Kamis, 30 Agustus 2012

Dari Pilihan Lagu menuju Makna Terdalam Liturgi


Semua lagu liturgi adalah lagu rohani. Tapi tidak semua lagu rohani adalah lagu liturgi. Sementara itu, lagu-lagu untuk perayaan liturgi, aturannya hanya menggunakan lagu-lagu liturgi.

Lagu liturgi itu apa cirinya? Pertama-tama, paling sederhananya, lagu liturgi adalah teks liturgi yang dinyanyikan.

Teks liturgi dibuat sangat hati-hati atau secara historis memiliki muatan teologis. Jadi bukan sekedar indah. Karena liturgi memiliki 2 tujuan: mengajar sekaligus menyembah Allah.

Analoginya adalah Mazmur dan madah-madah Kitab Suci. Mendaraskan madah-madah ini tidak lain dan tidak bukan memuji Allah sendiri dengan teks yang diinspirasi oleh Roh Kudus. Tapi pada saat bersamaan, mendaraskan/menyanyikan teks ini berarti juga membiarkan Allah bicara dan mengajar kita melalui teks-teks ini.

Pada saat bersamaan, teks liturgi yang disusun Gereja, didsaraskan para kudus dari zaman ke zaman, bertahan melalui berbagai rintangan penindasan dan kesesatan, merupakan karya Roh Kudus dalam Gereja, dan mendaraskan/menyanyikannya kita memuji Allah bersama seluruh Gereja. Tapi pada saat bersamaan, teks ini memiliki muatan dogmatis yang kuat, yang bertujuan mengajar umat beriman akan iman yang benar.

Karena itu, aturan liturgi, misalnya dalam Pedoman Umum Misale Romawi, melarang teks ini diganti dengan apapun. Gereja lebih memilih teks ini didaraskan daripada diganti lagu lain.

Kalau dilagukan, maka musik menjadi hamba teks. Teks harus utuh, musik harus mendukung keindahannya. Tapi mengubah teks demi disesuaikan dengan lagu, dilarang.

Karena itu dalam terang Pedoman Umum Misale Romawi terbaru dan Redemptoris Sacramentum dari Tahta Suci, lagu-lagu liturgis, bahkan yang ada dalam Puji Syukur tidak semuanya bisa dipakai. Lagu yang teksnya mengubah teks liturgis yang ada dalam Misale tidak bisa dipakai.

Semua itu bisa dipakai di luar konteks Misa. Misalnya ibadat sabda, ibadat-ibadat lingkungan dsbnya.

Lagu-lagu rohani kontemporer, pada definisinya termasuk lagu-lagu rohani devosional. Devosi bisa lebih bersifat personal, lebih "ngangkat", lebih "manis," "menyenangkan" dan "hangat." Tetapi devosi dan liturgi, walaupun saling mendukung, memiliki tempat dan porsinya masing-masing.
Selalu ada tempat bagi devosi di luar Liturgi. Namun tujuan akhir devosi harus selalu menjadi persiapan untuk masuk ke dalam liturgi dengan lebih matang, kuat dan dalam.

Yang jadi problem adalah ketika devosi mulai mengerosi liturgi. Ketika ini dilakukan dalam jangka panjang, masalah terjadi.
Liturgi yang merupakan puncak kehidupan rohani menjadi dipahami dengan dangkal.
Sentimen devosional menjadi sesuatu yang dicari, sementara misteri dalam liturgi menjadi sesuatu yang tidak lagi bisa dipahami.
Lingkaran setan pun dimulai, liturgi mulai dirombak untuk berbagai sentimen devosional.

Ditambah lagi dalam situasi umat sekarang, dimana Misa bisa jadi menjadi satu-satunya saat beribadah bagi banyak orang, semua sentimen devosional itu hendak dijejalkan ke dalam liturgi. Satu jam seminggu, kita jejalkan segala hal yang harusnya dibangun perlahan dalam kehidupan rohani sehari-hari, ke dalam liturgi.

Akhirnya bisa ditebak. Liturgi gagal menjadi puncak kehidupan rohani. Sentimen devosional bertabrakan dengan maksud liturgi dan terasa "canggung." Akhirnya tetap saja umat lari ke "seberang sungai." Liturgi pada akhirnya tetap jadi kambing hitam sebagai "oknum jahat" yang perlu direnovasi.

Kalau pake istilah Paulus, ada saatnya kita makan makanan yang ringan, manis, enak, dingin macam devosi-devosi. Tapi makanan yang keras, kita perlukan juga. Dan harus diakui, liturgi itu keras, disiplin, dan kontennya tidak senantiasa "manis" didengar.

Itu sebabnya, katekese liturgi sangat penting. Liturgi bagi Gereja adalah warisan dan tugas mulia untuk dijalankan. Liturgi adalah "Opus Dei" yang dipercayakan Allah kepada Gereja untuk menguduskan dunia dan sejarah. Liturgi adalah partisipasi nyata Gereja dalam Liturgi Ilahi yang dilaksanakan Kristus sendiri dalam Bait Allah Surgawi.

Sedemikian dalamnya, beratnya, mulianya dan besarnya kehormatan yang diterima Gereja untuk melaksanakan Liturgi, yang mampu mengangkat dunia ke surga, sehingga tanpanya Gereja tidak lebih dari sekumpulan organisasi sosial tanpa kuasa surgawi.

Devosi memupuk hubungan pribadi kita dengan Allah.
Tapi liturgi adalah mobilisasi umat Allah menggerakkan sejarah dan menguduskan dunia.

Teologi dibalik masing-masing harus dipahami untuk mendapat perspektif pastoral yang tepat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar