Sabtu, 15 Desember 2012

Katekismus sepanjang Tahun Iman 2



Pada hari ke-4 (13 Oktober 2012) saya menerima kutipan Katekismus yang ingin saya bagikan lagi.
Dengan ini dimulailah perjalanan memasuki pengakuan iman kita, semua berawal dari kata "Aku percaya."
Apa artinya "percaya"? Apa sih yang kupercayai/imani?
"Kepercayaan (iman) adalah jawaban manusia kepada Allah yang mewahyukan dan memberikan Diri kepada manusia dan dengan demikian memberikan kepenuhan sinar kepada dia yang sedang mencari arti terakhir kehidupannya." (KGK 26)
Maka dimulailah perenungan secara berturut-turut:
1. Manusia mencari Allah, sebuah kerinduan akan Yang Ilahi yang secara alami ada dalam diri setiap orang.
2. Allah mewahyukan diri-Nya dan menjumpai manusia.
3. Jawaban manusia atas wahyu Allah.

Ketiga hal ini yang akan direnungkan dalam beberapa hari ke depan, dimulai dengan perenungan akan kerinduan manusia akan Allah. Mengapa?
"Kerinduan akan Allah sudah terukir dalam hati manusia karena manusia diciptakan oleh Allah dan untuk Allah." (KGK 27).

Tapi yang paling saya sukai adalah kalimat yang lebih kemudian dari KGK 27: "Makna paling luhur martabat manusia terletak pada panggilannya untuk memasuki persekutuan dengan Allah."
Kata "martabat" dalam kalimat ini membuat saya berhenti sejenak ketika membacanya... ada sesuatu yang kuat bergema di situ..
Ada perasaan senang, eureka, agung, megah, lega, terhibur ketika membacanya kata "martabat" di situ.
Jujur saja, ketika membacanya ada perasaan yang meluap-luap.. tapi ketika berusaha menuliskannya, rasanya gelap, bingung, perasaan apa yang sebenarnya bergejolak.

Why? I'm not sure myself..
Mungkin karena sekelebat merasa, bahwa Allah menjadikan saya, demi sebuah relationship dengan diri-Nya.
Entah kenapa, menjadi sekedar gambar dan citra Allah, tidak cukup berarti bagi-Nya. Kita bukan sekedar imitasi atau refleksi rupa seorang pribadi. Patung Bung Karno juga gambar dan rupa Bung Karno.
Tapi, bagi Allah, undangan untuk bersekutu dengan-Nya adalah alasan mengapa kita diciptakan serupa dan secitra dengan-Nya. Dan pernyataan bahwa kita diciptakan dari "kelimpahan kasih-Nya" seolah menjadi "masuk akal."
Mungkin karena saat ini saya sedang memperjuangkan relationship itu, sedang berada di titik nadir, dan sungguh sangat meneguhkan dan melegakan bahwa Allah melihatnya bukan sebagai sesuatu yang sia-sia atau trivial.. melainkan sebagai makna martabat tertinggi saya...

Ada sesuatu yang "klik" buat saya pribadi dalam kalimat itu. Sulit diungkapkan apa. Tapi ada sesuatu yang bergerak karenanya, kalau meminjam istilah Ignasius Loyola.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar