Rabu, 17 November 2010

Hari Raya Kristus Raja 2010

Setiap orang memiliki gambaran yang paling disukainya akan Allah. Mungkin karena dalam kehidupan kita, kita dijamah oleh Allah secara khusus dan figur-Nya saat itu menjadi yang paling terpatri dalam batin kita. Allah yang menyembuhkan, Allah yang penuh kasih, Allah yang perkasa, Allah yang sangat dekat dengan kita.

Dalam kehidupan liturgi, Gereja secara hati-hati membawa kepada umat berbagai gambaran Allah dalam sejarah keselamatan. Dan sering kali, kita dikejutkan oleh gambaran yang Allah yang kurang kita kenal, atau tidak berusaha untuk kenal. Namun disinilah kebijaksanaan Gereja bersinar. Lewat tahun liturgi kita berjumpa dengan diri Allah sebagaimana diwartakan Kitab Suci.

Menjelang Hari Raya Kristus Raja Semesta Alam, Gereja mengajak kita bertatap muka dengan pribadi Allah dalam Yesus Kristus secara istimewa.

Liturgi hari ini dibuka dengan Introit yang langsung memberikan tenor perayaan, diambil dari Kitab Wahyu:
"Pantaslah Anak Domba yang disembelih itu menerima kuasa dan kekayaan, dan hikmat, dan kekuatan dah hormat. Bagi Dialah kemuliaan dan kuasa sampai selama-lamanya." (Wahyu 5:12; 1:6).

Kita yang bergaul cukup banyak dengan Kitab Wahyu pasti teringat adegan sangat dramatis yang menjadi konteks kutipan tersebut. Deru kilat dan guntur memenuhi surga, 24 tua-tua duduk di atas takhta, 4 makhluk ilahi masing-masing berkepala burung nasar, singa, lembu dan manusia bersorak tak henti, "kudus, kudus, kuduslah Tuhan Allah, Yang Mahakuasa, yang sudah ada dan yang ada dan yang akan datang."(Wahyu 4:8) di hadapan takhta Allah.

Kemudian Dia yang duduk di takhta itu menyerahkan sebuah kitab yang disegel dengan 7 meterai. Tiada yang dapat membukanya baik di surga dan dibumi. Sampai datang, Anak Domba seperti telah disembelih, bertanduk dan bermata tujuh. Ketika Anak Domba itu mengambil gulungan kitab itu seluruh isi surga tersungkur di hadapan Anak Domba itu, melagukan pujian. Dan kemudian bergemalah, introit yang kita dengar pada awal Misa Kristus Raja: "Anak Domba yang disembelih itu layak untuk menerima kuasa, dan kekayaan, dan hikmat, dan kekuatan, dan hormat, dan kemuliaan, dan puji-pujian! Bagi Dia yang Duduk di atas takhta dan bagi Anak Domba, adalah puji-pujian dan hormat dan kemuliaan dan kuasa sampai selama-lamanya! Amin!" (Why 5:11,13,14).

Sabda Allah ini sudah menghempaskan kita ke suatu kenyataan yang luar biasa. Suatu keagungan dan kemegahan, suatu kengerian, sebab Anak Domba itu akan datang untuk menjadi pemenang, Ia akan mengadili semua makhluk dan akan menaklukkan segalanya, termasuk maut dibawah kaki-Nya.

Gereja mengajak kita bertemu dengan Anak Domba yang hidup walau sudah disembelih, bermata tujuh, bertanduk tujuh, yang membuat seluruh surga tersungkur, dan yang akan menjadi penakluk sejati. Kita bertemu dengan Allah yang perkasa, Hakim yang tertinggi.

Gambaran Allah seperti itu mampu membangkitkan bulu kuduk dan membuat kita tersungkur takut. Namun, Mazmur hari ini juga mengungkapkan kegembiraan, Mazmur 122, yang berseru: "Aku bersukacita ketika dikatakan orang kepadaku, 'Mari kita pergi ke rumah TUHAN.'...sebab di sanalah ditaruh kursi-kursi pengadilan, kursi-kursi milik keluarga raja Daud." (Mzm 122:1,5).

Mengapa ada sorak gembira? Apalagi kegembiraan itu karena pengadilan! Bagi kita benar-benar alasan yang aneh untuk bergembira. Kita biasa bergembira karena hiburan, persahabatan, pertemanan, kumpul-kumpul, pesta dan kebersamaan. Tetapi bersukacita karena kursi pengadilan?

Namun bisa kita bayangkan ini adalah sorak-sorai umat Allah yang ditebus, kitalah umat yang ditebus itu! Sudah tiba saatnya Allah meraja, menjatuhkan para pendakwa kita, memberi keadilan bagi umat-Nya, membuat dunia menanggung darah umat Allah yang telah mereka tumpahkan. "Haleluya! Keselamatan dan kemuliaan dan kekuasaan adalah pada Allah kita, sebab besar dan adil segala penghakiman-Nya, karena Ialah yang telah menghakimi pelacur besar itu, yang merusakkan bumi dengan percabulannya; dan Ialah yang telah membalaskan darah hamba-hamba-Nya atas pelacur itu." (Why 19:1-2).

Dalam bacaan kedua, Paulus mengungkapkan kekagumannya atas karya keselamatan Allah itu. Dalam apa yang dikenal Gereja sebagai Kidung Kolose, yang secara berkala dinyanyikan dalam Ibadat Sore, Gereja ambil bagian bersama Paulus dalam mengungkapkan kekaguman itu. Allah telah bertindak, Ia menyelamatkan kita dari dosa, dan Yesus Kristus menaklukkan segalanya bagi Allah berkat darah salib-Nya.

Inilah pertempuran penentuan yang membuat Kristus menang. Ia memenangkan alam semesta dalam darah-Nya di salib. Karena itu tidak heran, Injil hari ini menampakkan Yesus Sang Raja yang sedang bertahta. Salib adalah takhta-Nya, paku-paku adalah harta-Nya, mahkota duri adalah mahkota kemuliaan-Nya, para penjahat dan pendosa pendamping-Nya, luka sekujur tubuh adalah perhiasan-Nya.
Sang Raja menang mulia, karena salib.
Dan dalam Injil ini, gambaran Allah, Hakim yang Agung memperlihatkan sisi-Nya yang begitu dekat dengan kita. Ia dekat dengan kita dalam penderitaan, dalam kesesakan kita, dan ia berbelas kasihan pada kita. Sekaligus sebuah pernyataan, bahwa jika Raja segala Raja memeluk penderitaan manusia, kita pun harus siap mengikuti Dia dalam penderitaan.

Sukacita kita dijanjikan, sehingga kita dapat bersorak-sorai seperti pemazmur dan bersama seluruh isi surga dalam kitab Wahyu. Itulah kemuliaan kita, yang menanti kita, dan jalan menuju kemuliaan itu adalah jalan salib yang sudah ditapaki Yesus.

Lalu apa refrain terakhir dari ini semua? Datangnya Kerajaan Allah, Yerusalem yang baru. Dan di dalamnya kita akan hidup bersama Allah selama-lamanya, dimana segalanya diperbarui dan kita akan memandang Dia muka dengan muka.

Kita mengantisipasi Yerusalem yang baru dan hidup berhadapan muka dengan Allah sudah dalam perayaan kita di bumi ini, saat ini, ketika kita menyambut Yesus dalam komuni. Ketika kita bersatu dengan Dia, secara istimewa.

Sungguh tepat Antifon Komuni kita hari ini yang berseru: "Tuhan akan bertakhta sebagai raja selama-lamanya. Tuhan akan memberkati umat-Nya dengan damai." (Mzm 29:10-11)

Apa yang dilihat Yohanes, sudah kita alami dalam Ekaristi: "Lihatlah, kemah Allah ada di tengah-tengah manusia dan Ia akan diam bersama-sama dengan mereka. Mereka akan menjadi umat-Nya dan Ia akan menjadi Allah mereka." (Why 21:3), sangat tepat menggemakan Mzm 29 yang kita dengarkan dalam komuni hari ini.

Inilah pemandangan liturgi yang disajikan kepada kita hari ini, pada Hari Raya Kristus Raja.
Secara praktis lansekap liturgi yang dirayakan menentukan bagaimana kita menentukan dan mencari lagu yang tepat untuk mendukung tersampaikannya pesan liturgi hari itu kepada kita.

Dalam Ordo Cantus Missae, sangat ditekankan "Nyanyian yang memiliki relasi dekat dangan bacaan, tentunya, selayaknya digunakan untuk bacaan-bacaan ini."(Ordo Cantus Missae 19).

Dalam ekshortasi pasca sinode umum para uskup ke-12, Paus kita berkata: "Untuk menekankan sabda Allah dalam liturgi, perhatian harus diberikan terhadap penggunaan lagu pada saat yang diberikan sesuai ritus partikular. Lagu utamanya dipilih yang memiliki inspirasi biblis dan yang mengekspresikan, melalui harmoni musik dan nada, keindahan sabda Allah." (Verbum Domini 70).

Jadi kriteria nyanyian, utamanya mendukung pewartaan Sabda Allah.

Keberatan yang sering disampaikan tentunya, bagaimana dengan partisipasi umat?
Sebenarnya partisipasi umat dalam nyanyian Liturgi memiliki beberapa jenjang:
Yang pertama dan terpenting dikuasai umat adalah dialog antara imam dan umat dan yang dibawakan oleh imam dan umat bersama-sama, dengan di sekitarnya ditambahkan bagian-bagian yang dibawakan oleh umat saja atau kor (Instruksi tentang Musik dalam Liturgi no. 7, Sacred Conggregation of Rites, 1967).


Jadi pada selalu ada tempat untuk kor dan selalu ada kesempatan bagi umat untuk ambil bagian aktif dalam liturgi tanpa perlu ikut menyanyi.

Buku Jubilate Deo, bagian pertama, Cantus Missae, yang disusun atas inisiatif  Paus Paulus VI, memberikan repertoir minimum yang harus dikuasai umat:
Beberapa seleksi nyanyian ordinarium Gregorian sederhana, Credo, Bapa Kami, Anamnesis, dan seluruh dialog antara imam dan umat.


Setelah melewati Hari Raya Kristus Raja, kita menyongsong Masa Adven, masa penantian, yang selalu bermakna ganda: Kita menantikan (memperingati) kedatangan pertama Yesus ke dunia sebagai anak, dan kita menantikan kedatangan kedua-Nya sebagai Raja Agung yang kita rayakan pada Hari Raya Kristus Raja.

Selamat menjelang detik-detik tahun baru liturgi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar