Sabtu, 11 September 2010

Yang Baku -vs- Yang Bebas

Sering kali kita mendengar berbagai keberatan terhadap teks Liturgi, bahwa teks Liturgi baku dan karenanya menawan, memenjarakan atau membelenggu kebebasan kita berdoa. Kita perlu berdoa lebih bebas, tanpa terikat kata-kata baku. Kalau kita bilang "bersorak-sorai" maka baiklah kita bersorak saat itu juga. Kita perlu bukan hanya mengerti tetapi juga merasakan, mengalami, masuk dalam horizon eksperiensial kita. Pendapat ini banyak kita dengar misalnya dari mereka yang tergerak oleh Pembaruan Hidup dalam Roh Kudus.

Sering kali kita tanpa sadar masuk pada mode pendulum. Berayun dari satu yang esktrim ke ekstrim yang lain. Dalam usaha aktualisasi, kita mengekstrimkan apa yang dirasa baku, berayun kepada kebebasan yang kita asumsikan tak terbatas dan kita harapkan tidak terbelenggu aturan apapun. Toh bagaimanapun luapan doa atau niat baik tak bisa/boleh dibatasi.

Pertama kita harus menjawab bahwa bahasa Liturgi yang baku, sengaja dibakukan karena ada 2 tujuan selain utamanya adalah Doa, teks itu juga adalah Guru. Guru yang mengajar tentang Misteri Ilahi yang hendak dirayakan, konsolidasi teologis Gereja dari zaman ke zaman. Guru ini juga mengajar, menyampaikan sesuatu yang harus kita renungkan dan hayati dan mengubah diri kita.

Jika seseorang berdoa menggunakan Mazmur yang sudah dibakukan dalam Kitab Suci apakah kebebasan orang tersebut direnggut?
Sama sekali tidak!

Memang benar dalam doa spontan Roh Kudus bisa mengilhami kita berdoa dan kita berdoa dengan kebebasan itu.
Tetapi menjadikan Mazmur sebagai doa juga memberi kita kebebasan, yang berbeda dari doa spontan. Kita dibebaskan dari menyusun kata-kata. Kita dipastikan, saya ulangi, dipastikan berdoa dalam inspirasi Roh Kudus karena Roh Kudus yang mengilhami tulisan-tulisan Kitab Suci.
Dan, jika didoakan dengan baik dan benar, doa kita menjadi komunikasi 2 arah: Menggunakan kata-kata yang diilhami Roh Kudus, kita menyampaikan doa kita, diri kita kepada Allah. Di satu sisi, sambil mendoakan kita merenungkan kata-kata yang sama menjadi jawaban dan kata-kata Allah bagi kita. Itulah kehebatan Kitab Suci, itulah sebabnya Lectio Divina sangat powerful.

Dan ini menuntut kita untuk siap diubah lewat kata-kata Mazmur tersebut. Bukan sebaliknya kita yang seolah-olah hendak mengubah Allah dengan berbagai permohonan, harapan dan tujuan yang sudah kita tetapkan dan kita sodorkan pada Allah.
Dan pada akhirnya, Mazmur akan memperkaya perbendaharaan rohani kita dan memperkaya doa-doa spontan dan pribadi kita.
Doa-doa pribadi kita dibentuk menjadi lebih baik oleh Mazmur yang adalah Firman Allah.

Demikian juga doa-doa Gereja, utamanya teks Liturgis, memiliki keistimewaan yang sama.
Ketika menjadikan itu doa kita, pada saat yang sama kita berdoa, belajar, dibentuk oleh Gereja. Kita disatukan dengan seluruh Gereja dimanapun dari segala zaman. Kita diajar, doa-doa kita dibentuk, pengetahuan pribadi kita ditambah, kita menyuarakan suara Gereja sekaligus mendengarkan suara Gereja, Gereja yang adalah Tubuh Mistik Kristus sendiri.
Itulah kehebatan doa-doa Liturgis.
Sama sekali tidak merenggut kebebasan kita. Melainkan malah membebaskan kita.

Doa pribadi dan doa Liturgis (dan juga Kitab Suci), tidak bisa kita pertentangkan sebagai yang satu lebih baik dari yang lain.
Keduanya harus seimbang. Ada saatnya dimana kita mendoakan doa-doa pribadi kita. Namun ada saatnya dimana kita diam dan menyiapkan diri dibentuk oleh Roh Kudus lewat teks Liturgi dan Kitab Suci.

Jadi ini adalah masalah waktu, masalah momen, masalah saat, arena dan area masing-masing supaya keduanya memberikan buah dan hasil yang maksimal. Dalam Liturgi kita membiarkan Gereja membentuk dan mengajar kita dan berdoa bersama seluruh Gereja dalam bahasa Gereja, yang dalam satu sisi bisa kita lihat sebagai 'bahasa baru' yang diberikan Allah kepada Gereja.
Pada kesempatan lain, dalam persekutuan doa, kelompok doa, sel, doa-doa harian dan pribadi, kita menyampaikan doa-doa spontan, gerakan hati, minat dan bakat kita, yang sudah diperkaya dan diairi oleh Liturgi.

Pada akhirnya baik doa pribadi/spontan maupun doa yang menggunakan teks harus selalu dihayati.
Kita harus membawa orang dan diri kita sendiri pada penghayatan ini, setiap saat.
Tidak boleh kita lalai, dan akhirnya malah mengadu domba antara doa spontan dengan doa Liturgis.

Yang menjadi tugas kita yang berada dalam Pembaruan Hidup dalam Roh Kudus adalah membawa orang pada pemahaman ini. Mereka yang tidak familiar dan merasa kaku karena doa-doa Liturgis yang baku, dengan kuasa Roh Kudus, yang menjadi panggilan Pembaruan Hidup dalam Roh, harus kita kobarkan supaya mereka melihat bahwa Liturgi dan teks Liturgi bukanlah sebuah kekang. Melainkan panggilan kepada kemerdekaan Roh. Nilainya dalam, hartanya berharga, airnya jernih, rasanya manis, terdengarnya indah, dan partisipasinya adalah seluruh Gereja.
Dari situ, luapan hati yang mengalir dalam rupa spontanitas akan meluber dengan sendirinya.

Kita tidak bisa memberi apa yang tidak kita punyai.
Kita dipercaya oleh Allah untuk menjaga, menghidupi, menyelami, dan belajar dari khazanah Liturgi, termasuk segala aturan seputar Liturgi yang dimaksudkan agar makna yang hendak disampaikan tidak hilang. Kita harus menimba dan memperkaya diri kita sendiri di dalam khazanah ini.
Baru kemudian kita memiliki sesuatu untuk diberi kepada orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar