Rabu, 26 Desember 2012

Is Christmas Over?


Pertama-tama, saya ucapkan selamat Hari Natal untuk para pembaca blog sekalian.

Sekarang, sebelum mulai membaca sekelumit refleksi yang mau saya bagikan, silahkan bersantai sejenak, menutup mata dan ingat-ingat kembali apa yang terjadi beberapa hari ini dalam rangka Natal.

Apa yang mengapung di dalam ingatan kita ketika melihat pengalaman Natal kita setelah tanggal 25 Desember?
.
.
.
.
.
.
.
.
.
Apakah terasa seperti baru saja turun dari sebuah roller-coaster?
Puncak tertingginya baru saja terlewati dan sekarang mencapai anti klimaks, ketika pesta, kemeriahan, gegap-gempita dan excitement yang dirasakan mulai reda?

Apakah ada perasaan seperti pengelola sebuah Department Store yang menanti dengan penuh harap penjualan hiasan-hiasan Natal dengan harga diskon akan menghasilkan laba yang banyak, dan setelah tanggal 25 Desember menghela napas karena sudah saatnya membereskan semuanya itu ke gudang?

Jika iya, mungkin kita selama beberapa hari terakhir ini mulai terpisah dari kenyataan, "apa itu Natal?" dan "kenapa aku merayakan Natal?"



Bagi Gereja Katolik, Natal belum berakhir. Christmas is not over yet. Natal baru saja DIMULAI!

Kita baru saja memasuki hari pertama Natal. 
Misteri Natal yang dirayakan Gereja tidak habis pada saat kelahiran Yesus.
Kelahiran Yesus hanyalah pintu masuk ke dalam Misteri Natal yang kita rayakan.
Inkarnasi Sabda menjadi Daging adalah fondasi dasar, kerangka yang akan menyokong kita melihat, mendalami, mengenyam dan menelan apa yang diwartakan oleh iman kita.

Maka kalau kita sudah kehabisan napas setelah perayaan 25 Desember, mungkin tanda-tanda yang menunjukkan kita sudah kehilangan makna Natal dan terseret arus Natal Komersil.

The Stoning of Saint Stephen
Rembrandt (1625)
Hari ini, 26 Desember kita memasuki Oktaf Kelahiran Yesus (Hari Raya Natal dirayakan selama 8 hari sebagai satu hari raya), hari ini adalah Pesta Santo Stefanus, Martir Pertama.

Ketika kita merayakan Natal, dalam homili, di warta Gereja, di film-film, di siaran radio, bahkan iklan-iklan komersial mengusung pesan-pesan seperti: solidaritas, damai, sukacita, rekonsiliasi, kemiskinan, kerendahan hati, berbagi, dan sebagainya.

Semua itu sangat amat baik. Tetapi, jika cuma itu yang kita usung, itu menjadi tanda sangat amat jelas bahwa kita kehilangan makna Natal yang sesungguhnya.
Karena Natal bukan soal ideologi, walaupun baik dan indah sekalipun. Natal adalah soal seseorang!
Dunia mendukung dan memberi tempat bagi semua orang yang mau mengusung panji "damai," "kasih," "sukacita," "berbagi," "solider." Tetapi belum tentu bersedia memberi tempat bagi seorang pribadi, Yesus Kristus, yang menjadi sumber semua itu.

Kita semua dipanggil untuk memberi kesaksian akan seorang pribadi: Yesus Kristus, bukan menjadi birokrat yang mengusung ideologi. Kalau kita memberi kesaksian akan pribadi Yesus, barulah kita menjadi seorang martir (saksi) dalam arti yang sesungguhnya.

Hari ini, melangkah masuk melewati ambang pintu Natal, Gereja memperingati kematian seorang Martir, Pesta Santo Stefanus.
Hari berikutnya dalam Oktaf Natal kita memperingati Pesta Santo Yohanes Rasul, seorang saksi yang turut berada di bawah Salib Kristus bersama Bunda Maria.
Hari berikutnya dalam Oktaf Natal kita memperingati Pesta Kanak-kanak Suci, para martir kecil, kanak-kanak Betlehem yang dibunuh Herodes dalam usahanya membinasakan Kristus yang dianggap mengancam kekuasaannya.

Kita dipanggil untuk menjadi martir (saksi) akan seorang pribadi, Yesus Kristus, Sabda yang menjadi Daging dan siap sedia mempertanggungjawabkan kesaksian ini di muka dunia, sampai titik darah penghabisan.

Natal, saudara-saudari, baru saja dimulai!

Senin, 24 Desember 2012

Katekismus sepanjang Tahun Iman 5




Temans, bagaimana hari-hari bersama Katekismus?
Hari ke-59 (sejak 11 Oktober 2012), memasuki rangkaian misteri dosa dan kejahatan, Katekismus mengajarkan tentang para malaikat yang jatuh.

Menarik bahwa biasanya kalau bicara soal Setan, otak manusia biasa bergolak dan menggelora. Entah karena excitement, penasaran, atau takut.
Banyak detil-detil yang kita supply sendiri, entah dari mana datangnya. Apakah dari gosip, film, rumor, kepercayaan masyarakat...
Bahkan sering kali orang lebih tertarik pada misteri kegelapan daripada bicara soal terang.
Ekstrim lainnya, menganggap roh-roh yang jatuh ini sebagai tidak nyata, tidak ada.

Katekismus dalam mengajarkan tentang para malaikat yang jatuh ini sangatlah singkat. Hanya 5 paragraf pendek. Iman kita mengajarkan kebenaran keberadaan mereka, tapi tidak meletakkan mereka di luar proporsi.

Yang terpenting adalah menyadari bahwa mereka adalah ciptaan. Karena itu, "kekuasaan setan bukan tanpa batas. Ia hanya ciptaan belaka. Walaupun kuat, karena ia adalah roh murni, namun ia tetap saja makhluk: ia tidak dapat menghindarkan pembangunan Kerajaan Allah." (KGK 395)

Kalau mau jujur, dipengaruhi oleh film, cerita, kepercayaan-kepercayaan, secara tidak sadar orang Kristen sering kali menjadikan Setan "setara" dengan Allah. 
Seolah-olah dua kekuatan yang sejajar tapi saling berlawanan. Seolah-olah hitam dan putih yang seimbang dan saling berlawanan.
Renungkan sebentar... ketakutan-ketakuan kita terhadap roh-roh yang jatuh ini, apakah secara tidak sadar kita menempatkan mereka sebagai "setara" walaupun "berlawanan" dengan Allah?

Jika iya, kita secara tidak sadar "meninggikan" Setan lebih daripada posisi yang seharusnya dan secara tidak sadar menjadikannya ilah.

Dari strata ciptaan, mereka sejajar dengan malaikat-malaikat lain. Karena itu dalam tradisi Gereja melawankan setan dengan Mikael malaikat agung.

Dalam strata ciptaan, roh-roh yang jatuh ini berada di bawah persekutuan para kudus, anggota Tubuh Kristus, Gereja. "Tidak tahukah kamu, bahwa kita akan menghakimi malaikat-malaikat?" (1 Kor 6:3), demikian Paulus menulis. Mengapa? Bukan karena manusia hebat, tetapi karena Yesus Kristus yang menciptakan malaikat-malaikat yang akan menghakimi mereka. Dan kita, lewat pembaptisan menjadi anggota tubuh-Nya, kita disatukan dengan Kristus, dan Kristus yang utuh, kepala dan tubuh yang akan menghakimi para malaikat.

Dalam tradisi, roh-roh yang jatuh ini sangat dipermalukan dan tidak berdaya dihadapan Maria Sang Bunda Allah. Karena Maria adalah Ratu Para Malaikat. Maria adalah personifikasi seluruh Gereja. Dalam diri Maria buah-buah penebusan Kristus paling sempurna dihasilkan secara paling berlimpah. Dan karena kerendahannya ia ditinggikan Allah di atas para malaikat-malaikat.

Yang merendahkan roh-roh ini adalah Yesus sendiri, "Untuk inilah Anak Allah menyatakan diri-Nya, yaitu supaya la membinasakan perbuatan-perbuatan Iblis itu" (1 Yoh 3:8, KGK 394). Tetapi bukan karena Iblis sepadan dengan diri-Nya. Ia membinasakan perbuatan-perbuatan Iblis dengan menjadi manusia, supaya tersingkaplah kepada seluruh ciptaan tatanan yang sesungguhnya dijadikan Allah sejak pada mulanya. Dengan demikian tersingkaplah kebohongan-kebohongannya selama ini.

Ini bukan berarti sekarang kita petantang-petenteng sok jadi mandor. Kitab Suci sendiri mengatakan mereka adalah "'pembunuh sejak awal' (Yoh 8:44) dan yang malahan mencoba menyesatkan Yesus dari perutusan yang diterima-Nya dari Allah." (KGK 394)
Kita berhadapan dengan kekuatan dan bahaya yang sangat nyata.

Tetapi kita harus memeriksa diri juga, apakah pandangan kita selama ini sudah mengarah kepada Allah. Sebab sering kali tanpa sadar, kita meninggikan ciptaan setara dengan Allah. Sesuatu yang sangat menggembirakan si Jahat.

Kamis, 20 Desember 2012

Katekismus sepanjang Tahun Iman 4


Potongan Katekismus hari ke-56 menggemakan pengajaran awal dari Teologi Tubuh (Theology of the Body) dari Paus Yohanes Paulus II secara padat dan singkat, yaitu akan keadaan manusia "pada awalnya."

Penciptaan manusia sebagai pria dan wanita adalah "persamaan dan perbedaan yang dikehendaki Allah." (KGK 369)
Tidak bisa dipungkiri martabat manusia, laki-laki dan perempuan, adalah setara: "bermartabat sama 'menurut citra Allah.'"
Tetapi Gereja tidak malu-malu mengatakan bahwa persamaan martabat tidak berarti perbedaan peran harus dihilangkan. Masyarakat modern menolak mengakui adanya perbedaan tugas dan peran antara laki-laki dan perempuan. Bahkan secara ekstrim sampai berusaha menutup mata terhadap perbedaan peran yang secara biologis diukir oleh Allah.
Dengan dalih bahwa perbedaan laki-laki dan perempuan tidak lebih dari konstruksi yang diciptakan masyarakat, David Reimer (22 Agt 1965 - 5 Mei 2004) akibat kecelakaan medis dibesarkan sebagai perempuan. Pada akhirnya ia mengakhiri hidup dengan bunuh diri.

Katekismus melanjutkan, walaupun Allah adalah Roh dan karenanya bukan laki-laki maupun perempuan, tetapi secara sengaja Ia menciptakan manusia sebagai laki-laki dan perempuan supaya "dalam 'kesempurnaan-kesempurnaan' pria dan wanita tercermin sesuatu dari kesempurnaan Allah yang tidak terbatas: ciri khas seorang ibu dan ciri khas seorang ayah dan suami." (KGK 370)

Katekismus hari ini juga menggemakan tema yang berisi pesan "Single 100% Happy." Sangat berbeda dengan lagu tema sinetron yang setiap hari gak habisnya dinyanyikan semua pengamen di bus kota di Jakarta: "karena separuh aku, dirimu."
Manusia yang hanya setengah penuh, akan senantiasa berusaha mengambil kepenuhannya dari orang lain. Tetapi 2 gelas setengah penuh yang disatukan hanya akan jadi satu gelas besar yang tetap setengah penuh. Allah menciptakan "manusia asali" untuk menjadi pribadi yang penuh, dan karena kepenuhan itulah mereka bisa saling menjadi penolong satu dengan yang lain:
"Pria dan wanita diciptakan 'satu untuk yang lain', bukan seakan-akan Allah membuat mereka sebagai manusia setengah-setengah dan tidak lengkap, melainkan la menciptakan mereka untuk satu persekutuan pribadi, sehingga kedua orang itu dapat menjadi 'penolong' satu untuk yang lain." (KGK 372)

Kepenuhan ini dikehendaki Allah, kepenuhan ini berakar dan bersumber dari persahabatan sejati antara Allah dan manusia.
"Manusia pertama diciptakan sebagai makhluk yang baik dan ditempatkan dalam persahabatan dengan Penciptanya dan dalam keselarasan dengan diri sendiri dan dengan ciptaan yang berada di sekitarnya." (KGK 374)

Keadaan ini disebut "Original Justice," yang dalam Katekismus disebut sebagai "Keadilan Purba."
Menarik istilah ini jarang keluar dalam bahasan Teologi Tubuh, tetapi bukan sama sekali tidak disentuh. Bisa dibilang, "Original Justice" adalah kesempurnaan penciptaan manusia pada awalnya, ketika "Kesendirian Asali" (Original Solitude), "Ketelanjangan Asali" (Original Nakedness) dan "Kebersatuan Asali" (Original Unity) dihidupi oleh "Manusia Asali" (Original Man). [lihat catatan kaki]
"Oleh sinar rahmat ini kehidupan manusiawi diperkuat menurut segala aspek. Selama manusia tinggal dalam hubungan erat dengan Allah, ia tidak perlu mati atau bersengsara. Keselarasan batin dari pribadi manusiawi, keselarasan antara pria dan wanita, dan keselarasan antara pasangan suami isteri pertama dan seluruh ciptaan merupakan keadaan yang dinamakan 'keadilan purba."' (KGK 376)

Merenungkan ini, memberi arti dan wawasan baru akan makna "keadilan." Keadilan bukan sekedar istilah politik, bukan sekedar istilah yuridis, bukan sesuatu yang negatif seperti biasanya kerap kita rasakan.. Keadilan adalah memenuhi rencana dan dipenuhi oleh kasih Allah.
Ini bisa menjadi bahan permenungan tersendiri, yang mungkin bisa kita kupas pada lain kesempatan.

Bagian terakhir dari Katekismus hari ke-56 ini juga sangat menyentak, yaitu rahmat yang diberikan Allah kepada manusia untuk menguasai alam.
Bekerja mengolah dan menjaga Firdaus bukanlah suatu beban, melainkan rahmat. Manusia dilibatkan sebagai "rekan sekerja Allah" sejak awal mulanya. Manusia bukan hanya citra Allah dalam hal pribadi maupun dalam communio, tetapi juga dalam karya.
Tidak bisa dipungkiri, kejatuhan manusia dalam dosa membuat kita menjadi "tiran" atas ciptaan.
Hewan, yang walaupun tidak sepadan dengan manusia, diciptakan Allah sebagai "penolong." Dosa menjadikan alam semesta sebagai komoditas.

Tetapi yang paling menyentak adalah, bahwa perintah untuk menguasai alam semesta, berarti juga kemampuan dan mandat Allah kepada manusia untuk pertama-tama "menguasai dirinya sendiri."
"'Kekuasaan' atas dunia yang diberikan oleh Allah kepada manusia sejak awal, dilaksanakan pada tempat pertama sekali di dalam manusia itu sendiri yaitu kekuasaan atas diri sendiri. Manusia dalam seluruh kodratnya utuh dan teratur, karena ia bebas dari tiga macam hawa nafsu, yang membuat dia menjadi hamba kenikmatan hawa nafsu, ketamakan akan harta duniawi, dan penonjolan diri yang bertentangan dengan petunjuk akal budi." (KGK 377)
Ini adalah rahmat, tetapi juga sekaligus adalah mandat yang diberikan Allah kepada manusia.

Bagi saya, kutipan ini sangat menggelisahkan dan membuka wawasan akan kejatuhan manusia ke dalam dosa, ke dalam drama "Manusia Historis" (Historical Man).
Kejatuhan manusia dimulai, bukan ketika ia berpegang terlalu erat pada "kekuasaan" yang diberikan Allah. Lucunya itu semua dimulai ketika manusia berhenti berpegang pada "kekuasaan" itu, membiarkan dirinya dikuasai oleh ular, yang ditemukan manusia sebagai "tidak sepadan." Dan sejak itu, kita hidup dengan berpegang erat-erat pada "kekuasaan" palsu yang berusaha kita raih sendiri, karena manusia telah merusak "kekuasaan" mula-mula yang diberikan Allah. Serpihan-serpihan itu masih ada, kuasa itu tidak sepenuhnya hilang, tapi berpegang pada serpihan saja tidak cukup. Manusia sering kali menjadi "tiran" karena berusaha melengkapi serpihan-serpihan yang hilang dengan apa yang tidak berasal dari Allah.

Inipun membuka wawasan baru kepada makna "kekuasaan." Betapa jauh berbeda makna "kekuasaan" yang kita kenal sekarang, yang terlintas di benak saya tanpa saya sadari selama ini, dari apa yang diberikan Allah "pada mulanya."

Di hari-hari mendatang kita akan masuki drama "Manusia Historis" dalam terang Katekismus Gereja Katolik.

---------------------------------------------------

Istilah-istilah tersebut digunakan Paus Yohanes Paulus II dalam katekisasinya tentang Teologi Tubuh yang disampaikan lewat 129 kali audiensi umumnya dari September 1979 sampai November 1984.
Beberapa literatur pengantar Teologi Tubuh dalam bahasa Indonesia lihat:


1. Lihatlah Tubuhku: Membebaskan Seks Bersama Yohanes Paulus II, Deshi Ramadhani SJ, Kanisius 2010.













 2. You Deserve The Truth: Tidak Semua Yang Kamu Dengar Itu Benar Adanya, FLAMMA 2011.

Rabu, 19 Desember 2012

Katekismus Sepanjang Tahun Iman 3




Hari ke-21 dan ke-24 sejak 11 Oktober 2012, menjadi bahan perenungan yang ketiga.

Bacaan Katekismus beberapa hari ini tentang iman, apa itu iman, bagaimana Allah menyatakan diri dan bagaimana manusia menanggapi.

Tapi hari ini istimewa, ada kutipan yang menancap sekaligus menghangatkan hati.

"Melalui iman, manusia menaklukkan seluruh pikiran dan kehendaknya kepada Allah. Dengan segenap pribadinya manusia menyetujui Allah yang mewahyukan Diri. Kitab Suci menamakan jawaban manusia atas undangan Tuhan yang mewahyukan Diri itu 'ketaatan iman'". (KGK 143)

"Taat [obedience (Ing), ob-audire (Lat)] dalam iman berarti menaklukkan diri dengan sukarela kepada Sabda yang didengar, karena kebenarannya sudah dijamin oleh Allah, yang adalah kebenaran itu sendiri. Sebagai contoh ketaatan ini Kitab Suci menempatkan Abraham di depan kita. Perawan Maria melaksanakannya atas cara yang paling sempurna." (KGK 144)

Saya cukup dikagetkan dengan kata-kata yang keras tentang ketaatan iman, akan obedience.
Ini sungguh pokok masalah dan inti dari beriman. Mendengar dan mengetahui saja tidak cukup. Iman menuntut ketaatan, ob-audire, tunduk dibawah apa yang didengar. Beriman berarti memikul konsekwensi untuk menaklukkan diri, senantiasa merendahkan diri, mengubah bukan cuma pola pikir, tapi juga hidup, tindakan, prioritas, kehendak, keinginan, hobi. Dan ini sulit, kebenaran adalah cermin jernih yang memperlihatkan segala kelemahan kita. Sering kali kita berusaha tidak perduli atau menutupi daripada menaklukkan diri untuk berubah.
Tetapi kata kuncinya adalah "sukarela."

Sukarela, ketika saya membaca kata ini, terasa betapa Allah begitu menghormati dan mengasihi kita. Dia bisa memaksa kita taat. Tapi yang Dia tawarkan adalah undangan. Kalau tidak dilakukan secara sukarela, kita tidak mungkin menjadi lebih baik. Perubahan tidak akan pernah terjadi tanpa keputusan untuk mengubah diri terlebih dahulu. Perubahan yang dipaksakan dari luar hanya akan menimbulkan resistensi, penolakan, atau perubahan yang dangkal.
Selain itu terasa betapa Dia mempercayai kita bahwa dengan rahmat, kita mampu. Ia memberi kita kepercayaan diri, "I know you can because I say to you: you can! Now get up and walk!"
Tapi ini bisa kadang bisa terasa keras. "Aku ingin dikasihani, gak lihat apa gue malang?" Dan jawaban yang diberikan Yesus adalah, "Jangan manja!"

Ada lagi di Katekismus cuplikan yang menurut saya indah:
"Iman adalah satu anugerah rahmat yang Allah berikan kepada manusia. Kita dapat kehilangan anugerah yang tak ternilai itu. Santo Paulus memperingatkan Timotius mengenai hal itu: 'Hendaklah engkau memperjuangkan perjuangan yang baik dengan iman dan hati nurani yang murni. Beberapa orang telah menolak hati nuraninya yang murni itu, dan karena itu kandaslah iman mereka' (1 Tim 1:18-19). Supaya dapat hidup dalam iman, dapat tumbuh dan dapat bertahan sampai akhir, kita harus memupuknya dengan Sabda Allah dan minta kepada Tuhan supaya, menumbuhkan iman itu. Ia harus "bekerja oleh kasih" (Gal 5:6), ditopang oleh pengharapan dan berakar dalam iman Gereja." (KGK 162)

Di sini iman diumpamakan seperti sebutir benih yang di tanam di sebuah ladang. Kutipan ini mengingatkan gw pada banyak perumpamaan Yesus, seperti misalnya tentang benih yang jatuh di berbagai jenis tanah. Juga mengingatkan gw pada jari-jari roda pertumbuhan rohani (Sabda Allah, Komunitas, Pelayanan, Doa yang berporos pada Sakramen-sakramen utamanya Ekaristi).
Benih yang tidak dirawat bisa mati. Kita perlu merawatnya dengan memberinya pupuk, memberinya cuaca dan iklim yang baik, digemburkan tanahnya, dilindungi, dan ditanam di tanah yang tepat.

Pupuk yang perlu kita berikan adalah Sabda Allah. Kalau kita baca hari-hari sebelumnya, Katekismus bicara banyak tentang Sabda Allah ini. Sabda Allah adalah Yesus Kristus sendiri. Maka kita harus banyak memupuk iman dengan Yesus, dengan bergaul akrab dengan-Nya. Berdoa, berjumpa dengan-Nya dalam Ekaristi, dan juga lewat Kitab Suci. Katekismus hari-hari sebelumnya banyak bicara tentang Sabda Allah ini, secara istimewa bagaimana Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium Gereja membentuk satu kesatuan yang menampilkan Sabda Allah.

Tapi pupuk saja tidak cukup. Petani tahu betul, walaupun sudah berusaha keras mengusahakan, perlu rahmat berupa iklim dan cuaca yang baik. Bertani adalah karya Tuhan sekaligus karya manusia. Allah yang menyuburkan dan menumbuhkan tanaman lewat hujan dan cahaya matahari, membawa serbuk sari lewat angin, menudungi tanaman dengan awan. Allah yang menumbuhkan benih itu supaya bertunas. Manusia tidak bisa menciptakan kehidupan, hanya Allah yang mampu.
Maka kita harus senantiasa menyadari, bahwa selain menjadi seperti Martha yang bekerja keras, kita perlu juga menjadi seperti Maria yang duduk di kaki Tuhan untuk membiarkan Tuhan berbicara kepada kita, membiarkan diri kita dikasihi Tuhan. Sering kali, saya juga alami, kita berusaha terlalu keras bagi Allah, akibatnya justru Allah sendiri kita lupakan dan prioritas kita menjadi berantakan.

Benihnya sudah dipupuk, sudah dihadapkan kepada matahari dan hujan, sekarang kita perlu mengolah lingkungan sekitar benih itu.
Tanah sekitar benih itu harus dikerjakan supaya gembur. Bagaimana caranya? "Bekerja oleh kasih."
Bukan cuma fokus pada relasi pribadi kita dengan Tuhan, tapi dari kelimpahan cinta yang diberikan Allah, hati kita akan dinyalakan untuk sesama kita.
Bekerja oleh kasih, berfokus pada orang lain, relasi di sekitar kita, orang-orang yang membutuhkan di sekitar kita.
Sering kali, saya juga berkilah, "Ya Tuhan, gue sendiri aja masih perlu diolah, repot amat mesti ngurusin orang lain?"
Tapi ternyata dengan menutup diri dari kebutuhan orang lain, sata membuat tanah tempat benih iman gw sendiri menjadi keras, gak gembur.
Karena itu kita butuh melayani orang lain, terlibat dalam pelayanan, memiliki relasi dengan orang lain, hidup berkomunitas.

Benih yang baru mulai bersemai ini perlu dilindungi. Angin kencang bisa menerjang lalu mungkin benih ini akan tercabut atau patah. Struktur yang melindungi dan menopangnya adalah pengharapan. Harapan membangkitkan mimpi, dreams, passion.
Tapi saya dulu gak menyadari ternyata hal-hal ini penting. "Ya udahlah hidup mau dibawa kemana terserah, yang penting gw hidup baik, yang penting jadi kudus sisanya gak usah dipikirin."
Tapi... ternyata pengudusan bukan sesuatu yang abstrak begitu aja. Sedikit banyak Allah sudah memberi bisikan-bisikan kecil ke mana saya harus melangkah, tapi saya anggap tidak penting karena merasa tidak perlu punya mimpi untuk masuk surga. 
Gua gak bilang saya dah menemukan mimpi saya apa. Tapi setidaknya sudah mulai menyadari bahwa saya perlu meninggalkan pola pikir saya yang lama dan mencoba mendekap yang baru. Orang takut kehilangan mimpi... tapi meninggalkan "dunia tanpa mimpi" supaya punya mimpi juga menakutkan... That means, I have responsibility and need to start moving, dan saat jalurnya berkabut, ketakutan itu makin kuat.
"Don't be afraid," kata mendiang Paus Yohanes Paulus II, betapa saya butuh kata-kata itu.

Terakhir, tapi yang tidak kalah pentingnya, pilihan jenis tanah sebagai media tanam kita harus tepat.
Anda mau iman Anda berakar di mana? Selokan, oli, bensin, agar-agar, pasir, atau tanah yang subur dan gembur?
Tanah subur dan gembur yang tepat adalah: iman Gereja.
Dengan kata lain kita mempercayakan iman kita kepada Gereja. Dari tanah ini benih iman kita akan menerima nutrisinya.
Mempercayakan iman Anda tumbuh di media tanam yang sudah melewati sejarah 2000 tahun menginjili dunia, menampung kebijakan para kudus dan orang-orang cerdas, penuh nutrisi orang-orang yang semangat melayani Tuhan, memiliki ajaran yang jelas dan tegas seperti misalnya tercurah dalam Katekismus Gereja Katolik yang Anda baca, tentunya pilihan yang tepat wahai saudara-saudari!
Media tanam ini mengingatkan kita juga, bahwa iman tidak sampai kepada kita dari nol. Tanah yang baik adalah tanah yang merupakan endapan organik kehidupan sebelumnya. Iman kita adalah warisan terbaik, bukan sekedar obyek eksperimen yang bisa kita definisikan dan bongkar pasang sesuka kita. Di tanam pada tanah yang salah, benih ini bisa mati, atau kalau tidak mati, tidak berbuah atau menghasilkan buah yang jelek.
Katolik pro-choice misalnya (yang mendukung aborsi)? 
Mungkin karena benih imannya tidak berakar di media yang tepat, terlalu banyak unsur hara kebijaksanaan Gereja yang dibuang atau dirusak oleh pupuk kimia a-la media masa cap Paris Hilton.

Demikian dari saya.
Bagaimana pengalaman Katekismus Anda akhir-akhir ini?

Treasuring Womanhood - Renungan Harian Wanita 2013



TW2013: BERJIARAH BERSAMA MARIA

Dalam pemahaman kebijaksanaan orang Jawa, jiarah berarti siji sing diarah, atau satu yang dituju, yaitu Allah. Pemahaman ini menjadi bernilai kristiani ketika Allah yang dipahami adalah Allah Mahacinta. Selain itu, dipahami pula bahwa dalam jiarah ada proses, ada pergumulan, ada jatuh bangun. Untuk itu, dibutuhkan panduan dan kekuatan. Dalam konteks pejiarahan hidup dan iman itu, kehadiran buku renungan ini akan sungguh berarti, yaitu menemani pejiarahan iman para pembacanya.
Pun, kiranya, sangat tepatlah dikatakan oleh para editor bahwa Treasuring Womanhood 2013 ini ‘dipersembahkan kepada Bunda Maria’, bukan hanya karena Maria adalah seorang perempuan, melainkan lebih karena Maria adalah Bunda dan teladan umat beriman. Secara implisit dikatakan bahwa pokok-pokok renungan yang ada di dalam buku ini bisa mengajak kaum perempuan menjadi seperti Maria, yang “menyimpan segala perkara itu di dalam hatinya dan merenungkannya.” (Luk 2: 19).
(Al. Andang L. Binawan, SJ – Vikep KAJ, tentang Treasuring Womanhood 2013)

Miliki segera...!
TREASURING WOMANHOOD 2013
  • Renungan Harian Wanita, berdasarkan Kalender Liturgi 2013
  • Ditulis oleh 13 wanita dari berbagai latar belakang: dokter, guru, wanita karier, wirausaha, mahasiswi, pewarta, single, ibu rumah tangga, selibat.
  • Tepat dijadikan sebagai hadiah Natal bagi ibu/adik/kakak/sahabat/teman/ relasi Anda.
  • Diterbitkan ke-empat kalinya oleh Domus Cordis (kali ini di bawah bendera FLAMMA Publishing)
Harga @Rp.55.000,- (belum termasuk ongkos kirim)
Pemesanan hubungi:
Amy: 0818 980636 / Amy_jobs@yahoo.com
Cherry: 0812 63793258 / Cherry.cj12@yahoo.com
Domus Cordis Center: 021-4585 3444 (jam kerja) / literature@domuscordis.org

Sabtu, 15 Desember 2012

Katekismus sepanjang Tahun Iman 2



Pada hari ke-4 (13 Oktober 2012) saya menerima kutipan Katekismus yang ingin saya bagikan lagi.
Dengan ini dimulailah perjalanan memasuki pengakuan iman kita, semua berawal dari kata "Aku percaya."
Apa artinya "percaya"? Apa sih yang kupercayai/imani?
"Kepercayaan (iman) adalah jawaban manusia kepada Allah yang mewahyukan dan memberikan Diri kepada manusia dan dengan demikian memberikan kepenuhan sinar kepada dia yang sedang mencari arti terakhir kehidupannya." (KGK 26)
Maka dimulailah perenungan secara berturut-turut:
1. Manusia mencari Allah, sebuah kerinduan akan Yang Ilahi yang secara alami ada dalam diri setiap orang.
2. Allah mewahyukan diri-Nya dan menjumpai manusia.
3. Jawaban manusia atas wahyu Allah.

Ketiga hal ini yang akan direnungkan dalam beberapa hari ke depan, dimulai dengan perenungan akan kerinduan manusia akan Allah. Mengapa?
"Kerinduan akan Allah sudah terukir dalam hati manusia karena manusia diciptakan oleh Allah dan untuk Allah." (KGK 27).

Tapi yang paling saya sukai adalah kalimat yang lebih kemudian dari KGK 27: "Makna paling luhur martabat manusia terletak pada panggilannya untuk memasuki persekutuan dengan Allah."
Kata "martabat" dalam kalimat ini membuat saya berhenti sejenak ketika membacanya... ada sesuatu yang kuat bergema di situ..
Ada perasaan senang, eureka, agung, megah, lega, terhibur ketika membacanya kata "martabat" di situ.
Jujur saja, ketika membacanya ada perasaan yang meluap-luap.. tapi ketika berusaha menuliskannya, rasanya gelap, bingung, perasaan apa yang sebenarnya bergejolak.

Why? I'm not sure myself..
Mungkin karena sekelebat merasa, bahwa Allah menjadikan saya, demi sebuah relationship dengan diri-Nya.
Entah kenapa, menjadi sekedar gambar dan citra Allah, tidak cukup berarti bagi-Nya. Kita bukan sekedar imitasi atau refleksi rupa seorang pribadi. Patung Bung Karno juga gambar dan rupa Bung Karno.
Tapi, bagi Allah, undangan untuk bersekutu dengan-Nya adalah alasan mengapa kita diciptakan serupa dan secitra dengan-Nya. Dan pernyataan bahwa kita diciptakan dari "kelimpahan kasih-Nya" seolah menjadi "masuk akal."
Mungkin karena saat ini saya sedang memperjuangkan relationship itu, sedang berada di titik nadir, dan sungguh sangat meneguhkan dan melegakan bahwa Allah melihatnya bukan sebagai sesuatu yang sia-sia atau trivial.. melainkan sebagai makna martabat tertinggi saya...

Ada sesuatu yang "klik" buat saya pribadi dalam kalimat itu. Sulit diungkapkan apa. Tapi ada sesuatu yang bergerak karenanya, kalau meminjam istilah Ignasius Loyola.

Katekismus sepanjang Tahun Iman 1


Selama Tahun Iman ini, saya subscribe sebuah layanan email yang setiap hari memberikan kutipan Katekismus Gereja Katolik (KGK). Apa yang saya publikasi dalam blog ini, mungkin terhitung terlambat, sebab sebelumnya apa yang saya tuliskan adalah untuk teman-teman saya di milis. Tetapi tidak ada salahnya juga saya taruh di blog.

Membaca kutipan hari-1 (10 Oktober 2012), sungguh 'nampol' bahwa seluruh rangkaian Katekismus dibuka dengan kata-kata indah tentang tujuan hidup manusia. Tidak lain dan tidak bukan, landasan formasi dan apostolate kita, "Allah dalam Dirinya sendiri sempurna dan bahagia tanpa Batas. Berdasarkan keputusan-Nya yang dibuat Karena kebaikan semata-mata, Ia telah menciptakan manusia dengan kehendak bebas, supaya manusia itu dapat mengambil bagian dalam kehidupan-Nya yang bahagia. Karena itu, pada setup saat dan di mana-mana Ia dekat dengan manusia. Ia memanggil manusia dan menolongnya untuk mencari-Nya, untuk mengenal-Nya, dan untuk mencintai-Nya dengan segala kekuatannya." (KGK 1)

Katekismus dibuka dengan memaparkan rencana Allah yang dari kelimpahan kasih-Nya menciptakan manusia untuk bahagia bersama-Nya. Setia pada kehendak-Nya itu, Ia mengutus Putra-Nya dan memanggil orang-orang yang diutus-Nya sebagai rasul untuk mewartakan kabar ini kepada semua orang, dan meneruskan serta mewariskan secara setia dari generasi ke generasi, dalam persekutuan persaudaraan, dan merayakannya dalam liturgi dan doa. (KGK 1-3)

Amazing.. dalam 3 paragraf, Katekismus meringkas seluruh sejarah keselamatan dan rencana terdalam yang ada di dalam hati Allah.

Juga menarik, bahwa katekese (pewarisan iman), bukan sekedar mewariskan risalah, kalimat-kalimat, atau ajaran-ajaran seperti sebuah perpustakaan. Katekese adalah usaha pemuridan, "menjadikan manusia murid-murid Kristus; ... membantu mereka agar dapat percaya bahwa Yesus adalah Putera Allah, supaya dengan perantaraan iman itu mereka memperoleh kehidupan dalam nama-Nya." (KGK 4)
Untuk ini Gereja berusaha sekuat mungkin untuk menyampaikan warisan iman dengan teratur, dengan sistematis, dengan organis, bukan supaya kita hapal, melainkan "dengan maksud mengantar para pendengar memasuki kepenuhan kehidupan Kristen." (KGK 5)

Kepenuhan kehidupan Kristen.. wow, bukan sekedar di kepala, bukan sekedar hapal, tapi sebuah formasi menjadi seorang murid. Karena itu hal-hal berikut ini sangat berhubungan dengan pewarisan iman (katekese), sangat mempengaruhi kehidupan kita:
"pewartaan perintis tentang Injil, artinya khotbah misioner demi membangkitkan iman; mencari sebab-sebab untuk beriman (dengan kata lain, penjelasan dan alasan logis); mengalami kehidupan Kristen; merayakan Sakramen-sakramen; diterima dalam persekutuan Gereja serta memberikan kesaksian apostolik dan misioner." (KGK 6)

Dalam lingkup mini, semua itu berusaha kita hidupi juga dalam kehidupan berkomunitas, bukan sekedar untuk menerima tetapi bahkan untuk juga siap memberikan kepada teman-teman muda dalam Gereja: mewartakan Injil, belajar memahami ajaran Gereja (Theology of the Body misalnya), mengalami kehidupan berkomunitas, menghidupi Sakramen, integrasi dalam Gereja di Jakarta, dan memberikan kesaksian apostolik dan misioner lewat karya-karya apostolate.

Hal amazing lain yang saya baca adalah, "Periode pembaharuan Gereja adalah juga musim berkembangnya katekese." (KGK 7) Gereja yang dinamis, yang kuat, yang kokoh, jatuh dan bangun bersama katekese. Ketika katekese lemah, Gereja menjadi lemah. Ketika katekese kuat, Gereja menjadi kuat.
Mengingatkan kita juga akan komunitas kita. Ketika katekese (formasi) lemah, seluruh komunitas akan lemah, kalau kuat, komunitas akan kuat.
Tapi itu tidak cukup, kita mau berkontribusi bagi Gereja, bagi orang muda. Bagaimana bisa kalau kita sendiri tidak bersedia menerima katekese yang kuat, matang dan dalam lewat Sabda Tuhan, Ajaran Gereja, hidup berkomunitas, Sakramen-sakramen?


Bagi teman-teman yang penasaran, Katekismus Gereja Katolik itu ngomong apaan, apa aja yang tercakup di dalamnya, berikut adalah gambaran besarnya (KGK 13):
1. Bagian pertama, mengenai iman yang kita akui dalam pembaptisan, yang disusun dalam kerangka Syahadat.
2. Bagian kedua, mengenai Sakramen-sakramen, yang melaluinya "keselamatan, yang dikerjakan satu kali untuk selama-lamanya oleh Allah melalui Yesus Kristus dalam Roh Kudus itu, dihadirkan bagi kita."
3. Bagian ketiga, bagaimana kita hidup dalam iman: apa "tujuan akhir manusia yang diciptakan menurut citra Allah: kebahagiaan," jalan yang harus ditempuh untuk mencapainya, yaitu dengan memenuhi hukum cinta kasih sebagaimana dikembangkan dalam 10 perintah Allah.
4. Bagian keempat, tentang hidup doa, yang tidak bisa tidak, mendasar dalam hidup orang beriman.

Sebagaimana teman-teman lihat, Gereja bukan hanya berusaha mewariskan hal-hal untuk mengisi otak, tapi sangat memperhatikan kehidupan manusia yang penuh: rahasia iman, ibadah, cara hidup dan juga doa.