Selasa, 31 Agustus 2010

Liturgi dan Pembaruan Hidup dalam Roh

Sering kali mereka (dan mungkin sebagian dari kita) yang ada dalam arus pembaruan karismatik, tidak sadar perbedaan antara aspek teologis pembaruan dengan aspek sosiologis pembaruan.

Yang dimaksud aspek sosiologis ini adalah kebiasaan-kebiasaan, tata-cara, kebiasaan kelompok dsbnya.
Sebagai contoh: dua kelompok persekutuan doa karismatik bisa punya ekspresi sosiologis yang sangat berbeda, yang satu pakali lagu kontemporer dengan WL yang menyala-nyala dan pembawa firman yang bersemangat. Kelompok yang satu bisa jadi menggunakan rosario, renungan dan bacaan rohani.
Dalam hal ini, keduanya berada dalam pembaruan dan menampilkan ekspresi yang berbeda.
Amat disayangkan kalau kita sampai mendengar bahwa 'karismatik' diidentikkan dengan aspek sosiologisnya semata sehingga terdengar teriakan "mereka tidak/kurang karismatik."

Maka kita perlu menempatkan artikel Bahasa Lidah Dalam Misa ke dalam konteks yang benar.
Bahasa Roh membangun diri sendiri atau jemaat.
Pemakaian dalam doa pribadi tidak masalah.
Pemakaian dalam PD sudah mulai ada aturannya karena menyangkut keteraturan seluruh komunitas. Seseorang yang datang ke PD lalu berbahasa roh dari awal sampai akhir acara pasti ditegur karena mengganggu.
Namun diantara semua bentuk persekutuan doa, Liturgi Gereja adalah momen paling sakral dan sekaligus berbeda dari segala bentuk doa dan devosi. Karena itu diatur dengan teliti dan dijaga dengan sangat hati-hati. Inilah jantung doa Gereja.

Dalam konteks Liturgi, dimanakah bahasa roh perlu dimasukkan?
Apakah aturan liturgi harus mengatur kebebasan berbahasa roh ataukah sebaliknya?
Saya rasa dalam hal ini kita harus melihat secara obyektif bahwa segala yang baik tidak senantiasa tepat guna dalam segala kesempatan.
Sama seperti Gereja menghargai, mendukung dan mendorong lagu-lagu rohani populer tidak menjadikannya setara dengan lagu-lagu liturgis.
Demikian juga pemakaian bahasa roh secara publik dalam liturgi, dalam pemahaman saya harus tunduk pada norma liturgi yang berlaku.

Dan kita bicara satu lagi yang mungkin berhubungan, yaitu sensitifitas pastoral.
Sering kali istilah pastoral digunakan sebagai istilah selimut untuk memperbolehkan segala macam hal. Tetapi saya pemakaiannya sering kali tidak tepat.
Saya akan contohkan penggunaan Syahadat dalam Misa. Ada 2 rumusan Syahadat, yaitu Syahadat Panjang (Nikea-Konstantinopel) yang merupakan normatif setiap Misa, dan Syahadat Pendek (Para Rasul) yang merupakan sarana katekese dan diberi tempat pada masa Paskah.
Sering kali diberbagai tempat yang saya datangi, hanya digunakan Syahadat Pendek dengan asumsi 'pastoral' umat hanya hafal yang pendek jadi dijadikan kebiasaan.
Tetapi pastoral utamanya bukan mendiskon, bukan melalaikan. Melainkan pastoral yang tepat adalah bagaimana membawa Syahadat Panjang dan Pendek kepada umat, membuat mereka mengerti perbedaan dan pemakaiannya.
Membiarkan umat tidak tahu dengan tidak pernah memakai Syahadat Panjang saya rasa tidak bisa disebut pastoral lagi, melainkan kelalaian. Karena dengan demikian, kita menahan umat pada informasi parsial alih-alih mengarahkan umat dengan penuh pengertian dan hati-hati pada kepenuhan yang seharusnya mereka rasakan.

Dalam hal ini Liturgi secara keseluruhan juga membutuhkan sensitifitas pastoral yang sama.
Bukan membiasakan umat pada kebiasaan salah demi alasan pastoral, melainkan membetulkan dan membiasakan umat pada opsi lain yang lebih tepat walau mungkin berarti meninggalkan kebiasaan yang sudah lama mengakar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar