Kamis, 23 September 2010

Misa Syukur atas Beatifikasi Kardinal Newman

Misa Syukur atas Beatifikasi Kardinal Newman dilangsungkan di Birmingham Oratory, London, 20 September 2010.
Satu hal yang menarik, Birmingham Oratory terkenal akan pelaksanaan Liturgi yang mengikuti hermenetik yang berkelanjutan.
Gereja ini didirikan untuk menghormati Kardinal Newman (dibangun 1907), yang setelah menjadi Katolik ia menjadi seorang Oratorian (Oratori Santo Filipus Neri, sebuah Kongregasi Religius Katolik). Sekarang menjadi sebuah paroki.
Bagi yang gemar kisah Lord of the Rings, menarik untuk diketahui bahwa J.R.R. Tolkien ketika hidup tinggal di rumah di sebelah Birmingham Oratory dan kerap beribadah di sini.

Dari sisi Liturgi, Birmingham Oratory menggunakan Misale Paus Paulus VI (Novus Ordo - Liturgi setelah Konsili Vatikan II), seperti yang digunakan di Indonesia pada umumnya. Juga kerap mempersembahkan Misa menurut Misale Paus Pius V (Tridentin - Liturgi sebelum Konsili Vatikan II).

Menarik melihat bagaimana Misa menurut Misale Paus Paulus VI dibawakan. Misa dilaksanakan ad orientem, sehingga imam dan umat menghadap ke arah yang sama. Sebenarnya ini adalah normatif dalam Misa Paulus VI, walau setelah Konsili opsi untuk imam menghadap umat menjadi pilihan yang dipakai hampir oleh semua imam.

 Perarakan masuk, Uskup Agung Bernard Longley .

Para Imam Konselebran

Konsekrasi


Foto-foto ini bisa dengan mudah disalah mengerti sebagai pelaksanaan Misa Tridentine (menurut Misale Paus Pius V), walau sebenarnya dilaksanakan menurut Misale Paus Paulus VI. Hermenetik berkelanjutan sangat diperhatikan dalam pelaksanaan Liturgi di tempat ini.

Kamis, 16 September 2010

LIturgi dan Aspek Sosiologis Pembaruan Hidup dalam Roh

Liturgi di setiap tempat, yang paling utama dan terutama dipartisipasi oleh umat adalah Misa Kudus. Misa Kudus yang dilaksanakan diseluruh dunia sama, aturannya sama, dan di berbagai paroki harusnya sama.

Utamanya kita bukan menambahkan unsur-unsur yang berbeda sehingga orang melihat: "Misa Karismatik itu yang kayak gini" atau "Misa yang biasa itu yang gitu, bukan Karismatik itu."

Ketika orang mulai memilih Misa yang satu dari yang lain karena hanya aspek sosiologisnya semata, kita harus berpikir, apa yang salah dari pelayanan kita? Mengapa orang menghargai Misa dari unsur sosiologisnya semata?
Bagaimana caranya kita melayani supaya semua orang yang kita alami dapat menghargai, mencintai dan memperoleh kekayaan rohani dari setiap Misa demi Misa itu sendiri?
Terutama, Misa yang dirayakan dengan segala pakemnya, sehingga dilihat dan dirasakan sebagai entitas rohani yang hidup, dan bukan "gak seru, gak ada bandnya, lagu-lagunya gak enak".
Banyak umat yang 'jajan' atau bahkan lari dari kita karena mereka mencari aspek sosiologis ini semata. Tetapi sebaliknya, ada yang menganggap kita sebagai musuh justru karena aspek sosiologis ini.

Ada hal positif lagi di sini, bahwa dengan memisahkan identitas dari sisi sosiologis Pembaruan, kita bisa menjangkau orang lebih banyak. Kita bisa membawa pesan pembaruan hidup dalam Roh, tanpa timbul antipati dari orang-orang. Dan juga, membawa orang pada penghayatan hidup menggereja tanpa harus menuntut aspek eksternal tertentu.
Kita harus selalu memisahkan bentuk sosiologis Pembaruan Karismatik dari esensinya.

Di buku Romo Yohanes terbaru tentang pembaruan Karismatik, yang saya beli 2 minggu lalu beliau bercerita, bahwa di suatu paroki umatnya anti karismatik. Menerima undangan dari Pastor paroki, para frater dicekal oleh Dewan Paroki, bahwa mereka tidak mau menerima karismatik. Sesuai anjuran Romo Yohanes, mereka memperkenalkan diri sebagai pendalaman Kitab Suci, tidak menggunakan lagu-lagu rohani populer, melakukan doa-doa yang biasa dikenal umat.

Mereka tersentuh, mereka senang, mereka memperoleh sesuatu. Mereka katakan bahwa hal itu baik sekali, dan berkata betapa senangnya mereka apa yang mereka ikuti bukan Karismatik.

Ini adalah visi misi gerakan Karismatik, untuk membawa umat pada perjumpaan pribadi dengan Kristus yang mengubah hidup. Walaupun, gerakan Karismatik bukan satu-satunya sarana untuk mencapai tujuan itu.
Tetapi ketika apa yang diberi label Karismatik sudah terlanjur lengket dengan suatu gaya tertentu, kita harus melihat ke belakang dan bertanya pada diri sendiri, apa yang salah.

Dan ini, lebih penting lagi di bidang Liturgi. Ketika umat tidak mampu mencintai Liturgi yang dilaksanakan dengan tepat, dan gagal menangkap 'suara Liturgi' yang mengumandangkan suara Gereja, kita harus bertanya, mengapa aspek sosiologis ini menjadi identitas?

Sebagian besarnya adalah tanggung jawab kita, terutama yang ada dalam fenomena Pembaruan Hidup dalam Roh (aka Karismatik).
Kalau kita tidak belajar sendiri mendengarkan suara Roh Kudus dalam kontemplasi Liturgi, bagaimana kita bisa bawa orang lain ke sana?
Kalau kita tidak pernah menunjukkan dalam praktek bahwa Karismatik Katolik tidak identik dengan aspek sosiologis tertentu, bagaimana orang yang kita layani bisa mendapat pesan itu?

Tentu saja orang banyak tidak memiliki semua waktu, saat, kesempatan, acuan, referensi untuk belajar tentang Liturgi.
Tetapi kita yang berada piramida pelayanan harus memberi waktu untuk semua itu. Belajar apa yang boleh/tidak boleh saja tidaklah cukup. Formasi Liturgi mengasumsikan Mistagogia, pembukaan Misteri yang dialami dalam Liturgi. Dan kemudian ini harus dibawa ke bawah, kepada umat yang kita layani.

Ini semua harus dilihat sebagai usaha untuk memantapkan dan membuat penghayatan umat dalam Liturgi dan hidup sehari-hari sebagai lebih baik lagi, bukan sebagai penghakiman "Kalian sudah salaaaah, ini ini ini inininininininii tidak boleeeeh."

Karena itu, secara pribadi, saya tidak anti karimatik. Tidak juga anti lagu-lagu rohani populer. Tidak juga anti persekutuan doa, sel, berbagai pelayanan karismatik lain. Sebaliknya saya merasa diperkaya dan dibawa kepada kecintaan akan Gereja lewat semua itu.

Tetapi, selalu diingat bahwa Liturgi Gereja tidak sama dengan persekutuan doa, tidak sama dengan sel, tidak sama dengan devosi. Liturgi adalah momen paling sakral, jantung doa Gereja, sarana Gereja mengajar, memberi makan, dan sekaligus juga tugas suci kita umat yang terbaptis untuk melaksanakan panggilan imamat umum kita.

Sebagian besar kericuhan terjadi ketika kita gagal melihat bahwa Liturgi (salah satu bentuknya paling kita kenal adalah Misa Kudus, yang merupakan puncak Liturgi) berbeda dari ibadah raya ala GBI misalnya. Kita anggap itu adalah 'cara ibadah' Katolik. Namun Liturgi lebih dari sekedar 'cara ibadah' atau 'tata ibadah'.

KRK, Persekutuan doa, devosi-devosi kelompok dan pribadi kita, itu yang setara dengan ibadah raya non-Katolik. Tetapi Liturgi Gereja jauh diatas semuanya itu. Secara obyektif nilainya tak sebanding dengan semua itu.
Sama seperti sebuah Sakramen.

Andaikan ada Jemaat seberang sana yang kelihatan hidup, tersentuh, lahir baru, penuh sukacita, pendampingan dan pengajaran yang menarik. Sementara anggap saja Gereja Katolik dalam titik terendahnya dimana para imamnya hidup berantakan, Liturgi dianggap hambar oleh jemaatnya, dan berusaha survive karena mati tidak hidup pun tidak.
Maka saya akan tetap berada dalam Gereja Katolik karena Sakramen ada di sana. Walaupun setiap kali terasa hambar dan gelap, tetapi saya tahu nilai Sakramen itu melebihi semua yang bisa saya dapatkan dari Jemaat seberang.

Dan kita di Gereja Katolik punya dua-duanya.
Umat Katolik kebanyakan hidup dari Liturgi yang tidak diembel-embeli Karismatik. Mereka bilang itu sampah, gelap, tidak ada sukacita, menekan, kaku, pakem.
Kita dipanggil oleh Roh Kudus untuk berkobar-kobar dan merasakan, mengalami, mencintai bahwa Liturgi itu dan segala pakemnya adalah sarana kebebasan, tempat sukacita mengalir, Roh Kudus berkarya, Gereja mengajar, dan kita ambil bagian dalam kehidupan Tritunggal. Dimana Gereja dari zaman ke zaman, di surga dan di bumi, bersatu. Kita mengalami kitab Wahyu.

Kalau tidak pernah sampai pada pemahaman ini, orang hanya akan berlomba-lomba menciptakan inovasi eksternal. Tetapi apa yang internal tidak pernah dijamah, dibuka, dirasakan, dan kuasanya tidak pernah dilepaskan.
Tetapi untuk sampai pada semua ini, kita harus kembali kepada Gereja dan berkata, "kebijaksanaanmu melebihi pengetahuanku, ajarlah aku untuk taat dan menyelami Liturgi sebagaimana kau inginkan."
Dan ini bukan berarti kita menyerang, membenci dan membuang Karismatik Katolik. Sebaliknya, kita malahan membebaskan dan membuat kuat kuasa pelayanan kita lebih hebat lagi.

Jika demikian, apakah kita harus meninggalkan sama sekali aspek sosiologis yang berkobar-kobar, mirip Jemaat seberang?
Tidak. Tetapi kita harus sadar bahwa untuk segala sesuatu ada tempatnya.
Kita letakkan semua itu di sekeliling Liturgi, bukan dicampur adukkan di dalamnya.

Ketika Liturgi yang baik dan setia dilaksanakan, Mistagogia dijabarkan, dan umat diberi kesempatan dan sarana untuk megekspresikan Roh yang membakar dalam hidup mereka lewat pelayanan, bukankah kekuatan besar yang selama ini terpendam akan dibebaskan?

Kalau mau kita simpulkan, pembaruan hidup dalam Roh hanyalah salah satu sarana yang digunakan Roh Kudus. Tetapi bukan satu-satunya jalan.
Dan juga, dalam pembaruan hidup dalam Roh, ada banyak bentuk, bukan cuma satu.

Salah satu kuncinya adalah: Mistagogia, ini adalah metode yang dipakai Gereja sejak jaman para Bapa Gereja perdana dahulu. Pemahaman membuka makna Liturgi kepada jemaat.

Semua pada akhirnya mengarah pada Liturgi, karena Liturgi dan Sakramen adalah identitas Gereja, tugasnya yang utama, panggilannya yang pertama. Liturgi juga adalah tujuan akhir Gereja dan kehidupan kita: untuk berpartisipasi dalam Liturgi Ilahi Perkawinan Anak Domba dalam kekekalan.

Maka, Pembaruan Hidup dalam Roh harus juga menyapa orang-orang yang tidak berada pada jalur ekspresi sosiologis yang sama.
Tetapi juga Pembaruan Hidup dalam Roh harus fleksibel, bisa menimba karismanya dalam berbagai kegiatan non-liturgis seperti persekutuan doa, KRK, dan banyak kegiatan lainnya, tetapi harus juga bisa duduk diam membiarkan diri dibentuk oleh Liturgi, membiarkan Liturgi mengalir sebagaimana mestinya sesuai dengan rambu yang ditetapkan.

Ketika keseimbangan ini tercapai, kita bisa menghargai kebebasan Roh Kudus menyampaikan rahmat dan berbicara.
Kalau kita cuma tertarik pada aspek sosiologis tertentu, dan harus memodifikasi Liturgi hanya supaya bisa menarik diri kita, membangkitkan emosi, dan menjadikannya identitas, bukankah artinya kita malahan tidak bebas? Kita memberi batasan pada Roh Kudus untuk berbicara hanya dalam konteks yang kita ingini. Dan kita juga membatasi pembaruan hidup dalam Roh hanya pada bentuk penyajian tertentu.

Liturgi yang Luwes

Melanjutkan topik di thread sebelumnya, Aturan Liturgi menopang Kebebasan, kita sampai pada pernyataan "Liturgi yang Luwes."

Ada Misa untuk anak-anak, kawula muda, sampai khusus opa-oma. Ada Liturgi untuk Imlek, untuk kelompok, indoor, outdoor. Bukankah ini menunjukkan Liturgi itu luwes? Bahwa Gereja luwes dan tidak kaku.
Keluwesan ini hadir dari bolehnya melakukan modifikasi terhadap teks dan norma Liturgi.

Intinya, kalau mengikuti aturan = kaku dan baku. Kalau boleh dan memiliki kebebasan mengubah atau tidak mengikuti apa yang tertulis = luwes.

Namun, ini suatu bentuk salah kaprah dan pendulum yang berayun dari satu ekstrim ke ekstrim lain.

Ketika kita bicara tentang aturan Liturgi, keluwesan inilah yang hendak kita garisbawahi, bahwa aturan-aturan yang berlaku itulah yang memungkinkan keluwesan itu bisa dilaksanakan.

Tetapi luwes bukan berarti boleh mengganti apa yang secara normatif tidak diperbolehkan, menciptakan opsi sendiri, atau tutup mata terhadap pakem yang diberlakukan.

Pada dasarnya, luwes dimaksud di sini adalah kesetiaan pada opsi yang diberikan dan dimungkinkan menurut tata Liturgi.
Luwes bukan berarti bahwa kita menciptakan inovasi yang tidak ada dalam opsi Liturgi.

Dalam hal ini, keluwesan ini tidak berbentrokan dengan aturan Liturgi. Aturan-aturan Liturgi jika diikuti dengan setia, menjamin kebebasan Roh Kudus dan Gereja untuk berbicara kepada kita. Menjamin keluwesan tersebut.

Maka itu apa yang disebut Misa untuk orang muda, untuk lansia, dan lain sebagainya, semua itu harus taat kepada tata liturgi yang berlaku.

Yang kebablasanlah yang perlu diperbaiki, karena dengan demikian merusak integritas Liturgi demi suatu inovasi yang tidak pada tempatnya.

Ketika kita bicara negatif terhadap sesuatu, kita cenderung untuk antipati dan kemudian hendak memecahkan kekakuan tersebut. Ini adalah hal yang lumrah, sangat lumrah sekali. Yang sama terjadi soal Liturgi. Ketika kita bicara aturan dan pakem, yang ada di dalam pikiran kita adalah sebuah "Litani Larangan".

Tapi di sini saya hendak mengajak teman-teman untuk berefleksi sebentar.
Seberapa jauh kita membaca atau mengerti konsep Liturgi secara teologis?
Mengapa bagian-bagian Misa tertentu (seperti Madah Kemuliaan misalnya), dipagari sedemikian sehingga inovasi tidak diperbolehkan?

Hal-hal seperti ini mengasumsikan adanya keteraturan, tetapi juga hal penting yang hendak disampaikan Gereja kepada kita.

Tanpa kita memahami, atau bahkan memberi waktu mempelajarinya, bagaimana kita bisa mempertanggungjawabkan perubahan yang kita masukkan? Seorang dokter yang melakukan operasi tanpa memahami anatomi yang hendak dia kerjakan, hanya bisa dicap lalai.

Pemahaman yang memadai tentang Liturgi akan melihat bahwa aturan-aturan tersebut memfasilitasi secara hati-hati keluwesan yang kita cari.

Liturgi seperti juga Kitab Suci, adalah baku, tetapi luwes.
Dalam Lectio Divina, walaupun kita merenungkan bagian Kitab Suci yang sama yang berkali-kali, bisa terkecap pengertian yang senantiasa baru.
Liturgi juga demikian. Utamanya semakin dalam pengertian kita, semakin dalam Mistagogia yang kita dapat, semakin terasa manis apa yang terkandung di dalamnya.

Anggaplah aturan Liturgi seperti rambu-rambu lalulintas. Jika diikuti dengan setia menjamin kebebasan para pengendara jalan raya dan keselamatan pengguna jalan. Ketika satu atau dua dilanggar kita merasa bisa tiba ditujuan lebih cepat, merasa kebutuhan kita terpenuhi, mengejar waktu. Tetapi tidak positif pada dirinya sendiri karena sebenarnya kita merusak tatanan yang aman dan dengan demikian berpotensi merenggut kebebasan orang lain yang sama-sama menggunakan jalan tersebut.

Ketika Gereja memfasilitasi Liturgi Kaum Muda misalnya, fasilitasi ini harus diberikan dalam kerangka norma Liturgi yang berlaku.
Misalnya, memfasilitasi Koor dan paduan suara dari orang Muda sendiri.
Memilih dari antara mereka menjadi petugas.
Memfasilitasi drama sebagai wujud kontekstual pesan yang hendak disampaikan. Namun, di mana ini bisa ditempatkan?
Apakah pada saat Homili?
Apakah Homili adalah masa rehat dari Liturgi? Sebuah waktu bebas? Ataukah Homili bagian dari pewartaan Sabda yang terkait dengan bacaan-bacaan Suci: Bacaan I, Mazmur, Bacaan II (jika ada) dan Injil?
Ini menuntut pemahaman.
Sangat tepat kalau Drama tersebut mendahului Misa, sebab Homili adalah tindakan pewartaan Gereja, atas nama Gereja dan hanya boleh dibawakan oleh Uskup, Imam atau Diakon (bukan pro-diakon).

Bagaimana dengan fasilitasi lagu? Orang muda sukanya lagu-lagu pop kan?
Apa boleh memasukkan lagu-lagu populer yang lagi trend tapi yang agak-agak religius? "Semua Karena Cinta" misalnya? Siapa tahu "cinta"-nya bisa diganti "Yesus."
Soal lagu, Pedoman Umum Misale Romawi mengatakan bahwa hanya lagu-lagu Liturgi yang memperoleh pengesahan yang boleh digunakan.
Bahkan lagu rohani yang berjibun itu pun belum tentu lagu Liturgis.
Ini memperlihatkan bahwa Misa bukan sekedar ajang kumpul-kumpul atau bertujuan membangkitkan emosi dan minat jemaat. Musik dan lagu memiliki makna teologis.
Jadi bagaimana kita bisa fasilitasi? Latih dan tantang orang muda untuk menyanyikan lagu Liturgis dengan segala kemegahannya.

Tanpa semuanya ini, yang terjadi bukan kebebasan, bukan keluwesan, tetapi kekacauan.

Mengapa tak mengganti roti dan anggur dengan kentang goreng dan coca-cola supaya lebih bisa menjamah orang muda modern?
Mengapa perlu busana Liturgi? Sekalian saja umat dan imam pakai baju renang dan adakan Misa di pinggir kolam renang.
Berusaha solider dan eco-friendly? Mengapa tidak gunakan gelas kertas untuk piala dan piring kertas untuk patena, ditambah sibori dari bekas botol Aqua?

Di sini, kita bukannya bebas melainkan menjadi diperbudak oleh kebutuhan untuk menciptakan inovasi, namun kita malah semakin jauh dari apa yang Gereja maksudkan dan hendak ajarkan.
Apa tidak ada venue lain untuk melakukan semua ini? Tentunya ada.

Tetapi yang paling utama dan terutama adalah, membukakan kepada mereka makna masing-masing bagian, misteri yang terkandung dalam Liturgi. Karena tanpa pemahaman tidak akan ada rasa cinta dan hormat.
Tanpa Mistagogia, orang muda hanya akan tertarik pada eksternalitasnya yang kebetulan menarik minat mereka.
Mereka datang bukan karena butuh, bukan karena paham, bukan karena makna. Tetapi karena make-up. Dan setelah semua ini dilaksanakan, mereka selalu akan pindah ke tempat lain yang menurut selera lebih menarik.

Menjadikan eksternal menarik demi menarik itu sendiri tidak akan pernah cukup.
Kita harus membuat kaitan yang sangat kuat antara umat dengan internal Liturgi, landasan teologisnya, maknanya, bahasanya dan kekuatan di dalamnya.
Sebab, tanpa itu kita hanya akan berhadapan dengan lingkaran tidak berakhir untuk menciptakan inovasi sekedar supaya umat datang, namun tidak mengakar. Dan, sekali lagi tekankan, setelah semua ini dilaksanakan, mereka selalu akan pindah ke tempat lain yang menurut selera lebih menarik.

Aturan Liturgi karenanya diberikan untuk menjamin 2 hal: Agar Liturgi mencapai makna dan tujuannya, dan agar kita memiliki rambu-rambu dalam mengaktualisasikannya.

Dilihat dari sisi positif, ini membebaskan kita dalam keluwesan.

Aturan Liturgi Menopang Kebebasan Ibadah

Tidak bisa dipungkiri Liturgi adalah sesuatu yang dibakukan oleh Gereja.
Bukankah kenyataannya banyak umat Katolik yang tak tersentuh oleh Liturgi? Mereka berpaling ke Jemaat Gerejani lain yang lebih ekspresif. Masakan kita mau berpangku tangan menerima Liturgi yang baku?
Misalnya, Misa inovatif Pembaruan Hidup Dalam Roh, bukankah fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak orang dibawa kembali ke Gereja Katolik melalui sarana ini? Jika tujuan dan hasilnya baik, aturan Liturgi boleh diubah demi tujuan itu.

Bagi saya, aturan Liturgis yang baku tidak berarti kaku dan mematikan dinamika, apalagi kebebasan Roh Kudus berkarya.Sebaliknya semua norma yang ada itu menjamin dinamika Liturgi yang baik dan benar.

Ketika kita dikobarkan oleh Roh Kudus, kita perlu untuk masuk secara dalam ke jantung doa Gereja, yaitu Liturgi, sebagai wujud Ibadah kita yang terutama.
Di luar Liturgi, selalu ada kelompok doa, persekutuan doa, KRK, dan 1001 bentuk devosi dan kreativitas yang bisa dikembangkan.
Tetapi begitu memasuki Liturgi kita duduk diam untuk diajar oleh Gereja.

Problema yang dikemukakan di awal tulisan ini, mungkin diangkat karena kita tidak memahami bahwa Liturgi tidak sama dengan semua bentuk doa, persekutuan doa, KRK dan devosi.

Kita selalu dapat menjaring jiwa dan membawa mereka dalam pertobatan mendalam lewat banyak retret, kelompok doa yang dinamis, pewartaan firman dalam kelompok, sel, KRK, outbound muda-mudi, dsb. Tidak ada masalah di sini.

Tetapi Liturgi adalah momen paling sakral yang berbeda. Di sini ada keperluan besar untuk mengajar umat akan Mistagogia, makna dari Liturgi Gereja yang begitu dalam, sehingga umat bisa menyelaminya dan mengambil segala kekayaan rohani yang terdapat di dalamnya. Tetapi agar semua itu bisa sampai kepada umat, Liturgi harus dibiarkan bicara dari dirinya sendiri. Ini diatur dalam rangkaian aturan, teks Liturgi, dan spiritualitas yang mendasarinya, yang semuanya ini justru dimaksudkan membebaskan Liturgi untuk menyampaikan apa yang hendak disampaikan Gereja kepada kita.

Saya hanya mengatakan, bahwa pelayanan kita yang sekarang akan lebih lengkap lagi jika didukung oleh Liturgi yang otentik, dimana kita tidak mencampurkan unsur-unsur devosional, persekutuan doa, dan agenda pribadi ke dalam Liturgi Gereja. Gereja sendiri yang meminta supaya hal ini ditegakkan.

Dalam perayaan Misa Kudus misalnya, kita bisa belajar dari kebiasaan-kebiasaan malam Natal.
Pada perayaan Malam Natal, Liturgi Natal sendiri dimulai dari pembacaan Kalenda yang dilanjutkan dengan perayaan Ekaristi seperti biasa.
Tetapi ada kebiasaan-kebiasaan populer yang memang pada tempatnya, misalnya pemberkatan Gua Natal, Drama singkat Maria dan Yusuf yang mendahului Liturgi Natal. Ini semua adalah devosi populer yang dilaksanakan pada momen yang sangat dekat dengan Liturgi tetapi tidak di dalam Liturgi itu sendiri. Melainkan mendahului Liturgi sebagai bentuk devosi. Penempatannya tepat dan tidak terjadi pencampuradukan antara Liturgi dan Devosi.

Demikian juga bisa kita kembangkan lebih lanjut untuk Misa Karismatik.
Pujian penyembahan dan lain sebagainya bisa diletakkan di awal Misa sebelum prosesi. Bisa kita berikan pujian syukur meriah pada akhir Misa setelah perutusan. Panjangnya tidak dibatasi. Ini adalah devosi.
Tetapi sejak Misa dimulai sampai akhirnya, aturan Liturgi harus diperhatikan. Karena mulai dari sini kita masuk ke dalam kontemplasi besar, silentium agung mendengarkan Roh Kudus memaparkan kepada kita sejarah keselamatan.

Ini adalah keseimbangan besar yang sekarang kita harus capai dan klaim kembali. Bahwa Karismatik Katolik tidak identik dengan aspek sosiologis tertentu. Semua orang bisa jadi Karismatik dan pada saat yang sama bisa menimba dari segala jenis harta rohani yang disediakan Gereja, bukan hanya apa yang menarik menurut kita.

Sabtu, 11 September 2010

Kekeringan Rohani, Kekeringan Liturgi

Dari segala macam inovasi Liturgi yang dilakukan, saya melihat kemungkinan terjadinya kekeringan rohani.
Namun tidak sedikit yang menanggapi, bahwa banyak inovasi Liturgi yang terjadi, misal dalam Pembaruan Hidup dalam Roh, justru membuat mereka tidak kering melainkan dipenuhi semangat, sukacita, senang menggereja. Ini tidak saya sangkal, namun saya juga tanggapi dengan hati-hati bahwa semua itu bukan datang utamanya dari inovasi yang terjadi, melainkan dari pemahaman yang semakin mendalam dan pengalaman disentuh Roh Kudus yang pernah dialami.

Utamanya kering di sini yang saya bicarakan bukan dalam hal perasaan subyektif.
Tetapi kering dalam arti bahwa kita akan semakin kehilangan arah dalam melihat dengan jelas visi dan misi Liturgi.

Karena Liturgi adalah jiwa, jantung doa Gereja, kita akan semakin kehilangan arah, ke mana Gereja hendak mengarah, kemana Pembaruan Hidup dalam Roh hendak berjalan, kemana kelompok dan kerasulan kita mau diarahkan yang sesuai dengan visi dan misi Gereja.

Seperti dikatakan Paus Benediktus XVI, dulu Kardinal Ratzinger:
"I am convinced that the crisis in the Church that we are experiencing today is to a large extent due to the disintegration of the liturgy, which at times has even come to be conceived of etsi Deus non daretur: in that it is a matter of indifference whether or not God exists and whether or not He speaks to us and hears us. But when the community of faith, the world-wide unity of the Church and her history, and the mystery of the living Christ are no longer visible in the liturgy, where else, then, is the Church to become visible in her spiritual essence? Then the community is celebrating only itself, an activity that is utterly fruitless. And, because the ecclesial community cannot have its origin from itself but emerges as a unity only from the Lord, through faith, such circumstances will inexorably result in a disintegration into sectarian parties of all kinds - partisan opposition within a Church tearing herself apart. This is why we need a new Liturgical Movement, which will call to life the real heritage of the Second Vatican Council." Milestones: Memoirs 1927-1977 (SF, CA: Ignatius), p. 149.

Saya terjemahkan:
"Saya yakin bahwa krisis dalam Gereja yang kita alami sekarang sebagian besar dikarenakan oleh disintegrasi liturgi, yang kadang  bahkan dirasakan sebagai etsi Deus non daretur: suatu keacuhan apakah Allah ada atau tidak dan apakah Dia berbicara atau mendengar kita. Tetapi ketika komunitas iman, persatuan Gereja sedunia dan sejarahnya, dan misteri akan Kristus yang hidup tidak lagi nampak dalam liturgi, dimana lagi Gereja jika demikian harus menampakkan esensi spiritualnya? Jadi komunitas hanya merayakan dirinya sendiri, sebuah kegiatan yang sama sekali mandul. Dan, karena komunitas gerejani tidak dapat berasal dari dirinya sendiri, melainkan hadir sebagai sebuah kesatuan hanya dari Tuhannya, melalui iman, situasi demikian tidak terelakan berakhir pada disintegrasi berupa segala macam kelompok sektarian - oposisi partisan dalam Gereja yang menghancurkannya dari dalam. Ini sebabnya kita perlu Gerakan Liturgi Baru, yang akan menghidupkan warisan sesungguhnya dari Konsili Vatikan Kedua."

Kalau kita cukup jeli melihat ke mana Gereja diarahkan dalam 2 dekade ini, membaca tulisan-tulisan Paus Yohanes Paulus II dan Benediktus XVI, akan terlihat jelas bahwa Gereja diarahkan pada Liturgi.

Masa-masa akhir kepausan Yohanes Paulus II diwarnai dengan perang melawan pelanggaran-pelanggaran Liturgi lewat serangkaian dokumen: Liturgiam Authenticam, Redemptoris Sacramentum, Mane Nobiscum Domine.

Dilanjutkan oleh Paus Benediktus XVI: yang paling jelas adalah orientasi liturgi melalui penataan Altar, seperti beliau pernah tuliskan dalam bukunya Spirit of Liturgy, dimana umat dan imam kembali diorientasi memandang satu kiblat liturgis. Belum lagi Summorum Pontificum, yang mengarahkan Gereja untuk memperkaya Liturgi pasca Konsili dari apa yang mulia dari Liturgi pre Konsili Vatikan II.

Ada sesuatu yang sangat serius dalam Liturgi, aspek teologis yang terlalu mendalam sehingga Gereja mati-matian mempertahankan Liturgi sebagai identitasnya dan memagarinya dengan banyak aturan, yang tujuannya memberi kebebasan dan memastikan Roh Kudus lewat Gereja mengajar sesuatu kepada kita.

Saya sadar banyak yang bersemangat dengan bersentuhan dengan Pembaruan Hidup dalam Roh. Tetapi, anda dan saya harus sadar, bahwa jika yang terjadi adalah orang hanya bersemangat dalam satu bentuk Liturgi yang inovatif, tetapi tidak bersemangat atau tidak memiliki pemahaman mendasar akan Liturgi normatif yang dirayakan di mana-mana, artinya ada sesuatu yang salah. Ini berarti kita lebih tertarik dan digerakan oleh aspek sosiologis yang ditampilkan, dan bukan pada penghayatan Liturgi itu sendiri.

Esensi Liturgi, apakah sekedar Tata Ibadah?

Liturgi ini sebenarnya dibuat manusia atau menurut pandangan Gereja dibuat oleh Roh Kudus?
Kalau berasumsi bhw liturgi sama dgn peraturan (ibadah), bolehkah kalau berpandangan bahwa manusia harusnya utk liturgi, bukan liturgi untuk manusia?

Pada dasar dan intinya, dalam pandangan iman Katolik, pertama-tama Liturgi adalah karya Allah sendiri.
Dari paparan ekseget seperti Scott Hahn dalam bukunya, A Father Who Keeps His Promises, tampak jelas bahwa Kitab Suci menyajikan penciptaan dunia sebagai sebuah Liturgi Ilahi yang tersingkap dalam hari demi hari. Dimahkotai dengan Sabat, hari khusus dimana Liturgi secara istimewa dilaksanakan.
Setelah selesai menciptakan manusia, tugas pertama manusia adalah untuk ambil bagian dalam Sabat ini bersama Allah. Di sini tampak bahwa manusia diciptakan Allah dalam suatu suasana Liturgis untuk ambil bagian dalam Liturgi.

Bumi diciptakan sebagai sebuah Bait Suci mahabesar tempat Allah tinggal, dengan Taman Eden diciptakan sebagai Ruang Mahakudus dimana Allah sendiri tinggal.
Di situ manusia diciptakan dan diberi tugas untuk merawat dan menjaga. Istilah Ibrani yang diberikan Tuhan untuk merawat dan menjaga ditemukan hanya sekali lagi ketika Musa memerintahkan para Imam untuk merawat dan menjaga Kemah Perjanjian.
Dengan demikian, dari awal manusia diciptakan untuk berliturgi, sebagai Imam yang tinggal dalam Ruang Mahakudus, memerintah ciptaan bersama Allah.
Bukan tanpa sebab, sebab melalui tindakan Liturgis inilah, manusia masuk dalam misteri kehidupan Allah sendiri.

Kitab Suci kemudian memperlihatkan sejarah panjang manusia, utamanya dalam sejarah Israel yang dipilih Allah untuk menjadi imam bagi semua bangsa. Jatuh bangunnya sejarah berpusat pada jatuh bangunnya kesetiaan Israel terhadap Allah dan perjanjiannya. Perjanjian-perjanjian Allah kepada Israel senantiasa bersifat Liturgis. Sampai akhirnya Kristus datang untuk mendirikan GerejaNya.

Gereja, yang adalah TubuhNya sendiri, lahir dari Kristus dalam sebuah tindakan Liturgis, dalam konteks Perjamuan Paskah. Suatu perayaan Liturgis yang dirayakan bangsa Israel dari tahun ke tahun, yang merupakan gambaran dari apa yang akan dilakukan Yesus: Melaksanakan Paskah yang abadi. Dari diriNya yang tersalib, Gereja dan Sakramen-sakramen lahir.

Fast forward kepada Kitab Wahyu, Yohanes melihat realitas sejarah dari sudut panjang yang sangat unik. Bahwa sejarah manusia terpapar dihadapannya, masa lalu, masa kini dan masa depan, sebagai sebuah tindakan Liturgi Ilahi. Liturgi menggerakkan sejarah.

Liturgi Gereja sangat berkaitan erat dengan tatanan Sakramental. Liturgi perjanjian baru adalah partisipasi Tubuh Kristus dalam Liturgi Kristus sendiri mempersembahkan diri-Nya kepada Bapa. Liturgi perjanjian baru adalah partisipasi Gereja dalam ibadah ilahi di Bait Allah abadi di Surga.
Ini adalah landasan Teologis Liturgi.

Dari segi sosiologisnya, wujud nyata Liturgi di dunia, teksnya, tata geraknya, mengambil sumber utama dan terutamanya dari Ibadah Israel. Namun bukan pula sekedar kelanjutan dari ibadah Israel, melainkan pemenuhannya sebagaimana dilaksanakan Kristus, dan dilanjutkan Para Rasul. Para Rasul ini yang membawa Liturgi ke berbagai tempat, utamanya Liturgi adalah ibadah yang sangat erat hubungannya dengan perayaan Sakramen, utamanya Baptisan, Tahbisan dan Ekaristi.

Di berbagai tempat, Gereja bersama para Uskup pengganti para Rasul, menambahkan, mengubah, bentuk partisipasi Gereja dalam Korban Kristus ini. Namun dilihat sebagai kelanjutan dari perayaan yang sama. Ibadah-ibadah ditambahkan yang bersumber dan menuju pada Ekaristi. Semua dilaksanakan tidak secara serta-merta melainkan dalam kesatuan dengan karisma tahbisan yang dipercayakan kepada para pengganti rasul. Ada unsur historisitas yang selalu bisa kita runut kembali kepada Kristus sendiri, sehingga Liturgi tidak sekedar aktualisasi suatu mitos tanpa dasar.

Bagi umat dari zaman ke zaman Liturgi adalah Guru yang mengajar misteri-misteri iman. Misteri iman digelar dalam Liturgi, dan Liturgi diperkaya oleh kebijaksanaan Gereja dari zaman ke zaman (misalnya saja perumusan Syahadat yang kemudian dimasukkan ke dalam Liturgi).  Sampai ada adage klasik yang berbunyi, "Sebagaimana kita berdoa, demikian kita percaya."
Liturgi adalah sebuah Teologi, bukan cuma secara didaktif (pengajaran) tapi juga secara eksperiential, suatu pengalaman langsung akan Allah dan persentuhan langsung dengan iman Gereja.

Liturgi Gereja selalu terbedakan dari ibadah pribadi.
Doa pribadi, bisa diibaratkan saat intim dimana kita secara pribadi masuk ke dalam hadirat Allah.
Sementara Liturgi adalah ibadah raya kita bersama Kristus dan seluruh Gereja, melaksanakan imamat kita sebagai orang yang dibaptis, dalam Bait Suci Surgawi.

Karena itu, saya melihat kesamaan yang menarik bagaimana Liturgi disusun dan Kitab Suci ditulis.
Keduanya adalah karya Allah yang kita warisi. Tetapi keduanya juga adalah karya manusia.
Keduanya adalah Tradisi Suci yang diwariskan Gereja kepada anak-anaknya dari zaman ke zaman.

Yang menjadikan Liturgi lebih dari sekedar tata ibadah adalah landasan teologisnya yang membuat kita partisipan Liturgi sungguh mengalami secara obyektif, partisipasi dalam Imamat Kristus.
Tanpa ini, Liturgi hanyalah sebuah upacara kosong dan sekedar konvensi kelompok yang tidak ada gunanya dijaga dengan seksama. Tanpa ini, Liturgi selalu menjadi obyek yang selalu dapat diubah dan digubah oleh siapapun sesuai selera.

Hal yang sama inilah yang menjadikan Kitab Suci adalah Kitab Suci dan Sakramen adalah Sakramen. Tanpa Allah yang secara obyektif bekerja dibalik semua itu, Kitab Suci tidak lain daripada kumpulan tulisan tidak teratur yang diagungkan suatu kelompok, dan Sakramen hanyalah tanda-tanda manusiawi yang diberi makna oleh kelompok malalui konvensi (macam rambu lalu-lintas).

Saya rasa, Liturgi diciptakan untuk manusia, seperti juga Sabat diciptakan untuk manusia.
Liturgi dan Sabat, diberikan Allah agar manusia masuk ke dalam kehidupan ilahi Allah sendiri.
Namun istilah ini tidak berarti bahwa manusia sebagai tuan atas Sabat dan Liturgi berarti bisa bertindak semau-maunya.
Sebaliknya sebagai tuan, sebagai subyek dari Sabat dan Liturgi, manusia memiliki segala tanggungjawab untuk menghormati dan melaksanakan dengan setia peruntukan Sabat dan Liturgi.
Karena jika semau-maunya, manusia akan kehilangan makna awal peruntukan semuanya itu diadakan oleh Allah, dan akhirnya akan menjadi beban yang menghancurkan manusia itu sendiri.

Sama seperti alam. Ketika manusia diangkat menjadi tuan atas ciptaan, bukan berarti manusia bebas memperbudak alam. Manusia diberi tanggungjawab, dan kelalaian atas tanggungjawab itu mengeringkan alam dan membahayakan diri manusia sendiri.

"Bahasa Liturgi"

Ketika kita bicara soal bahasa Liturgi, apakah maksudnya adalah bahasa Latin atau bahasa-bahasa kuno lainnya yang sebagian besar dari kita tidak lagi kita pahami?

Utamanya yang hendak saya maksudkan bukan bahasa Latin, bahasa Indonesia, atau bahasa Inggris.
Melainkan yang saya maksud bahasa Liturgi adalah bahwa Liturgi secara keseluruhan berusaha mengkomunikasikan sesuatu kepada kita, suatu ajaran, pembentukan, doa, makna.

Ini diwujudnyatakan dalam seluruh pelaksanaan Liturgi.
Simbol yang digunakan mengutarakan makna. Arsitektur yang ada menyuarakan makna. Alat-alat Liturgis yang digunakan memiliki makna. Gerakan yang dilaksanakan memiliki makna. Lagu-lagu liturgis, yang dengan sangat hati-hati dibedakan dari lagu-lagu rohani lainnya, berusaha menyampaikan makna. Dan utamanya teks Liturgis itu sendiri berusaha menyampaikan makna.
Sementara itu norma dan aturan Liturgi dibuat untuk menjaga supaya apa yang hendak disampaikan itu tidak kehilangan maknanya, dan diteruskan dari generasi ke generasi dengan setia.

Walaupun Liturgi adalah entitas yang hidup, yang berubah sedikit atau banyak, semua ini harus dilakukan oleh otoritas yang berwenang, sebagai bagian dari pelaksanaan penggembalaan dan kuasa mengajar Gereja yang dijamin dalam iman, disertai oleh Roh Kudus, walaupun manusia-manusianya rapuh dan berdosa. Itu sebabnya seorang pribadi manapun tidak memiliki kuasa dari dirinya sendiri untuk menambah/mengurangi apapun dari Liturgi.

Itu juga sebabnya mengapa menterjemahkan teks Liturgi adalah tugas yang sangat sulit, dan harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Kita masih ingat arahan Gereja dengan mengeluarkannya dokumen Liturgiam Authenticam yang memerintahkan agar terjemahan teks Liturgi dikerjakan dengan setia terhadap teks asli dan bukan sekedar parafrase. Ini penting, karena seperti juga Kitab Suci, banyak kata-kata dalam Liturgi yang memiliki makna analogis yang dalam, yang walaupun mungkin terdengar janggal tetapi dengan setia digunakan dalam Kitab Suci.

Di sini masuk tugas Gereja yang kedua, yaitu Mistagogia, yang artinya penyingkapan Misteri. Dimana Liturgi dan Sakramen dibukakan dalam pengajaran sehingga umat memahami dengan baik kenyataan rohani yang terjadi dan mampu menimba daripadanya rahmat yang begitu dalam.

Ambil bagian dalam Liturgi selayaknya setara dengan Lectio Divina, dimana kata-kata Kitab Suci kita serap berbagai maknanya: literal, historis, spiritual. Demikian juga Liturgi memiliki semua aspek tersebut.

Ambil bagian dalam Liturgi adalah mengecap proyeksi Surga sudah pada di bumi ini. Liturgi kita di bumi ini adalah proyeksi Liturgi Ilahi yang tak kunjung berakhir di Surga nanti.

Karya Roh dan Liturgi

Sering kali kita dihadapkan pada pernyataan, "lihatlah buah-buahnya."
Ketika seseorang berkata, bahwa dirinya tergerak, hidupnya diubahkan oleh dalam sebuah Liturgi yang penuh dengan banyak pelanggaran, apa tidak bisa kita berkata, buahnya lebih penting daripada aturan Liturgi?
Tidakkah ini dapat menjadi pembenaran, alasan, untuk menjustifikasi segala innovasi Liturgi yang terjadi dan dilakukan?
Apakah dalam situasi demikian Roh Kudus tidak bekerja? Atau apakah juga Roh Kudus tidak bekerja dalam komunitas yang tidak memiliki Liturgi seperti Gereja Katolik?

Saya harus katakan bahwa dalam keadaan demikianpun Roh Kudus tetap bekerja.
Namun bukan karena Roh tetap berkarya maka kita menjadi lalai dalam membaca dan berusaha memahami dengan seksama, apa yang Liturgi hendak sampaikan kepada kita lewat segala norma, rubik, aturan dan teksnya itu sendiri.

Justru dari pertanyaan ini saya bisa merasakan apa yang saat ini sangat dibutuhkan Gereja Katolik dewasa ini, yaitu formasi Liturgis yang tepat. Karena Liturgi tidak sama dengan ibadah dan persekutuan doa manapun. Liturgi tidak setara dengan devosi apapun.

Kita tertarik kalau kita mengerti dan paham realitas rohani yang tersembunyi di dalam Liturgi.
Tetapi menjadikan Liturgi menarik demi menarik orang dan membuyarkan berbagai dimensi Liturgis demi semarak yang menarik, atau tertarik demi tertarik itu sendiri adalah bahaya besar yang harus dihindari.

Roh Kudus dapat bekerja lewat semua sarana yang Ia inginkan, namun Ia juga mendirikan sarana yang pasti.
Dalam iman Katolik, kepenuhan karya Roh Kudus ditemukan dalam Gereja Katolik dalam persatuan hirarkinya dengan pengganti Petrus.
Kepadanya dipercayakan Sakramen-sakramen dan Liturgi sebagai karya utama Allah dan Gereja menguduskan jemaat dan dunia.

Karena itu, secara obyektif Liturgi adalah identitas Gereja. Hanya dalam Liturgi terjadi rekapitulasi sejarah keselamatan dari zaman ke zaman, dimana Gereja dalam Liturgi bersatu dengan seluruh ciptaan di surga dan di bumi, melaksanakan imamat Kristus bersama dengan Kristus sebagai kepala.

Ini kenyataan teologis yang tidak terjadi dalam ibadah, persekutuan doa, devosi pribadi, doa-doa pribadi, atau sel misalnya. Dimana kita berdoa bersama atas nama diri sendiri atau kelompok kita tetapi bukan atas nama seluruh Gereja. Bukan berarti semua itu tidak berguna, sebaliknya sangat mendukung dan berguna jika mendukung dan diairi oleh rahmat yang kita terima dari Liturgi Gereja. Dengan demikian keseharian hidup kita, doa-doa kita, persekutuan kita menjadi perpanjangan Liturgi yang tidak berakhir.

Dan jika kita percaya bahwa kepenuhan itu ada dalam diri Gereja Katolik, maka Gereja Katolik posisi dan peranannya adalah khusus dalam sejarah. Di situ kita temukan kepastian yang sudah didirikan Allah.

Liturgi, seperti juga Kitab Suci harus dilihat sebagai karya Allah dan manusia. Liturgi tidak sama dengan sekedar tata-ibadah. Liturgi tidak berarti hanya kumpulan simbol, tata gerak, pilihan lagu. Tetapi Liturgi adalah perwujudan Yerusalem Surgawi, ibadah ilahi yang dipercayakan kepada Gereja. Karena itu, dalam Liturgi ini kita tahu dengan jelas dan pasti Roh Kudus berkarya, hadir dan dalam segala kepenuhannya meraja. Liturgi sangat erat hubungannya dengan tatanan Sakramental Gereja, utamanya Baptisan, Tahbisan suci dan Ekaristi.

Karena itu, secara obyektif Komunitas Gerejani lain yang membuang tahbisan Apostolik dan Liturgi yang dipercayakan kepadanya, mengalami cacat. Apakah Roh Kudus bisa berkarya dengan luar biasa dalam situasi demikian? Bisa. Tetapi mereka tidak dapat mengalami karya Allah yang secara istimewa dikerjakan Allah dalam Liturgi.

Sementara kita yang dipercayakan dengan kepenuhan Liturgis, punya segala tanggungjawab untuk memastikan bahwa kuat kuasa yang diberikan Allah dalam Liturgi dijaga dengan hati-hati, diajarkan dan dimengerti dan dilaksanakan dengan taat.

Sama seperti Sakramen. Apakah ibadah-ibadah umat agama lain yang tidak memiliki Sakramen Ekaristi, dalamnya Roh Kudus tidak bekerja? Ekaristi itulah yang menjadi jaminan dan yang memperlihatkan dengan pasti bahwa Roh Kudus bekerja. Mereka yang tidak memilikinya diundang untuk bersatu dengan Gereja Katolik untuk ambil bagian dalam kepenuhan tersebut. Ini adalah tugas kita untuk memberi kesaksian bahwa dalam diri Gereja Katolik ada kepenuhan yang belum mereka miliki, dan kita mengundang mereka untuk bersatu dengan Gereja Katolik.

Tetapi lalai mengakui dan menjunjung apa yang dipercayakan kepada kita, berarti kita mengeringkan sendiri sumber karya Roh yang dipercayakan kepada kita untuk dibagikan kepada orang lain.

Yang Baku -vs- Yang Bebas

Sering kali kita mendengar berbagai keberatan terhadap teks Liturgi, bahwa teks Liturgi baku dan karenanya menawan, memenjarakan atau membelenggu kebebasan kita berdoa. Kita perlu berdoa lebih bebas, tanpa terikat kata-kata baku. Kalau kita bilang "bersorak-sorai" maka baiklah kita bersorak saat itu juga. Kita perlu bukan hanya mengerti tetapi juga merasakan, mengalami, masuk dalam horizon eksperiensial kita. Pendapat ini banyak kita dengar misalnya dari mereka yang tergerak oleh Pembaruan Hidup dalam Roh Kudus.

Sering kali kita tanpa sadar masuk pada mode pendulum. Berayun dari satu yang esktrim ke ekstrim yang lain. Dalam usaha aktualisasi, kita mengekstrimkan apa yang dirasa baku, berayun kepada kebebasan yang kita asumsikan tak terbatas dan kita harapkan tidak terbelenggu aturan apapun. Toh bagaimanapun luapan doa atau niat baik tak bisa/boleh dibatasi.

Pertama kita harus menjawab bahwa bahasa Liturgi yang baku, sengaja dibakukan karena ada 2 tujuan selain utamanya adalah Doa, teks itu juga adalah Guru. Guru yang mengajar tentang Misteri Ilahi yang hendak dirayakan, konsolidasi teologis Gereja dari zaman ke zaman. Guru ini juga mengajar, menyampaikan sesuatu yang harus kita renungkan dan hayati dan mengubah diri kita.

Jika seseorang berdoa menggunakan Mazmur yang sudah dibakukan dalam Kitab Suci apakah kebebasan orang tersebut direnggut?
Sama sekali tidak!

Memang benar dalam doa spontan Roh Kudus bisa mengilhami kita berdoa dan kita berdoa dengan kebebasan itu.
Tetapi menjadikan Mazmur sebagai doa juga memberi kita kebebasan, yang berbeda dari doa spontan. Kita dibebaskan dari menyusun kata-kata. Kita dipastikan, saya ulangi, dipastikan berdoa dalam inspirasi Roh Kudus karena Roh Kudus yang mengilhami tulisan-tulisan Kitab Suci.
Dan, jika didoakan dengan baik dan benar, doa kita menjadi komunikasi 2 arah: Menggunakan kata-kata yang diilhami Roh Kudus, kita menyampaikan doa kita, diri kita kepada Allah. Di satu sisi, sambil mendoakan kita merenungkan kata-kata yang sama menjadi jawaban dan kata-kata Allah bagi kita. Itulah kehebatan Kitab Suci, itulah sebabnya Lectio Divina sangat powerful.

Dan ini menuntut kita untuk siap diubah lewat kata-kata Mazmur tersebut. Bukan sebaliknya kita yang seolah-olah hendak mengubah Allah dengan berbagai permohonan, harapan dan tujuan yang sudah kita tetapkan dan kita sodorkan pada Allah.
Dan pada akhirnya, Mazmur akan memperkaya perbendaharaan rohani kita dan memperkaya doa-doa spontan dan pribadi kita.
Doa-doa pribadi kita dibentuk menjadi lebih baik oleh Mazmur yang adalah Firman Allah.

Demikian juga doa-doa Gereja, utamanya teks Liturgis, memiliki keistimewaan yang sama.
Ketika menjadikan itu doa kita, pada saat yang sama kita berdoa, belajar, dibentuk oleh Gereja. Kita disatukan dengan seluruh Gereja dimanapun dari segala zaman. Kita diajar, doa-doa kita dibentuk, pengetahuan pribadi kita ditambah, kita menyuarakan suara Gereja sekaligus mendengarkan suara Gereja, Gereja yang adalah Tubuh Mistik Kristus sendiri.
Itulah kehebatan doa-doa Liturgis.
Sama sekali tidak merenggut kebebasan kita. Melainkan malah membebaskan kita.

Doa pribadi dan doa Liturgis (dan juga Kitab Suci), tidak bisa kita pertentangkan sebagai yang satu lebih baik dari yang lain.
Keduanya harus seimbang. Ada saatnya dimana kita mendoakan doa-doa pribadi kita. Namun ada saatnya dimana kita diam dan menyiapkan diri dibentuk oleh Roh Kudus lewat teks Liturgi dan Kitab Suci.

Jadi ini adalah masalah waktu, masalah momen, masalah saat, arena dan area masing-masing supaya keduanya memberikan buah dan hasil yang maksimal. Dalam Liturgi kita membiarkan Gereja membentuk dan mengajar kita dan berdoa bersama seluruh Gereja dalam bahasa Gereja, yang dalam satu sisi bisa kita lihat sebagai 'bahasa baru' yang diberikan Allah kepada Gereja.
Pada kesempatan lain, dalam persekutuan doa, kelompok doa, sel, doa-doa harian dan pribadi, kita menyampaikan doa-doa spontan, gerakan hati, minat dan bakat kita, yang sudah diperkaya dan diairi oleh Liturgi.

Pada akhirnya baik doa pribadi/spontan maupun doa yang menggunakan teks harus selalu dihayati.
Kita harus membawa orang dan diri kita sendiri pada penghayatan ini, setiap saat.
Tidak boleh kita lalai, dan akhirnya malah mengadu domba antara doa spontan dengan doa Liturgis.

Yang menjadi tugas kita yang berada dalam Pembaruan Hidup dalam Roh Kudus adalah membawa orang pada pemahaman ini. Mereka yang tidak familiar dan merasa kaku karena doa-doa Liturgis yang baku, dengan kuasa Roh Kudus, yang menjadi panggilan Pembaruan Hidup dalam Roh, harus kita kobarkan supaya mereka melihat bahwa Liturgi dan teks Liturgi bukanlah sebuah kekang. Melainkan panggilan kepada kemerdekaan Roh. Nilainya dalam, hartanya berharga, airnya jernih, rasanya manis, terdengarnya indah, dan partisipasinya adalah seluruh Gereja.
Dari situ, luapan hati yang mengalir dalam rupa spontanitas akan meluber dengan sendirinya.

Kita tidak bisa memberi apa yang tidak kita punyai.
Kita dipercaya oleh Allah untuk menjaga, menghidupi, menyelami, dan belajar dari khazanah Liturgi, termasuk segala aturan seputar Liturgi yang dimaksudkan agar makna yang hendak disampaikan tidak hilang. Kita harus menimba dan memperkaya diri kita sendiri di dalam khazanah ini.
Baru kemudian kita memiliki sesuatu untuk diberi kepada orang lain.