Rabu, 19 Desember 2012

Katekismus Sepanjang Tahun Iman 3




Hari ke-21 dan ke-24 sejak 11 Oktober 2012, menjadi bahan perenungan yang ketiga.

Bacaan Katekismus beberapa hari ini tentang iman, apa itu iman, bagaimana Allah menyatakan diri dan bagaimana manusia menanggapi.

Tapi hari ini istimewa, ada kutipan yang menancap sekaligus menghangatkan hati.

"Melalui iman, manusia menaklukkan seluruh pikiran dan kehendaknya kepada Allah. Dengan segenap pribadinya manusia menyetujui Allah yang mewahyukan Diri. Kitab Suci menamakan jawaban manusia atas undangan Tuhan yang mewahyukan Diri itu 'ketaatan iman'". (KGK 143)

"Taat [obedience (Ing), ob-audire (Lat)] dalam iman berarti menaklukkan diri dengan sukarela kepada Sabda yang didengar, karena kebenarannya sudah dijamin oleh Allah, yang adalah kebenaran itu sendiri. Sebagai contoh ketaatan ini Kitab Suci menempatkan Abraham di depan kita. Perawan Maria melaksanakannya atas cara yang paling sempurna." (KGK 144)

Saya cukup dikagetkan dengan kata-kata yang keras tentang ketaatan iman, akan obedience.
Ini sungguh pokok masalah dan inti dari beriman. Mendengar dan mengetahui saja tidak cukup. Iman menuntut ketaatan, ob-audire, tunduk dibawah apa yang didengar. Beriman berarti memikul konsekwensi untuk menaklukkan diri, senantiasa merendahkan diri, mengubah bukan cuma pola pikir, tapi juga hidup, tindakan, prioritas, kehendak, keinginan, hobi. Dan ini sulit, kebenaran adalah cermin jernih yang memperlihatkan segala kelemahan kita. Sering kali kita berusaha tidak perduli atau menutupi daripada menaklukkan diri untuk berubah.
Tetapi kata kuncinya adalah "sukarela."

Sukarela, ketika saya membaca kata ini, terasa betapa Allah begitu menghormati dan mengasihi kita. Dia bisa memaksa kita taat. Tapi yang Dia tawarkan adalah undangan. Kalau tidak dilakukan secara sukarela, kita tidak mungkin menjadi lebih baik. Perubahan tidak akan pernah terjadi tanpa keputusan untuk mengubah diri terlebih dahulu. Perubahan yang dipaksakan dari luar hanya akan menimbulkan resistensi, penolakan, atau perubahan yang dangkal.
Selain itu terasa betapa Dia mempercayai kita bahwa dengan rahmat, kita mampu. Ia memberi kita kepercayaan diri, "I know you can because I say to you: you can! Now get up and walk!"
Tapi ini bisa kadang bisa terasa keras. "Aku ingin dikasihani, gak lihat apa gue malang?" Dan jawaban yang diberikan Yesus adalah, "Jangan manja!"

Ada lagi di Katekismus cuplikan yang menurut saya indah:
"Iman adalah satu anugerah rahmat yang Allah berikan kepada manusia. Kita dapat kehilangan anugerah yang tak ternilai itu. Santo Paulus memperingatkan Timotius mengenai hal itu: 'Hendaklah engkau memperjuangkan perjuangan yang baik dengan iman dan hati nurani yang murni. Beberapa orang telah menolak hati nuraninya yang murni itu, dan karena itu kandaslah iman mereka' (1 Tim 1:18-19). Supaya dapat hidup dalam iman, dapat tumbuh dan dapat bertahan sampai akhir, kita harus memupuknya dengan Sabda Allah dan minta kepada Tuhan supaya, menumbuhkan iman itu. Ia harus "bekerja oleh kasih" (Gal 5:6), ditopang oleh pengharapan dan berakar dalam iman Gereja." (KGK 162)

Di sini iman diumpamakan seperti sebutir benih yang di tanam di sebuah ladang. Kutipan ini mengingatkan gw pada banyak perumpamaan Yesus, seperti misalnya tentang benih yang jatuh di berbagai jenis tanah. Juga mengingatkan gw pada jari-jari roda pertumbuhan rohani (Sabda Allah, Komunitas, Pelayanan, Doa yang berporos pada Sakramen-sakramen utamanya Ekaristi).
Benih yang tidak dirawat bisa mati. Kita perlu merawatnya dengan memberinya pupuk, memberinya cuaca dan iklim yang baik, digemburkan tanahnya, dilindungi, dan ditanam di tanah yang tepat.

Pupuk yang perlu kita berikan adalah Sabda Allah. Kalau kita baca hari-hari sebelumnya, Katekismus bicara banyak tentang Sabda Allah ini. Sabda Allah adalah Yesus Kristus sendiri. Maka kita harus banyak memupuk iman dengan Yesus, dengan bergaul akrab dengan-Nya. Berdoa, berjumpa dengan-Nya dalam Ekaristi, dan juga lewat Kitab Suci. Katekismus hari-hari sebelumnya banyak bicara tentang Sabda Allah ini, secara istimewa bagaimana Kitab Suci, Tradisi Suci dan Magisterium Gereja membentuk satu kesatuan yang menampilkan Sabda Allah.

Tapi pupuk saja tidak cukup. Petani tahu betul, walaupun sudah berusaha keras mengusahakan, perlu rahmat berupa iklim dan cuaca yang baik. Bertani adalah karya Tuhan sekaligus karya manusia. Allah yang menyuburkan dan menumbuhkan tanaman lewat hujan dan cahaya matahari, membawa serbuk sari lewat angin, menudungi tanaman dengan awan. Allah yang menumbuhkan benih itu supaya bertunas. Manusia tidak bisa menciptakan kehidupan, hanya Allah yang mampu.
Maka kita harus senantiasa menyadari, bahwa selain menjadi seperti Martha yang bekerja keras, kita perlu juga menjadi seperti Maria yang duduk di kaki Tuhan untuk membiarkan Tuhan berbicara kepada kita, membiarkan diri kita dikasihi Tuhan. Sering kali, saya juga alami, kita berusaha terlalu keras bagi Allah, akibatnya justru Allah sendiri kita lupakan dan prioritas kita menjadi berantakan.

Benihnya sudah dipupuk, sudah dihadapkan kepada matahari dan hujan, sekarang kita perlu mengolah lingkungan sekitar benih itu.
Tanah sekitar benih itu harus dikerjakan supaya gembur. Bagaimana caranya? "Bekerja oleh kasih."
Bukan cuma fokus pada relasi pribadi kita dengan Tuhan, tapi dari kelimpahan cinta yang diberikan Allah, hati kita akan dinyalakan untuk sesama kita.
Bekerja oleh kasih, berfokus pada orang lain, relasi di sekitar kita, orang-orang yang membutuhkan di sekitar kita.
Sering kali, saya juga berkilah, "Ya Tuhan, gue sendiri aja masih perlu diolah, repot amat mesti ngurusin orang lain?"
Tapi ternyata dengan menutup diri dari kebutuhan orang lain, sata membuat tanah tempat benih iman gw sendiri menjadi keras, gak gembur.
Karena itu kita butuh melayani orang lain, terlibat dalam pelayanan, memiliki relasi dengan orang lain, hidup berkomunitas.

Benih yang baru mulai bersemai ini perlu dilindungi. Angin kencang bisa menerjang lalu mungkin benih ini akan tercabut atau patah. Struktur yang melindungi dan menopangnya adalah pengharapan. Harapan membangkitkan mimpi, dreams, passion.
Tapi saya dulu gak menyadari ternyata hal-hal ini penting. "Ya udahlah hidup mau dibawa kemana terserah, yang penting gw hidup baik, yang penting jadi kudus sisanya gak usah dipikirin."
Tapi... ternyata pengudusan bukan sesuatu yang abstrak begitu aja. Sedikit banyak Allah sudah memberi bisikan-bisikan kecil ke mana saya harus melangkah, tapi saya anggap tidak penting karena merasa tidak perlu punya mimpi untuk masuk surga. 
Gua gak bilang saya dah menemukan mimpi saya apa. Tapi setidaknya sudah mulai menyadari bahwa saya perlu meninggalkan pola pikir saya yang lama dan mencoba mendekap yang baru. Orang takut kehilangan mimpi... tapi meninggalkan "dunia tanpa mimpi" supaya punya mimpi juga menakutkan... That means, I have responsibility and need to start moving, dan saat jalurnya berkabut, ketakutan itu makin kuat.
"Don't be afraid," kata mendiang Paus Yohanes Paulus II, betapa saya butuh kata-kata itu.

Terakhir, tapi yang tidak kalah pentingnya, pilihan jenis tanah sebagai media tanam kita harus tepat.
Anda mau iman Anda berakar di mana? Selokan, oli, bensin, agar-agar, pasir, atau tanah yang subur dan gembur?
Tanah subur dan gembur yang tepat adalah: iman Gereja.
Dengan kata lain kita mempercayakan iman kita kepada Gereja. Dari tanah ini benih iman kita akan menerima nutrisinya.
Mempercayakan iman Anda tumbuh di media tanam yang sudah melewati sejarah 2000 tahun menginjili dunia, menampung kebijakan para kudus dan orang-orang cerdas, penuh nutrisi orang-orang yang semangat melayani Tuhan, memiliki ajaran yang jelas dan tegas seperti misalnya tercurah dalam Katekismus Gereja Katolik yang Anda baca, tentunya pilihan yang tepat wahai saudara-saudari!
Media tanam ini mengingatkan kita juga, bahwa iman tidak sampai kepada kita dari nol. Tanah yang baik adalah tanah yang merupakan endapan organik kehidupan sebelumnya. Iman kita adalah warisan terbaik, bukan sekedar obyek eksperimen yang bisa kita definisikan dan bongkar pasang sesuka kita. Di tanam pada tanah yang salah, benih ini bisa mati, atau kalau tidak mati, tidak berbuah atau menghasilkan buah yang jelek.
Katolik pro-choice misalnya (yang mendukung aborsi)? 
Mungkin karena benih imannya tidak berakar di media yang tepat, terlalu banyak unsur hara kebijaksanaan Gereja yang dibuang atau dirusak oleh pupuk kimia a-la media masa cap Paris Hilton.

Demikian dari saya.
Bagaimana pengalaman Katekismus Anda akhir-akhir ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar