kerap kita rasakan.. Keadilan adalah memenuhi rencana dan dipenuhi oleh kasih Allah.
Ini bisa menjadi bahan permenungan tersendiri, yang mungkin bisa kita kupas pada lain kesempatan.

Bagian terakhir dari Katekismus hari ke-56 ini juga sangat menyentak, yaitu rahmat yang diberikan Allah kepada manusia untuk menguasai alam.
Bekerja mengolah dan menjaga Firdaus bukanlah suatu beban, melainkan rahmat. Manusia dilibatkan sebagai "rekan sekerja Allah" sejak awal mulanya. Manusia bukan hanya citra Allah dalam hal pribadi maupun dalam communio, tetapi juga dalam karya.
Tidak bisa dipungkiri, kejatuhan manusia dalam dosa membuat kita menjadi "tiran" atas ciptaan.
Hewan, yang walaupun tidak sepadan dengan manusia, diciptakan Allah sebagai "penolong." Dosa menjadikan alam semesta sebagai komoditas.

Tetapi yang paling menyentak adalah, bahwa perintah untuk menguasai alam semesta, berarti juga kemampuan dan mandat Allah kepada manusia untuk pertama-tama "menguasai dirinya sendiri."
"'Kekuasaan' atas dunia yang diberikan oleh Allah kepada manusia sejak awal, dilaksanakan pada tempat pertama sekali di dalam manusia itu sendiri yaitu kekuasaan atas diri sendiri. Manusia dalam seluruh kodratnya utuh dan teratur, karena ia bebas dari tiga macam hawa nafsu, yang membuat dia menjadi hamba kenikmatan hawa nafsu, ketamakan akan harta duniawi, dan penonjolan diri yang bertentangan dengan petunjuk akal budi." (KGK 377)
Ini adalah rahmat, tetapi juga sekaligus adalah mandat yang diberikan Allah kepada manusia.

Bagi saya, kutipan ini sangat menggelisahkan dan membuka wawasan akan kejatuhan manusia ke dalam dosa, ke dalam drama "Manusia Historis" (Historical Man).
Kejatuhan manusia dimulai, bukan ketika ia berpegang terlalu erat pada "kekuasaan" yang diberikan Allah. Lucunya itu semua dimulai ketika manusia berhenti berpegang pada "kekuasaan" itu, membiarkan dirinya dikuasai oleh ular, yang ditemukan manusia sebagai "tidak sepadan." Dan sejak itu, kita hidup dengan berpegang erat-erat pada "kekuasaan" palsu yang berusaha kita raih sendiri, karena manusia telah merusak "kekuasaan" mula-mula yang diberikan Allah. Serpihan-serpihan itu masih ada, kuasa itu tidak sepenuhnya hilang, tapi berpegang pada serpihan saja tidak cukup. Manusia sering kali menjadi "tiran" karena berusaha melengkapi serpihan-serpihan yang hilang dengan apa yang tidak berasal dari Allah.

Inipun membuka wawasan baru kepada makna "kekuasaan." Betapa jauh berbeda makna "kekuasaan" yang kita kenal sekarang, yang terlintas di benak saya tanpa saya sadari selama ini, dari apa yang diberikan Allah "pada mulanya."

Di hari-hari mendatang kita akan masuki drama "Manusia Historis" dalam terang Katekismus Gereja Katolik.

---------------------------------------------------

Istilah-istilah tersebut digunakan Paus Yohanes Paulus II dalam katekisasinya tentang Teologi Tubuh yang disampaikan lewat 129 kali audiensi umumnya dari September 1979 sampai November 1984.
Beberapa literatur pengantar Teologi Tubuh dalam bahasa Indonesia lihat:


1. Lihatlah Tubuhku: Membebaskan Seks Bersama Yohanes Paulus II, Deshi Ramadhani SJ, Kanisius 2010.













 2. You Deserve The Truth: Tidak Semua Yang Kamu Dengar Itu Benar Adanya, FLAMMA 2011.

Rabu, 19 Desember 2012

Katekismus Sepanjang Tahun Iman 3




Hari ke-21 dan ke-24 sejak 11 Oktober 2012, menjadi bahan perenungan yang ketiga.

Bacaan Katekismus beberapa hari ini tentang iman, apa itu iman, bagaimana Allah menyatakan diri dan bagaimana manusia menanggapi.

Tapi hari ini istimewa, ada kutipan yang menancap sekaligus menghangatkan hati.

"Melalui iman, manusia menaklukkan seluruh pikiran dan kehendaknya kepada Allah. Dengan segenap pribadinya manusia menyetujui Allah yang mewahyukan Diri. Kitab Suci menamakan jawaban manusia atas undangan Tuhan yang mewahyukan Diri itu 'ketaatan iman'". (KGK 143)

"Taat [obedience (Ing), ob-audire (Lat)] dalam iman berarti menaklukkan diri dengan sukarela kepada Sabda yang didengar, karena kebenarannya sudah dijamin oleh Allah, yang adalah kebenaran itu sendiri. Sebagai contoh ketaatan ini Kitab Suci menempatkan Abraham di depan kita. Perawan Maria melaksanakannya atas cara yang paling sempurna." (KGK 144)

Saya cukup dikagetkan dengan kata-kata yang keras tentang ketaatan iman, akan obedience.
Ini sungguh pokok masalah dan inti dari beriman. Mendengar dan mengetahui saja tidak cukup. Iman menuntut ketaatan, ob-audire, tunduk dibawah apa yang didengar. Beriman berarti memikul konsekwensi untuk menaklukkan diri, senantiasa merendahkan diri, mengubah bukan cuma pola pikir, tapi juga hidup, tindakan, prioritas, kehendak, keinginan, hobi. Dan ini sulit, kebenaran adalah cermin jernih yang memperlihatkan segala kelemahan kita. Sering kali kita berusaha tidak perduli atau menutupi daripada menaklukkan diri untuk berubah.
Tetapi kata kuncinya adalah "sukarela."

Sukarela, ketika saya membaca kata ini, terasa betapa Allah begitu menghormati dan mengasihi kita. Dia bisa memaksa kita taat. Tapi yang Dia tawarkan adalah undangan. Kalau tidak dilakukan secara sukarela, kita tidak mungkin menjadi lebih baik. Perubahan tidak akan pernah terjadi tanpa keputusan untuk mengubah diri terlebih dahulu. Perubahan yang dipaksakan dari luar hanya akan menimbulkan resistensi, penolakan, atau perubahan yang dangkal.
Selain itu terasa betapa Dia mempercayai kita bahwa dengan rahmat, kita mampu. Ia memberi kita kepercayaan diri, "I know you can because I say to you: you can! Now get up and walk!"
Tapi ini bisa kadang bisa terasa keras. "Aku ingin dikasihani, gak lihat apa gue malang?" Dan jawaban yang diberikan Yesus adalah, "Jangan manja!"

Ada lagi di Katekismus cuplikan yang menurut saya indah:
"Iman adalah satu anugerah rahmat yang Allah berikan kepada manusia. Kita dapat kehilangan anugerah yang tak ternilai itu. Santo Paulus memperingatkan Timotius mengenai hal itu: 'Hendaklah engkau memperjuangkan perjuangan yang baik dengan iman dan hati nurani yang murni. Beberapa orang telah menolak hati nuraninya yang murni itu, dan karena itu kandaslah iman mereka' (1 Tim 1:18-19). Supaya dapat hidup dalam iman, dapat tumbuh dan dapat bertahan sampai akhir, kita harus memupuknya dengan Sabda Allah dan minta kepada Tuhan supaya, menumbuhkan iman itu. Ia harus "bekerja oleh kasih" (Gal 5:6), ditopang oleh pengharapan dan berakar dalam iman Gereja." (KGK 162)

Di sini iman diumpamakan seperti sebutir benih yang di tanam di sebuah ladang. Kutipan ini mengingatkan gw pada banyak perumpamaan Yesus, seperti misalnya tentang benih yang jatuh di berbagai jenis tanah. Juga mengingatkan gw pada jari-jari roda pertumbuhan rohani (Sabda Allah, Komunitas, Pelayanan, Doa yang berporos pada Sakramen-sakramen utamanya Ekaristi).
Benih yang tidak dirawat bisa mati. Kita perlu merawatnya dengan memberinya pupuk, memberinya cuaca dan iklim yang baik, digemburkan tanahnya, dilindungi, dan ditanam di tanah yang tepat.

Pupuk yang perlu kita berikan adalah Sabda Allah. Kalau kita baca hari-hari sebelumnya, Katekismus bicara banyak tentang Sabda Allah ini. Sabda Allah adalah Yesus Kristus sendiri. Maka kita harus banyak memupuk iman dengan Yesus, dengan bergaul akrab dengan-Nya. Berdoa, berjumpa dengan-Nya dalam Ekaristi, dan juga lewat Kitab Suci. Katekismus hari-hari sebelumnya banyak bicara tentang Sabda Allah ini, secara istimewa bagaimana Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium Gereja membentuk satu kesatuan yang menampilkan Sabda Allah.

Tapi pupuk saja tidak cukup. Petani tahu betul, walaupun sudah berusaha keras mengusahakan, perlu rahmat berupa iklim dan cuaca yang baik. Bertani adalah karya Tuhan sekaligus karya manusia. Allah yang menyuburkan dan menumbuhkan tanaman lewat hujan dan cahaya matahari, membawa serbuk sari lewat angin, menudungi tanaman dengan awan. Allah yang menumbuhkan benih itu supaya bertunas. Manusia tidak bisa menciptakan kehidupan, hanya Allah yang mampu.
Maka kita harus senantiasa menyadari, bahwa selain menjadi seperti Martha yang bekerja keras, kita perlu juga menjadi seperti Maria yang duduk di kaki Tuhan untuk membiarkan Tuhan berbicara kepada kita, membiarkan diri kita dikasihi Tuhan. Sering kali, saya juga alami, kita berusaha terlalu keras bagi Allah, akibatnya justru Allah sendiri kita lupakan dan prioritas kita menjadi berantakan.

Benihnya sudah dipupuk, sudah dihadapkan kepada matahari dan hujan, sekarang kita perlu mengolah lingkungan sekitar benih itu.
Tanah sekitar benih itu harus dikerjakan supaya gembur. Bagaimana caranya? "Bekerja oleh kasih."
Bukan cuma fokus pada relasi pribadi kita dengan Tuhan, tapi dari kelimpahan cinta yang diberikan Allah, hati kita akan dinyalakan untuk sesama kita.
Bekerja oleh kasih, berfokus pada orang lain, relasi di sekitar kita, orang-orang yang membutuhkan di sekitar kita.
Sering kali, saya juga berkilah, "Ya Tuhan, gue sendiri aja masih perlu diolah, repot amat mesti ngurusin orang lain?"
Tapi ternyata dengan menutup diri dari kebutuhan orang lain, sata membuat tanah tempat benih iman gw sendiri menjadi keras, gak gembur.
Karena itu kita butuh melayani orang lain, terlibat dalam pelayanan, memiliki relasi dengan orang lain, hidup berkomunitas.

Benih yang baru mulai bersemai ini perlu dilindungi. Angin kencang bisa menerjang lalu mungkin benih ini akan tercabut atau patah. Struktur yang melindungi dan menopangnya adalah pengharapan. Harapan membangkitkan mimpi, dreams, passion.
Tapi saya dulu gak menyadari ternyata hal-hal ini penting. "Ya udahlah hidup mau dibawa kemana terserah, yang penting gw hidup baik, yang penting jadi kudus sisanya gak usah dipikirin."
Tapi... ternyata pengudusan bukan sesuatu yang abstrak begitu aja. Sedikit banyak Allah sudah memberi bisikan-bisikan kecil ke mana saya harus melangkah, tapi saya anggap tidak penting karena merasa tidak perlu punya mimpi untuk masuk surga. 
Gua gak bilang saya dah menemukan mimpi saya apa. Tapi setidaknya sudah mulai menyadari bahwa saya perlu meninggalkan pola pikir saya yang lama dan mencoba mendekap yang baru. Orang takut kehilangan mimpi... tapi meninggalkan "dunia tanpa mimpi" supaya punya mimpi juga menakutkan... That means, I have responsibility and need to start moving, dan saat jalurnya berkabut, ketakutan itu makin kuat.
"Don't be afraid," kata mendiang Paus Yohanes Paulus II, betapa saya butuh kata-kata itu.

Terakhir, tapi yang tidak kalah pentingnya, pilihan jenis tanah sebagai media tanam kita harus tepat.
Anda mau iman Anda berakar di mana? Selokan, oli, bensin, agar-agar, pasir, atau tanah yang subur dan gembur?
Tanah subur dan gembur yang tepat adalah: iman Gereja.
Dengan kata lain kita mempercayakan iman kita kepada Gereja. Dari tanah ini benih iman kita akan menerima nutrisinya.
Mempercayakan iman Anda tumbuh di media tanam yang sudah melewati sejarah 2000 tahun menginjili dunia, menampung kebijakan para kudus dan orang-orang cerdas, penuh nutrisi orang-orang yang semangat melayani Tuhan, memiliki ajaran yang jelas dan tegas seperti misalnya tercurah dalam Katekismus Gereja Katolik yang Anda baca, tentunya pilihan yang tepat wahai saudara-saudari!
Media tanam ini mengingatkan kita juga, bahwa iman tidak sampai kepada kita dari nol. Tanah yang baik adalah tanah yang merupakan endapan organik kehidupan sebelumnya. Iman kita adalah warisan terbaik, bukan sekedar obyek eksperimen yang bisa kita definisikan dan bongkar pasang sesuka kita. Di tanam pada tanah yang salah, benih ini bisa mati, atau kalau tidak mati, tidak berbuah atau menghasilkan buah yang jelek.
Katolik pro-choice misalnya (yang mendukung aborsi)? 
Mungkin karena benih imannya tidak berakar di media yang tepat, terlalu banyak unsur hara kebijaksanaan Gereja yang dibuang atau dirusak oleh pupuk kimia a-la media masa cap Paris Hilton.

Demikian dari saya.
Bagaimana pengalaman Katekismus Anda akhir-akhir ini?

Treasuring Womanhood - Renungan Harian Wanita 2013



TW2013: BERJIARAH BERSAMA MARIA

Dalam pemahaman kebijaksanaan orang Jawa, jiarah berarti siji sing diarah, atau satu yang dituju, yaitu Allah. Pemahaman ini menjadi bernilai kristiani ketika Allah yang dipahami adalah Allah Mahacinta. Selain itu, dipahami pula bahwa dalam jiarah ada proses, ada pergumulan, ada jatuh bangun. Untuk itu, dibutuhkan panduan dan kekuatan. Dalam konteks pejiarahan hidup dan iman itu, kehadiran buku renungan ini akan sungguh berarti, yaitu menemani pejiarahan iman para pembacanya.
Pun, kiranya, sangat tepatlah dikatakan oleh para editor bahwa Treasuring Womanhood 2013 ini ‘dipersembahkan kepada Bunda Maria’, bukan hanya karena Maria adalah seorang perempuan, melainkan lebih karena Maria adalah Bunda dan teladan umat beriman. Secara implisit dikatakan bahwa pokok-pokok renungan yang ada di dalam buku ini bisa mengajak kaum perempuan menjadi seperti Maria, yang “menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya.” (Luk 2: 19).
(Al. Andang L. Binawan, SJ – Vikep KAJ, tentang Treasuring Womanhood 2013)

Miliki segera...!
TREASURING WOMANHOOD 2013
  • Renungan Harian Wanita, berdasarkan Kalender Liturgi 2013
  • Ditulis oleh 13 wanita dari berbagai latar belakang: dokter, guru, wanita karier, wirausaha, mahasiswi, pewarta, single, ibu rumah tangga, selibat.
  • Tepat dijadikan sebagai hadiah Natal bagi ibu/adik/kakak/sahabat/teman/ relasi Anda.
  • Diterbitkan ke-empat kalinya oleh Domus Cordis (kali ini di bawah bendera FLAMMA Publishing)
Harga @Rp.55.000,- (belum termasuk ongkos kirim)
Pemesanan hubungi:
Amy: 0818 980636 / Amy_jobs@yahoo.com
Cherry: 0812 63793258 / Cherry.cj12@yahoo.com
Domus Cordis Center: 021-4585 3444 (jam kerja) / literature@domuscordis.org

Sabtu, 15 Desember 2012

Katekismus sepanjang Tahun Iman 2



Pada hari ke-4 (13 Oktober 2012) saya menerima kutipan Katekismus yang ingin saya bagikan lagi.
Dengan ini dimulailah perjalanan memasuki pengakuan iman kita, semua berawal dari kata "Aku percaya."
Apa artinya "percaya"? Apa sih yang kupercayai/imani?
"Kepercayaan (iman) adalah jawaban manusia kepada Allah yang mewahyukan dan memberikan Diri kepada manusia dan dengan demikian memberikan kepenuhan sinar kepada dia yang sedang mencari arti terakhir kehidupannya." (KGK 26)
Maka dimulailah perenungan secara berturut-turut:
1. Manusia mencari Allah, sebuah kerinduan akan Yang Ilahi yang secara alami ada dalam diri setiap orang.
2. Allah mewahyukan diri-Nya dan menjumpai manusia.
3. Jawaban manusia atas wahyu Allah.

Ketiga hal ini yang akan direnungkan dalam beberapa hari ke depan, dimulai dengan perenungan akan kerinduan manusia akan Allah. Mengapa?
"Kerinduan akan Allah sudah terukir dalam hati manusia karena manusia diciptakan oleh Allah dan untuk Allah." (KGK 27).

Tapi yang paling saya sukai adalah kalimat yang lebih kemudian dari KGK 27: "Makna paling luhur martabat manusia terletak pada panggilannya untuk memasuki persekutuan dengan Allah."
Kata "martabat" dalam kalimat ini membuat saya berhenti sejenak ketika membacanya... ada sesuatu yang kuat bergema di situ..
Ada perasaan senang, eureka, agung, megah, lega, terhibur ketika membacanya kata "martabat" di situ.
Jujur saja, ketika membacanya ada perasaan yang meluap-luap.. tapi ketika berusaha menuliskannya, rasanya gelap, bingung, perasaan apa yang sebenarnya bergejolak.

Why? I'm not sure myself..
Mungkin karena sekelebat merasa, bahwa Allah menjadikan saya, demi sebuah relationship dengan diri-Nya.
Entah kenapa, menjadi sekedar gambar dan citra Allah, tidak cukup berarti bagi-Nya. Kita bukan sekedar imitasi atau refleksi rupa seorang pribadi. Patung Bung Karno juga gambar dan rupa Bung Karno.
Tapi, bagi Allah, undangan untuk bersekutu dengan-Nya adalah alasan mengapa kita diciptakan serupa dan secitra dengan-Nya. Dan pernyataan bahwa kita diciptakan dari "kelimpahan kasih-Nya" seolah menjadi "masuk akal."
Mungkin karena saat ini saya sedang memperjuangkan relationship itu, sedang berada di titik nadir, dan sungguh sangat meneguhkan dan melegakan bahwa Allah melihatnya bukan sebagai sesuatu yang sia-sia atau trivial.. melainkan sebagai makna martabat tertinggi saya...

Ada sesuatu yang "klik" buat saya pribadi dalam kalimat itu. Sulit diungkapkan apa. Tapi ada sesuatu yang bergerak karenanya, kalau meminjam istilah Ignasius Loyola.

Katekismus sepanjang Tahun Iman 1


Selama Tahun Iman ini, saya subscribe sebuah layanan email yang setiap hari memberikan kutipan Katekismus Gereja Katolik (KGK). Apa yang saya publikasi dalam blog ini, mungkin terhitung terlambat, sebab sebelumnya apa yang saya tuliskan adalah untuk teman-teman saya di milis. Tetapi tidak ada salahnya juga saya taruh di blog.

Membaca kutipan hari-1 (10 Oktober 2012), sungguh 'nampol' bahwa seluruh rangkaian Katekismus dibuka dengan kata-kata indah tentang tujuan hidup manusia. Tidak lain dan tidak bukan, landasan formasi dan apostolate kita, "Allah dalam Dirinya sendiri sempurna dan bahagia tanpa Batas. Berdasarkan keputusan-Nya yang dibuat Karena kebaikan semata-mata, Ia telah menciptakan manusia dengan kehendak bebas, supaya manusia itu dapat mengambil bagian dalam kehidupan-Nya yang bahagia. Karena itu, pada setup saat dan di mana-mana Ia dekat dengan manusia. Ia memanggil manusia dan menolongnya untuk mencari-Nya, untuk mengenal-Nya, dan untuk mencintai-Nya dengan segala kekuatannya." (KGK 1)

Katekismus dibuka dengan memaparkan rencana Allah yang dari kelimpahan kasih-Nya menciptakan manusia untuk bahagia bersama-Nya. Setia pada kehendak-Nya itu, Ia mengutus Putra-Nya dan memanggil orang-orang yang diutus-Nya sebagai rasul untuk mewartakan kabar ini kepada semua orang, dan meneruskan serta mewariskan secara setia dari generasi ke generasi, dalam persekutuan persaudaraan, dan merayakannya dalam liturgi dan doa. (KGK 1-3)

Amazing.. dalam 3 paragraf, Katekismus meringkas seluruh sejarah keselamatan dan rencana terdalam yang ada di dalam hati Allah.

Juga menarik, bahwa katekese (pewarisan iman), bukan sekedar mewariskan risalah, kalimat-kalimat, atau ajaran-ajaran seperti sebuah perpustakaan. Katekese adalah usaha pemuridan, "menjadikan manusia murid-murid Kristus; ... membantu mereka agar dapat percaya bahwa Yesus adalah Putera Allah, supaya dengan perantaraan iman itu mereka memperoleh kehidupan dalam nama-Nya." (KGK 4)
Untuk ini Gereja berusaha sekuat mungkin untuk menyampaikan warisan iman dengan teratur, dengan sistematis, dengan organis, bukan supaya kita hapal, melainkan "dengan maksud mengantar para pendengar memasuki kepenuhan kehidupan Kristen." (KGK 5)

Kepenuhan kehidupan Kristen.. wow, bukan sekedar di kepala, bukan sekedar hapal, tapi sebuah formasi menjadi seorang murid. Karena itu hal-hal berikut ini sangat berhubungan dengan pewarisan iman (katekese), sangat mempengaruhi kehidupan kita:
"pewartaan perintis tentang Injil, artinya khotbah misioner demi membangkitkan iman; mencari sebab-sebab untuk beriman (dengan kata lain, penjelasan dan alasan logis); mengalami kehidupan Kristen; merayakan Sakramen-sakramen; diterima dalam persekutuan Gereja serta memberikan kesaksian apostolik dan misioner." (KGK 6)

Dalam lingkup mini, semua itu berusaha kita hidupi juga dalam kehidupan berkomunitas, bukan sekedar untuk menerima tetapi bahkan untuk juga siap memberikan kepada teman-teman muda dalam Gereja: mewartakan Injil, belajar memahami ajaran Gereja (Theology of the Body misalnya), mengalami kehidupan berkomunitas, menghidupi Sakramen, integrasi dalam Gereja di Jakarta, dan memberikan kesaksian apostolik dan misioner lewat karya-karya apostolate.

Hal amazing lain yang saya baca adalah, "Periode pembaharuan Gereja adalah juga musim berkembangnya katekese." (KGK 7) Gereja yang dinamis, yang kuat, yang kokoh, jatuh dan bangun bersama katekese. Ketika katekese lemah, Gereja menjadi lemah. Ketika katekese kuat, Gereja menjadi kuat.
Mengingatkan kita juga akan komunitas kita. Ketika katekese (formasi) lemah, seluruh komunitas akan lemah, kalau kuat, komunitas akan kuat.
Tapi itu tidak cukup, kita mau berkontribusi bagi Gereja, bagi orang muda. Bagaimana bisa kalau kita sendiri tidak bersedia menerima katekese yang kuat, matang dan dalam lewat Sabda Tuhan, Ajaran Gereja, hidup berkomunitas, Sakramen-sakramen?


Bagi teman-teman yang penasaran, Katekismus Gereja Katolik itu ngomong apaan, apa aja yang tercakup di dalamnya, berikut adalah gambaran besarnya (KGK 13):
1. Bagian pertama, mengenai iman yang kita akui dalam pembaptisan, yang disusun dalam kerangka Syahadat.
2. Bagian kedua, mengenai Sakramen-sakramen, yang melaluinya "keselamatan, yang dikerjakan satu kali untuk selama-lamanya oleh Allah melalui Yesus Kristus dalam Roh Kudus itu, dihadirkan bagi kita."
3. Bagian ketiga, bagaimana kita hidup dalam iman: apa "tujuan akhir manusia yang diciptakan menurut citra Allah: kebahagiaan," jalan yang harus ditempuh untuk mencapainya, yaitu dengan memenuhi hukum cinta kasih sebagaimana dikembangkan dalam 10 perintah Allah.
4. Bagian keempat, tentang hidup doa, yang tidak bisa tidak, mendasar dalam hidup orang beriman.

Sebagaimana teman-teman lihat, Gereja bukan hanya berusaha mewariskan hal-hal untuk mengisi otak, tapi sangat memperhatikan kehidupan manusia yang penuh: rahasia iman, ibadah, cara hidup dan juga doa.

Kamis, 30 Agustus 2012

Seberapa Serius Persiapan Liturgi Kita?


Gereja mengatakan bahwa kehidupan liturgis adalah "puncak" tetapi Katekismus Gereja Katolik 1072 juga mengatakan bahwa "iturgi kudus tidak mencakup seluruh kegiatan Gereja." Dengan kata lain, itu saja tidak cukup. Supaya berbuah, supaya sungguh-sungguh bisa menjadi puncak, diperlukan "penginjilan, iman dan pertobatan harus mendahuluinya."

Di sinilah fungsi devosi, komunitas, pengajaran, sharing, kehidupan rohani, doa harian, dsb menjadi penting.

Penting bagi kita untuk sangat paham dan fasih mengikuti apa yang baku.
Kebanyakan dari kita, jarang sekali mengikuti perayaan liturgis yang mengikuti norma-norma yang sudah ada.
Lebih sedikit lagi yang tahu apa saja norma-normanya. Lebih sedikit lagi yang paham sejarah dan alasanya.

Ibaratnya seorang dokter, harus paham benar prosedur yang baku dan mendasar dalam melakukan diagnosa. Kalau ada mahasiswa kedokteran tingkat 1 yang sudah mulai memberi resep dan memeriksa, apa jadinya?

Penting untuk bisa melaksanakan dengan baik dan benar apa yang mendasar, mempelajari, memahami, mengkaderkan dengan serius.

Bagi orang yang hidup dalam komunitas yang sangat dekat dengan kehidupan liturgis, dan bahkan menyelenggarakan dan mengadakannya bukan cuma untuk komunitas, tetapi juga keluar, sangat penting untuk tidak terjebak dalam sebuah "lingkaran setan."

Lingkaran setan yang dimaksud adalah adaptasi dan eksperimentasi tanpa pengalaman dan pengetahuan mendasar yang kuat. Akibatnya ini menjadi kebiasaan, dan terus dilakukan. Yang baku menjadi momok yang menakutkan tanpa pernah dilakukan dengan baik, "profesional" kata orang. Dan kita puas dengan apa yang tidak ideal, tapi menolak segala gerakan untuk bergerak ke arah yang lebih ideal. "Terlalu repot, susah, butuh latihan banyak, gak ada waktu."

Contoh pastoral kebablasan seperti itu misalnya saja, penggunaan Syahadat Panjang dalam Misa. Berapa banyak umat, ambil saja Jakarta, yang parokinya menggunakan Syahadat Panjang secara reguler?

Alasan pastor paroki, "karena umat tidak terbiasa." Jadi digunakanlah Syahadat Para Rasul terus. Dalam jangka panjang, umat bukan hanya tidak terbiasa, tapi "lupa ingatan" ada Syahadat Panjang, bahkan resisten.
Kalau digunakan, ngomel, "kan gak hapal, gak biasa, aneh ah."
Ya, gak pernah dibiasakan kapan akan terbiasa?

Apa yang harusnya menjadi kekayaan doa bagi umat, hak umat, malah akibatnya tidak pernah sampai ke umat.

Bicara jujur saja, Puji Syukur setebal itu, tiap minggu koor cuma nyanyi lagu yang mana? Bisa ditebak. Kemudian muncul komplain, "bosan." Tapi kalau latihan lagu baru "susah, gak bisa, gak pernah dipakai." Muncul berbagai terbitan lagu-lagu baru, Madah Bakti edisi tahun 2000, Cantate Domino, dsb. Berapa banyak yang pakai? Berapa banyak yang latih?

Ini saya rasa berlaku juga untuk komunitas, baik dalam pelayanan ke dalam dan keluar.
Dalam pelayanan ke dalam, apa terjebak dengan resistensi untuk latihan lagu liturgi? Biasanya mempersiapkan diri untuk PD, KRK jauh lebih serius daripada Misa. Misa sudah jadi rutinitas, h-1 kelabakan, lagu pakai aja yang sudah pada bisa, yang penting ada lagu.
Tapi luar biasa usaha kita untuk "up to date" lagu-lagu populer terbaru, bahkan mempelajarinya untuk sel.

Pelayanan ke luar, apa menjadi batu sandungan bagi umat lain? Misa komunitas kami hanya yang model begini, sehingga misa dengan mengikuti kaidah yang berlaku seolah haram dan meredupkan cahaya komunitas. Kita tidak memberikan pengalaman berliturgi yang baik ke luar, tapi di dalam juga tidak bisa karena ada resistensi.

Pelayanan ke luar harus menjadi buah dari formasi dalam komunitas. Kita tidak bisa memberi ke orang lain pengalaman otentik berliturgi, mengajar mereka, membuat mereka terkagum akan kedalaman misteri dalam liturgi, akan kebesaran makna dan konsekwensi liturgi, kalau ke dalam kita sendiri tidak memiliki itu semua.

Jika kita terbiasa dengan liturgi yang suam, pelayanan kita tidak lebih dari menyajikan liturgi yang suam. Jika kita tidak memahami nilai dan misteri liturgi, kita tidak bisa membuka mata orang lain kepada nilai dan misteri liturgi. Jika kita memilih hanya menikmati satu aspek dari liturgi, kesembuhan misalnya, tapi tidak berusaha masuk ke aspek lainnya, penghakiman misalnya, kita juga menyajikan parsial kepada orang lain. Jika kita tidak membiasakan diri untuk berliturgi dengan serius, orang akan melihat dari penampilan, sikap, gerak-gerik, pembawaan kita.

Dalam keadaan stagnat seperti ini, justru dalam komunitas, dimana formasi bisa berjalan, hal-hal seperti ini lebih bisa diperbaiki. Karena apa yang digodok di dalam, itulah yang kita bawa keluar.

Dari Pilihan Lagu menuju Makna Terdalam Liturgi


Semua lagu liturgi adalah lagu rohani. Tapi tidak semua lagu rohani adalah lagu liturgi. Sementara itu, lagu-lagu untuk perayaan liturgi, aturannya hanya menggunakan lagu-lagu liturgi.

Lagu liturgi itu apa cirinya? Pertama-tama, paling sederhananya, lagu liturgi adalah teks liturgi yang dinyanyikan.

Teks liturgi dibuat sangat hati-hati atau secara historis memiliki muatan teologis. Jadi bukan sekedar indah. Karena liturgi memiliki 2 tujuan: mengajar sekaligus menyembah Allah.

Analoginya adalah Mazmur dan madah-madah Kitab Suci. Mendaraskan madah-madah ini tidak lain dan tidak bukan memuji Allah sendiri dengan teks yang diinspirasi oleh Roh Kudus. Tapi pada saat bersamaan, mendaraskan/menyanyikan teks ini berarti juga membiarkan Allah bicara dan mengajar kita melalui teks-teks ini.

Pada saat bersamaan, teks liturgi yang disusun Gereja, didsaraskan para kudus dari zaman ke zaman, bertahan melalui berbagai rintangan penindasan dan kesesatan, merupakan karya Roh Kudus dalam Gereja, dan mendaraskan/menyanyikannya kita memuji Allah bersama seluruh Gereja. Tapi pada saat bersamaan, teks ini memiliki muatan dogmatis yang kuat, yang bertujuan mengajar umat beriman akan iman yang benar.

Karena itu, aturan liturgi, misalnya dalam Pedoman Umum Misale Romawi, melarang teks ini diganti dengan apapun. Gereja lebih memilih teks ini didaraskan daripada diganti lagu lain.

Kalau dilagukan, maka musik menjadi hamba teks. Teks harus utuh, musik harus mendukung keindahannya. Tapi mengubah teks demi disesuaikan dengan lagu, dilarang.

Karena itu dalam terang Pedoman Umum Misale Romawi terbaru dan Redemptoris Sacramentum dari Tahta Suci, lagu-lagu liturgis, bahkan yang ada dalam Puji Syukur tidak semuanya bisa dipakai. Lagu yang teksnya mengubah teks liturgis yang ada dalam Misale tidak bisa dipakai.

Semua itu bisa dipakai di luar konteks Misa. Misalnya ibadat sabda, ibadat-ibadat lingkungan dsbnya.

Lagu-lagu rohani kontemporer, pada definisinya termasuk lagu-lagu rohani devosional. Devosi bisa lebih bersifat personal, lebih "ngangkat", lebih "manis," "menyenangkan" dan "hangat." Tetapi devosi dan liturgi, walaupun saling mendukung, memiliki tempat dan porsinya masing-masing.
Selalu ada tempat bagi devosi di luar Liturgi. Namun tujuan akhir devosi harus selalu menjadi persiapan untuk masuk ke dalam liturgi dengan lebih matang, kuat dan dalam.

Yang jadi problem adalah ketika devosi mulai mengerosi liturgi. Ketika ini dilakukan dalam jangka panjang, masalah terjadi.
Liturgi yang merupakan puncak kehidupan rohani menjadi dipahami dengan dangkal.
Sentimen devosional menjadi sesuatu yang dicari, sementara misteri dalam liturgi menjadi sesuatu yang tidak lagi bisa dipahami.
Lingkaran setan pun dimulai, liturgi mulai dirombak untuk berbagai sentimen devosional.

Ditambah lagi dalam situasi umat sekarang, dimana Misa bisa jadi menjadi satu-satunya saat beribadah bagi banyak orang, semua sentimen devosional itu hendak dijejalkan ke dalam liturgi. Satu jam seminggu, kita jejalkan segala hal yang harusnya dibangun perlahan dalam kehidupan rohani sehari-hari, ke dalam liturgi.

Akhirnya bisa ditebak. Liturgi gagal menjadi puncak kehidupan rohani. Sentimen devosional bertabrakan dengan maksud liturgi dan terasa "canggung." Akhirnya tetap saja umat lari ke "seberang sungai." Liturgi pada akhirnya tetap jadi kambing hitam sebagai "oknum jahat" yang perlu direnovasi.

Kalau pake istilah Paulus, ada saatnya kita makan makanan yang ringan, manis, enak, dingin macam devosi-devosi. Tapi makanan yang keras, kita perlukan juga. Dan harus diakui, liturgi itu keras, disiplin, dan kontennya tidak senantiasa "manis" didengar.

Itu sebabnya, katekese liturgi sangat penting. Liturgi bagi Gereja adalah warisan dan tugas mulia untuk dijalankan. Liturgi adalah "Opus Dei" yang dipercayakan Allah kepada Gereja untuk menguduskan dunia dan sejarah. Liturgi adalah partisipasi nyata Gereja dalam Liturgi Ilahi yang dilaksanakan Kristus sendiri dalam Bait Allah Surgawi.

Sedemikian dalamnya, beratnya, mulianya dan besarnya kehormatan yang diterima Gereja untuk melaksanakan Liturgi, yang mampu mengangkat dunia ke surga, sehingga tanpanya Gereja tidak lebih dari sekumpulan organisasi sosial tanpa kuasa surgawi.

Devosi memupuk hubungan pribadi kita dengan Allah.
Tapi liturgi adalah mobilisasi umat Allah menggerakkan sejarah dan menguduskan dunia.

Teologi dibalik masing-masing harus dipahami untuk mendapat perspektif pastoral yang tepat.

Sabtu, 25 Agustus 2012

Liturgy as a Spiritual Battlefield



"We are now in the late stages of the long and vicious war against the human heart... In fact, this is where many people feel abandoned or betrayed by God. They thought that becoming a Christian would somehow end their troubles, or at least reduce them considerably. No one ever told them they were being moved to the front lines, and they seem genuinely shocked at the fact that they've been shot at."
(Wild at Heart - Chapter 5: The Battle for a Man's Heart)

Apa yang terbersit di benak kita ketika mendengar kata "liturgi?"
Apakah tata urutan yang merepotkan? Pernak-pernik yang tidak dikenal namanya? Sesuatu yang sulit dan kaku?
Tapi, apakah terbersit di benak kita bahwa liturgi adalah sebuah medan perang?

Santo Paulus mengatakan bahwa "perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging, tetapi melawan pemerintah-pemerintah, melawan penguasa-penguasa, melawan penghulu-penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara." (Efesus 6:12)

Dibaptis menjadi anggota Gereja berarti dibaptis untuk menjadi bagian dari sebuah korps garis depan.
Kita menjadi dinding yang melindungi sesuatu...
Siapa yang kita lindungi? Dunia. Seluruh ciptaan. Manusia. Manusia-manusia lain yang bahkan tidak tahu atau perduli Tuhan itu ada. Orang-orang sekitar kita yang kita tidak tahu dari mana datangnya dan kemana perginya. Orang-orang yang lebih kelihatan seperti musuh daripada sekutu... tetapi yang kekudusannya sebagai "gambar dan rupa Allah harus kita akui."

Dalam tradisi Yahudi, dikatakan bahwa pada setiap zaman Allah membangkitkan orang-orang benar yang karena keberadaan mereka, menopang seluruh dunia sehingga tidak punah. Mengingatkan kita akan kisah Abraham yang bersyafaat bagi Sodom dan Gomora.

Kita ibaratnya orang-orang Lewi yang disisihkan untuk pengudusan Israel, yang maju berperang paling depan membawa Tabut Perjanjian. Gereja adalah kerajaan kaum imam, nabi dan raja yang membawa dunia kepada Allah sekaligus menjadi pasukan garis depan yang membentengi dunia. 

Namun, seperti apa rupa peperangan ini?
Kalau kita jeli membaca Kitab Suci ada hubungan yang sangat istimewa antara peperangan umat Allah dengan liturgi.

Dalam Perjanjian Lama, kita menemukan bebarapa contoh dimana Liturgi mengambil peranan sentral dalam peperangan dan kemenangan umat Allah. 

Tidak bisa dilupakan pembebasan umat Israel dari Mesir yang dilaksanakan dalam konteks perayaan Paskah yang dirayakan turun-temurun dan menemukan penggenapannya dalam Paskah Perjanjian Baru (Keluaran 12:1-20).

Kisah penaklukan kota Yerikho juga sangat kita kenal, bagaimana tembok kota Yerikho runtuh ketika umat Israel berliturgi mengelilingi kota itu (Yosua 5:2-24).

Tetapi tidak ada gambaran yang lebih jelas daripada gambaran yang diberikan oleh Kitab Wahyu, yang merupakan Kitab Liturgi Perjanjian Baru.
Yohanes melihat sebuah Liturgi Surgawi, yang menjadi ajang penghakiman dan pertempuran. Sangkakala dibunyikan, anggur kemurkaan ditumpahkan, api dilemparkan ke bumi, darah dicurahkan dan musuh dihancurkan.

Dalam Kitab Wahyu kita melihat Yesus yang digambarkan sebagai Ksatria Perkasa, Pemenang Jaya, Raja Mulia yang jarang kita lihat dalam Injil:
"Lalu aku melihat sorga terbuka: sesungguhnya, ada seekor kuda putih; dan Ia yang menungganginya bernama: 'Yang Setia dan Yang Benar,' Ia menghakimi dan berperang dengan adil. Dan mata-Nya bagaikan nyala api dan di atas kepala-Nya terdapat banyak mahkota dan pada-Nya ada tertulis suatu nama yang tidak diketahui seorangpun, kecuali Ia sendiri. Dan Ia memakai jubah yang telah dicelup dalam darah dan nama-Nya ialah: 'Firman Allah.' Dan semua pasukan yang di sorga mengikuti Dia; mereka menunggang kuda putih dan memakai lenan halus yang putih bersih. Dan dari mulut-Nya keluarlah sebilah pedang tajam yang akan memukul segala bangsa. Dan Ia akan menggembalakan mereka dengan gada besi dan Ia akan memeras anggur dalam kilangan anggur, yaitu kegeraman murka Allah, Yang Mahakuasa. Dan pada jubah-Nya dan paha-Nya tertulis suatu nama, yaitu: 'Raja segala raja dan Tuan di atas segala tuan.' Lalu aku melihat seorang malaikat berdiri di dalam matahari dan ia berseru dengan suara nyaring kepada semua burung yang terbang di tengah langit, katanya: 'Marilah ke sini dan berkumpullah untuk turut dalam perjamuan Allah, perjamuan yang besar, supaya kamu makan daging semua raja dan daging semua panglima dan daging semua pahlawan dan daging semua kuda dan daging semua penunggangnya dan daging semua orang, baik yang merdeka maupun hamba, baik yang kecil maupun yang besar.' Dan aku melihat binatang itu dan raja-raja di bumi serta tentara-tentara mereka telah berkumpul untuk melakukan peperangan melawan Penunggang kuda itu dan tentara-Nya. Maka tertangkaplah binatang itu dan bersama-sama dengan dia nabi palsu, yang telah mengadakan tanda-tanda di depan matanya, dan dengan demikian ia menyesatkan mereka yang telah menerima tanda dari binatang itu dan yang telah menyembah patungnya. Keduanya dilemparkan hidup-hidup ke dalam lautan api yang menyala-nyala oleh belerang. Dan semua orang lain dibunuh dengan pedang, yang keluar dari mulut Penunggang kuda itu; dan semua burung kenyang oleh daging mereka." (Wahyu 11:19-21).

Kitab Wahyu menggambarkan Liturgi Surgawi sebagai sebuah Pesta Pernikahan Agung. Tetapi berkaitan erat dengan perayaan pemberian diri seutuhnya menjadi satu daging antara Kristus dan Gereja-Nya, adalah peperangan besar antara kuasa-kuasa surgawi melawan Setan, makhluk ciptaan yang telah jatuh itu, dan malaikat-malaikatnya.

Adalah sangat mengagumkan, menakutkan, sekaligus juga kehormatan yang sangat besar bahwa kehadiran kita dalam Liturgi Anak Domba berarti ambil bagian dalam garis depan pertempuran ini.

Kita berpekik bersama para malaikat yang tak henti-hentinya bermadah: "Kemuliaan kepada Allah di tempat yang mahatinggi" dan juga "Kudus, kudus, kudus Allah semesta alam."

Kita bersorak bersama para Kudus Allah yang berseru: "Anak Domba yang disembelih itu layak untuk menerima kuasa, dan kekayaan, dan hikmat, dan kekuatan, dan hormat, dan kemuliaan, dan puji-pujian!" (Wahyu 5: 12 - Antifon Pembukaan Hari Raya Kristus Raja Semesta Alam).

Tetapi juga, Liturgi adalah cerminan dimana penghakiman kita sudah dilaksanakan. Dimana berkat dan kutuk dalam Perjanjian dihadapkan kepada kita.
"Semuanya telah terjadi. Aku adalah Alfa dan Omega, Yang Awal dan Yang Akhir. Orang yang haus akan Kuberi minum dengan cuma-cuma dari mata air kehidupan. Barangsiapa menang, ia akan memperoleh semuanya ini, dan Aku akan menjadi Allahnya dan ia akan menjadi anak-Ku. Tetapi orang-orang penakut, orang-orang yang tidak percaya, orang-orang keji, orang-orang pembunuh, orang-orang sundal, tukang-tukang sihir, penyembah-penyembah berhala dan semua pendusta, mereka akan mendapat bagian mereka di dalam lautan yang menyala-nyala oleh api dan belerang; inilah kematian yang kedua." (Wahyu 21:6-8).

Maka kita dapat mengerti betapa kerasnya Santo Paulus memperingatkan pentingnya persiapan diri sebelum ambil bagian dalam Pesta Pernikahan Anak Domba ini.
"Sebab setiap kali kamu makan roti ini dan minum cawan ini, kamu memberitakan kematian Tuhan sampai Ia datang. Jadi barangsiapa dengan cara yang tidak layak makan roti atau minum cawan Tuhan, ia berdosa terhadap tubuh dan darah Tuhan. Karena itu hendaklah tiap-tiap orang menguji dirinya sendiri dan baru sesudah itu ia makan roti dan minum dari cawan itu. Karena barangsiapa makan dan minum tanpa mengakui tubuh Tuhan, ia mendatangkan hukuman atas dirinya. Sebab itu banyak di antara kamu yang lemah dan sakit, dan tidak sedikit yang meninggal." (1 Kor 11:26-30).

Namun demikian, sudah dalam Liturgi juga kita ambil bagian dan merasakan kepenuhan akhir yang masih kita harapkan, kemenangan akhir yang dijanjikan Allah kepada kita: " "Haleluya! Karena Tuhan, Allah kita, Yang Mahakuasa, telah menjadi raja. Marilah kita bersukacita dan bersorak-sorai, dan memuliakan Dia! Karena hari perkawinan Anak Domba telah tiba, dan pengantin-Nya telah siap sedia. Dan kepadanya dikaruniakan supaya memakai kain lenan halus yang berkilau-kilauan dan yang putih bersih!" (Wahyu 19:6-8).

Mungkin Ekaristi yang kita lewati sehari-hari tampak membosankan. Mungkin kita tidak cukup membangun dasar yang kokoh untuk menopang kita masuk dalam misteri Allah yang luar biasa dalam Ekaristi. Mungkin kita disibukkan untuk menjadikan perayaan-perayaan Ekaristi kita relevan, menyenangkan, modern. Tetapi, kita tidak menyadari betapa besarnya tanggungjawab, rahmat, kekuatan, kemegahan, kengerian, keagungan yang sesungguhnya ada dibaliknya. Kita sering kali gagal mengenali Allah yang hadir dibalik sosok seorang bayi dari Nazaret yang popoknya basah.

Setiap kali kita ambil bagian dalam perayaan Ekaristi, kita maju ke barisan paling depan dalam sebuah pertempuran rohani yang paling sengit dan kolosal sepanjang sejarah, dan bukan sebagai penonton, melainkan sebagai salah satu pejuang di garis depan.

Kaget kah?
Are you ready?

Rabu, 04 Januari 2012

Relativisme & Liturgi

Darimana trend dan justifikasi inovasi liturgi yang seringkali merebak di sana-sini dalam kehidupan menggereja? Tampaknya tidak bisa dilepaskan dari budaya relativisme, "dictatorship of relativism," yang melahirkan New Age.
Sekilas hubungan ini disebut dalam sebuah paper yang disiapkan Cardinal Ratzinger (Paus Benediktus XVI) untuk pertemuan antara Kongregasi Ajaran Iman dengan Konferensi Waligereja negara-negara dari Amerika Latin, 1996 di Guadalajara, Mexico.

"Thus, all in all, we are facing a remarkable situation: liberation theology had tried to give a new practice to a Christendom that was tired of dogma, a practice by means of which redemption was finally to become an actual event. This practice, however, instead of bringing freedom, left destruction in its wake. What was left was relativism and the attempt to come to terms with it. Yet what that offers is in its turn so empty that the relativist theories look for help from the liberation theology, so as thus to become of more practical use. Finally, New Age says, "Let's just leave Christianity as a failed experiment and go back to the gods--it's better that way."
[Truth and Tolerance: Christian Beliefs and World Religions. Joseph Cardinal Ratzinger. Ignatius Press, 2004. pp.130-131]

Kita perlu elaborasi sedikit analisa mengenai New Age yang beliau berikan di buku yang sama, apa yang dimaksud beliau dengan "go back to the gods."

Relativisme melahirkan sebuah situasi dimana kebenaran obyektif tidak lagi dipercaya, atau bahkan dinyatakan ketinggalan zaman dan ditentang. Ini memberikan dilema dalam hal "praksis" di lapangan dalam berbagai hal. Kalau tidak ada lagi "kebenaran" secara obyektif, apa yang menjadi panduan aplikasi?
Lahirlah "ortopraksis" yang diabsolutkan, dan dalam ranah politik meminjam pandangan Marx melahirkan Marxisme praktis dimana semua orang dibawa pada satu cara, satu cetakan, satu suara, kalau perlu secara paksa. Runtuhnya komunisme Eropa memperlihatkan pada dunia kebobrokan dan kegagalan metode ini, yang hanya menghasilkan penderitaan di mana-mana.

Lelah dengan relativisme, lahirlah gerakan zaman baru, New Age, yang merupakan fenomena yang kompleks dan beragam. Tetapi ada satu filosofi yang mendasari, bahwa untuk keluar dari dilema relativisme perlu kembali kepada pengalaman diluar kategori, merasakan, berjumpa kembali dengan ekstasi kosmik, untuk merasakan dan menjumpai "kebenaran." Kebenaran bukan sesuatu yang rasional untuk dipercaya, tetapi kebenaran adalah sesuatu untuk dialami, melewati berbagai perbedaan.

"Redemption lies in breaking down the limits of the self, in going back home to the universe. Ecstasy is being sought for, the intoxication of infinity, which can happen to people en masse in ecstatic music, in rhythm, in dance, in a mad whirl of lights and darkness. Here it is not merely the modern way of domination by the self that is renounced and abolished; here man -in order to be free- must let himself be abolished. The gods are returning. They have become more credible than God. Aboriginal rites must be renewed in which the self is initiated into the mysteries of the universe and freed from its own self.
...If what takes place in the sacraments is not the encounter with the one living God of all men, then they are empty rituals that mean nothing and give us nothing and, at best, allow us to sense the numinous element that is actively present in all religions.
...But above all, if the 'rational intoxication' of the Christian mystery cannot make us intoxicated with God, then we just have to conjure up the real, concrete intoxication of effective ecstasies, the passionate power of which catches us up and turns us, at least for a moment, into gods, helps us for a moment to sense the pleasure of infinity and to forget the misery of finite existence."
[Truth and Tolerance: Christian Beliefs and World Religions. Joseph Cardinal Ratzinger. Ignatius Press, 2004. pp.128-129]

Bagaimana hal ini meresap dan mempengaruhi Gereja? Secara spesifik di bidang liturgi, beliau mengatakan demikian:

"The various phases of liturgical reform have allowed people to gain the impression that liturgy can be changed as and how you wish. If there is any unchanging element, people think, then this would in no instance be anything other than the words of consecrations: everything else might be done differently. The next idea is quite logical: If a central authority can do that, then why not local decision-making bodies? And if local bodies, then why not the congregation itself? It ought to be expressing itself in the liturgy and should be able to see its own style recognizably present there. After the rationalist and puritan trend of the seventies, and even the eighties, people are tired of liturgies that are just words and would like liturgies they can experience; and these soon get close to New Age styles: a search for intoxication and ectasy..."
[Truth and Tolerance: Christian Beliefs and World Religions. Joseph Cardinal Ratzinger. Ignatius Press, 2004. pp.130]

Dengan demikian di dalam Gereja terjadi inovasi liturgi, yang dalam usaha menjadikannya lebih "aplikatif", "pastoral" ataupun "relevan" dilakukan perubahan-perubahan supaya orang yang berpartisipasi di dalamnya mengalami "ekstasi, mabuk, senang" dengan "style" dari mereka untuk mereka. Kalau liturgi bisa diubah oleh bos di atas, kenapa kita tidak bisa? Kita ubah supaya lebih "memuaskan" untuk kita, yang penting kata-kata konsekrasinya tetap...