Kamis, 30 Agustus 2012

Seberapa Serius Persiapan Liturgi Kita?


Gereja mengatakan bahwa kehidupan liturgis adalah "puncak" tetapi Katekismus Gereja Katolik 1072 juga mengatakan bahwa "iturgi kudus tidak mencakup seluruh kegiatan Gereja." Dengan kata lain, itu saja tidak cukup. Supaya berbuah, supaya sungguh-sungguh bisa menjadi puncak, diperlukan "penginjilan, iman dan pertobatan harus mendahuluinya."

Di sinilah fungsi devosi, komunitas, pengajaran, sharing, kehidupan rohani, doa harian, dsb menjadi penting.

Penting bagi kita untuk sangat paham dan fasih mengikuti apa yang baku.
Kebanyakan dari kita, jarang sekali mengikuti perayaan liturgis yang mengikuti norma-norma yang sudah ada.
Lebih sedikit lagi yang tahu apa saja norma-normanya. Lebih sedikit lagi yang paham sejarah dan alasanya.

Ibaratnya seorang dokter, harus paham benar prosedur yang baku dan mendasar dalam melakukan diagnosa. Kalau ada mahasiswa kedokteran tingkat 1 yang sudah mulai memberi resep dan memeriksa, apa jadinya?

Penting untuk bisa melaksanakan dengan baik dan benar apa yang mendasar, mempelajari, memahami, mengkaderkan dengan serius.

Bagi orang yang hidup dalam komunitas yang sangat dekat dengan kehidupan liturgis, dan bahkan menyelenggarakan dan mengadakannya bukan cuma untuk komunitas, tetapi juga keluar, sangat penting untuk tidak terjebak dalam sebuah "lingkaran setan."

Lingkaran setan yang dimaksud adalah adaptasi dan eksperimentasi tanpa pengalaman dan pengetahuan mendasar yang kuat. Akibatnya ini menjadi kebiasaan, dan terus dilakukan. Yang baku menjadi momok yang menakutkan tanpa pernah dilakukan dengan baik, "profesional" kata orang. Dan kita puas dengan apa yang tidak ideal, tapi menolak segala gerakan untuk bergerak ke arah yang lebih ideal. "Terlalu repot, susah, butuh latihan banyak, gak ada waktu."

Contoh pastoral kebablasan seperti itu misalnya saja, penggunaan Syahadat Panjang dalam Misa. Berapa banyak umat, ambil saja Jakarta, yang parokinya menggunakan Syahadat Panjang secara reguler?

Alasan pastor paroki, "karena umat tidak terbiasa." Jadi digunakanlah Syahadat Para Rasul terus. Dalam jangka panjang, umat bukan hanya tidak terbiasa, tapi "lupa ingatan" ada Syahadat Panjang, bahkan resisten.
Kalau digunakan, ngomel, "kan gak hapal, gak biasa, aneh ah."
Ya, gak pernah dibiasakan kapan akan terbiasa?

Apa yang harusnya menjadi kekayaan doa bagi umat, hak umat, malah akibatnya tidak pernah sampai ke umat.

Bicara jujur saja, Puji Syukur setebal itu, tiap minggu koor cuma nyanyi lagu yang mana? Bisa ditebak. Kemudian muncul komplain, "bosan." Tapi kalau latihan lagu baru "susah, gak bisa, gak pernah dipakai." Muncul berbagai terbitan lagu-lagu baru, Madah Bakti edisi tahun 2000, Cantate Domino, dsb. Berapa banyak yang pakai? Berapa banyak yang latih?

Ini saya rasa berlaku juga untuk komunitas, baik dalam pelayanan ke dalam dan keluar.
Dalam pelayanan ke dalam, apa terjebak dengan resistensi untuk latihan lagu liturgi? Biasanya mempersiapkan diri untuk PD, KRK jauh lebih serius daripada Misa. Misa sudah jadi rutinitas, h-1 kelabakan, lagu pakai aja yang sudah pada bisa, yang penting ada lagu.
Tapi luar biasa usaha kita untuk "up to date" lagu-lagu populer terbaru, bahkan mempelajarinya untuk sel.

Pelayanan ke luar, apa menjadi batu sandungan bagi umat lain? Misa komunitas kami hanya yang model begini, sehingga misa dengan mengikuti kaidah yang berlaku seolah haram dan meredupkan cahaya komunitas. Kita tidak memberikan pengalaman berliturgi yang baik ke luar, tapi di dalam juga tidak bisa karena ada resistensi.

Pelayanan ke luar harus menjadi buah dari formasi dalam komunitas. Kita tidak bisa memberi ke orang lain pengalaman otentik berliturgi, mengajar mereka, membuat mereka terkagum akan kedalaman misteri dalam liturgi, akan kebesaran makna dan konsekwensi liturgi, kalau ke dalam kita sendiri tidak memiliki itu semua.

Jika kita terbiasa dengan liturgi yang suam, pelayanan kita tidak lebih dari menyajikan liturgi yang suam. Jika kita tidak memahami nilai dan misteri liturgi, kita tidak bisa membuka mata orang lain kepada nilai dan misteri liturgi. Jika kita memilih hanya menikmati satu aspek dari liturgi, kesembuhan misalnya, tapi tidak berusaha masuk ke aspek lainnya, penghakiman misalnya, kita juga menyajikan parsial kepada orang lain. Jika kita tidak membiasakan diri untuk berliturgi dengan serius, orang akan melihat dari penampilan, sikap, gerak-gerik, pembawaan kita.

Dalam keadaan stagnat seperti ini, justru dalam komunitas, dimana formasi bisa berjalan, hal-hal seperti ini lebih bisa diperbaiki. Karena apa yang digodok di dalam, itulah yang kita bawa keluar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar