Sabtu, 25 Agustus 2012

Liturgy as a Spiritual Battlefield



"We are now in the late stages of the long and vicious war against the human heart... In fact, this is where many people feel abandoned or betrayed by God. They thought that becoming a Christian would somehow end their troubles, or at least reduce them considerably. No one ever told them they were being moved to the front lines, and they seem genuinely shocked at the fact that they've been shot at."
(Wild at Heart - Chapter 5: The Battle for a Man's Heart)

Apa yang terbersit di benak kita ketika mendengar kata "liturgi?"
Apakah tata urutan yang merepotkan? Pernak-pernik yang tidak dikenal namanya? Sesuatu yang sulit dan kaku?
Tapi, apakah terbersit di benak kita bahwa liturgi adalah sebuah medan perang?

Santo Paulus mengatakan bahwa "perjuangan kita bukanlah melawan darah dan daging, tetapi melawan pemerintah-pemerintah, melawan penguasa-penguasa, melawan penghulu-penghulu dunia yang gelap ini, melawan roh-roh jahat di udara." (Efesus 6:12)

Dibaptis menjadi anggota Gereja berarti dibaptis untuk menjadi bagian dari sebuah korps garis depan.
Kita menjadi dinding yang melindungi sesuatu...
Siapa yang kita lindungi? Dunia. Seluruh ciptaan. Manusia. Manusia-manusia lain yang bahkan tidak tahu atau perduli Tuhan itu ada. Orang-orang sekitar kita yang kita tidak tahu dari mana datangnya dan kemana perginya. Orang-orang yang lebih kelihatan seperti musuh daripada sekutu... tetapi yang kekudusannya sebagai "gambar dan rupa Allah harus kita akui."

Dalam tradisi Yahudi, dikatakan bahwa pada setiap zaman Allah membangkitkan orang-orang benar yang karena keberadaan mereka, menopang seluruh dunia sehingga tidak punah. Mengingatkan kita akan kisah Abraham yang bersyafaat bagi Sodom dan Gomora.

Kita ibaratnya orang-orang Lewi yang disisihkan untuk pengudusan Israel, yang maju berperang paling depan membawa Tabut Perjanjian. Gereja adalah kerajaan kaum imam, nabi dan raja yang membawa dunia kepada Allah sekaligus menjadi pasukan garis depan yang membentengi dunia. 

Namun, seperti apa rupa peperangan ini?
Kalau kita jeli membaca Kitab Suci ada hubungan yang sangat istimewa antara peperangan umat Allah dengan liturgi.

Dalam Perjanjian Lama, kita menemukan bebarapa contoh dimana Liturgi mengambil peranan sentral dalam peperangan dan kemenangan umat Allah. 

Tidak bisa dilupakan pembebasan umat Israel dari Mesir yang dilaksanakan dalam konteks perayaan Paskah yang dirayakan turun-temurun dan menemukan penggenapannya dalam Paskah Perjanjian Baru (Keluaran 12:1-20).

Kisah penaklukan kota Yerikho juga sangat kita kenal, bagaimana tembok kota Yerikho runtuh ketika umat Israel berliturgi mengelilingi kota itu (Yosua 5:2-24).

Tetapi tidak ada gambaran yang lebih jelas daripada gambaran yang diberikan oleh Kitab Wahyu, yang merupakan Kitab Liturgi Perjanjian Baru.
Yohanes melihat sebuah Liturgi Surgawi, yang menjadi ajang penghakiman dan pertempuran. Sangkakala dibunyikan, anggur kemurkaan ditumpahkan, api dilemparkan ke bumi, darah dicurahkan dan musuh dihancurkan.

Dalam Kitab Wahyu kita melihat Yesus yang digambarkan sebagai Ksatria Perkasa, Pemenang Jaya, Raja Mulia yang jarang kita lihat dalam Injil:
"Lalu aku melihat sorga terbuka: sesungguhnya, ada seekor kuda putih; dan Ia yang menungganginya bernama: 'Yang Setia dan Yang Benar,' Ia menghakimi dan berperang dengan adil. Dan mata-Nya bagaikan nyala api dan di atas kepala-Nya terdapat banyak mahkota dan pada-Nya ada tertulis suatu nama yang tidak diketahui seorangpun, kecuali Ia sendiri. Dan Ia memakai jubah yang telah dicelup dalam darah dan nama-Nya ialah: 'Firman Allah.' Dan semua pasukan yang di sorga mengikuti Dia; mereka menunggang kuda putih dan memakai lenan halus yang putih bersih. Dan dari mulut-Nya keluarlah sebilah pedang tajam yang akan memukul segala bangsa. Dan Ia akan menggembalakan mereka dengan gada besi dan Ia akan memeras anggur dalam kilangan anggur, yaitu kegeraman murka Allah, Yang Mahakuasa. Dan pada jubah-Nya dan paha-Nya tertulis suatu nama, yaitu: 'Raja segala raja dan Tuan di atas segala tuan.' Lalu aku melihat seorang malaikat berdiri di dalam matahari dan ia berseru dengan suara nyaring kepada semua burung yang terbang di tengah langit, katanya: 'Marilah ke sini dan berkumpullah untuk turut dalam perjamuan Allah, perjamuan yang besar, supaya kamu makan daging semua raja dan daging semua panglima dan daging semua pahlawan dan daging semua kuda dan daging semua penunggangnya dan daging semua orang, baik yang merdeka maupun hamba, baik yang kecil maupun yang besar.' Dan aku melihat binatang itu dan raja-raja di bumi serta tentara-tentara mereka telah berkumpul untuk melakukan peperangan melawan Penunggang kuda itu dan tentara-Nya. Maka tertangkaplah binatang itu dan bersama-sama dengan dia nabi palsu, yang telah mengadakan tanda-tanda di depan matanya, dan dengan demikian ia menyesatkan mereka yang telah menerima tanda dari binatang itu dan yang telah menyembah patungnya. Keduanya dilemparkan hidup-hidup ke dalam lautan api yang menyala-nyala oleh belerang. Dan semua orang lain dibunuh dengan pedang, yang keluar dari mulut Penunggang kuda itu; dan semua burung kenyang oleh daging mereka." (Wahyu 11:19-21).

Kitab Wahyu menggambarkan Liturgi Surgawi sebagai sebuah Pesta Pernikahan Agung. Tetapi berkaitan erat dengan perayaan pemberian diri seutuhnya menjadi satu daging antara Kristus dan Gereja-Nya, adalah peperangan besar antara kuasa-kuasa surgawi melawan Setan, makhluk ciptaan yang telah jatuh itu, dan malaikat-malaikatnya.

Adalah sangat mengagumkan, menakutkan, sekaligus juga kehormatan yang sangat besar bahwa kehadiran kita dalam Liturgi Anak Domba berarti ambil bagian dalam garis depan pertempuran ini.

Kita berpekik bersama para malaikat yang tak henti-hentinya bermadah: "Kemuliaan kepada Allah di tempat yang mahatinggi" dan juga "Kudus, kudus, kudus Allah semesta alam."

Kita bersorak bersama para Kudus Allah yang berseru: "Anak Domba yang disembelih itu layak untuk menerima kuasa, dan kekayaan, dan hikmat, dan kekuatan, dan hormat, dan kemuliaan, dan puji-pujian!" (Wahyu 5: 12 - Antifon Pembukaan Hari Raya Kristus Raja Semesta Alam).

Tetapi juga, Liturgi adalah cerminan dimana penghakiman kita sudah dilaksanakan. Dimana berkat dan kutuk dalam Perjanjian dihadapkan kepada kita.
"Semuanya telah terjadi. Aku adalah Alfa dan Omega, Yang Awal dan Yang Akhir. Orang yang haus akan Kuberi minum dengan cuma-cuma dari mata air kehidupan. Barangsiapa menang, ia akan memperoleh semuanya ini, dan Aku akan menjadi Allahnya dan ia akan menjadi anak-Ku. Tetapi orang-orang penakut, orang-orang yang tidak percaya, orang-orang keji, orang-orang pembunuh, orang-orang sundal, tukang-tukang sihir, penyembah-penyembah berhala dan semua pendusta, mereka akan mendapat bagian mereka di dalam lautan yang menyala-nyala oleh api dan belerang; inilah kematian yang kedua." (Wahyu 21:6-8).

Maka kita dapat mengerti betapa kerasnya Santo Paulus memperingatkan pentingnya persiapan diri sebelum ambil bagian dalam Pesta Pernikahan Anak Domba ini.
"Sebab setiap kali kamu makan roti ini dan minum cawan ini, kamu memberitakan kematian Tuhan sampai Ia datang. Jadi barangsiapa dengan cara yang tidak layak makan roti atau minum cawan Tuhan, ia berdosa terhadap tubuh dan darah Tuhan. Karena itu hendaklah tiap-tiap orang menguji dirinya sendiri dan baru sesudah itu ia makan roti dan minum dari cawan itu. Karena barangsiapa makan dan minum tanpa mengakui tubuh Tuhan, ia mendatangkan hukuman atas dirinya. Sebab itu banyak di antara kamu yang lemah dan sakit, dan tidak sedikit yang meninggal." (1 Kor 11:26-30).

Namun demikian, sudah dalam Liturgi juga kita ambil bagian dan merasakan kepenuhan akhir yang masih kita harapkan, kemenangan akhir yang dijanjikan Allah kepada kita: " "Haleluya! Karena Tuhan, Allah kita, Yang Mahakuasa, telah menjadi raja. Marilah kita bersukacita dan bersorak-sorai, dan memuliakan Dia! Karena hari perkawinan Anak Domba telah tiba, dan pengantin-Nya telah siap sedia. Dan kepadanya dikaruniakan supaya memakai kain lenan halus yang berkilau-kilauan dan yang putih bersih!" (Wahyu 19:6-8).

Mungkin Ekaristi yang kita lewati sehari-hari tampak membosankan. Mungkin kita tidak cukup membangun dasar yang kokoh untuk menopang kita masuk dalam misteri Allah yang luar biasa dalam Ekaristi. Mungkin kita disibukkan untuk menjadikan perayaan-perayaan Ekaristi kita relevan, menyenangkan, modern. Tetapi, kita tidak menyadari betapa besarnya tanggungjawab, rahmat, kekuatan, kemegahan, kengerian, keagungan yang sesungguhnya ada dibaliknya. Kita sering kali gagal mengenali Allah yang hadir dibalik sosok seorang bayi dari Nazaret yang popoknya basah.

Setiap kali kita ambil bagian dalam perayaan Ekaristi, kita maju ke barisan paling depan dalam sebuah pertempuran rohani yang paling sengit dan kolosal sepanjang sejarah, dan bukan sebagai penonton, melainkan sebagai salah satu pejuang di garis depan.

Kaget kah?
Are you ready?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar