Sabtu, 11 September 2010

Kekeringan Rohani, Kekeringan Liturgi

Dari segala macam inovasi Liturgi yang dilakukan, saya melihat kemungkinan terjadinya kekeringan rohani.
Namun tidak sedikit yang menanggapi, bahwa banyak inovasi Liturgi yang terjadi, misal dalam Pembaruan Hidup dalam Roh, justru membuat mereka tidak kering melainkan dipenuhi semangat, sukacita, senang menggereja. Ini tidak saya sangkal, namun saya juga tanggapi dengan hati-hati bahwa semua itu bukan datang utamanya dari inovasi yang terjadi, melainkan dari pemahaman yang semakin mendalam dan pengalaman disentuh Roh Kudus yang pernah dialami.

Utamanya kering di sini yang saya bicarakan bukan dalam hal perasaan subyektif.
Tetapi kering dalam arti bahwa kita akan semakin kehilangan arah dalam melihat dengan jelas visi dan misi Liturgi.

Karena Liturgi adalah jiwa, jantung doa Gereja, kita akan semakin kehilangan arah, ke mana Gereja hendak mengarah, kemana Pembaruan Hidup dalam Roh hendak berjalan, kemana kelompok dan kerasulan kita mau diarahkan yang sesuai dengan visi dan misi Gereja.

Seperti dikatakan Paus Benediktus XVI, dulu Kardinal Ratzinger:
"I am convinced that the crisis in the Church that we are experiencing today is to a large extent due to the disintegration of the liturgy, which at times has even come to be conceived of etsi Deus non daretur: in that it is a matter of indifference whether or not God exists and whether or not He speaks to us and hears us. But when the community of faith, the world-wide unity of the Church and her history, and the mystery of the living Christ are no longer visible in the liturgy, where else, then, is the Church to become visible in her spiritual essence? Then the community is celebrating only itself, an activity that is utterly fruitless. And, because the ecclesial community cannot have its origin from itself but emerges as a unity only from the Lord, through faith, such circumstances will inexorably result in a disintegration into sectarian parties of all kinds - partisan opposition within a Church tearing herself apart. This is why we need a new Liturgical Movement, which will call to life the real heritage of the Second Vatican Council." Milestones: Memoirs 1927-1977 (SF, CA: Ignatius), p. 149.

Saya terjemahkan:
"Saya yakin bahwa krisis dalam Gereja yang kita alami sekarang sebagian besar dikarenakan oleh disintegrasi liturgi, yang kadang  bahkan dirasakan sebagai etsi Deus non daretur: suatu keacuhan apakah Allah ada atau tidak dan apakah Dia berbicara atau mendengar kita. Tetapi ketika komunitas iman, persatuan Gereja sedunia dan sejarahnya, dan misteri akan Kristus yang hidup tidak lagi nampak dalam liturgi, dimana lagi Gereja jika demikian harus menampakkan esensi spiritualnya? Jadi komunitas hanya merayakan dirinya sendiri, sebuah kegiatan yang sama sekali mandul. Dan, karena komunitas gerejani tidak dapat berasal dari dirinya sendiri, melainkan hadir sebagai sebuah kesatuan hanya dari Tuhannya, melalui iman, situasi demikian tidak terelakan berakhir pada disintegrasi berupa segala macam kelompok sektarian - oposisi partisan dalam Gereja yang menghancurkannya dari dalam. Ini sebabnya kita perlu Gerakan Liturgi Baru, yang akan menghidupkan warisan sesungguhnya dari Konsili Vatikan Kedua."

Kalau kita cukup jeli melihat ke mana Gereja diarahkan dalam 2 dekade ini, membaca tulisan-tulisan Paus Yohanes Paulus II dan Benediktus XVI, akan terlihat jelas bahwa Gereja diarahkan pada Liturgi.

Masa-masa akhir kepausan Yohanes Paulus II diwarnai dengan perang melawan pelanggaran-pelanggaran Liturgi lewat serangkaian dokumen: Liturgiam Authenticam, Redemptoris Sacramentum, Mane Nobiscum Domine.

Dilanjutkan oleh Paus Benediktus XVI: yang paling jelas adalah orientasi liturgi melalui penataan Altar, seperti beliau pernah tuliskan dalam bukunya Spirit of Liturgy, dimana umat dan imam kembali diorientasi memandang satu kiblat liturgis. Belum lagi Summorum Pontificum, yang mengarahkan Gereja untuk memperkaya Liturgi pasca Konsili dari apa yang mulia dari Liturgi pre Konsili Vatikan II.

Ada sesuatu yang sangat serius dalam Liturgi, aspek teologis yang terlalu mendalam sehingga Gereja mati-matian mempertahankan Liturgi sebagai identitasnya dan memagarinya dengan banyak aturan, yang tujuannya memberi kebebasan dan memastikan Roh Kudus lewat Gereja mengajar sesuatu kepada kita.

Saya sadar banyak yang bersemangat dengan bersentuhan dengan Pembaruan Hidup dalam Roh. Tetapi, anda dan saya harus sadar, bahwa jika yang terjadi adalah orang hanya bersemangat dalam satu bentuk Liturgi yang inovatif, tetapi tidak bersemangat atau tidak memiliki pemahaman mendasar akan Liturgi normatif yang dirayakan di mana-mana, artinya ada sesuatu yang salah. Ini berarti kita lebih tertarik dan digerakan oleh aspek sosiologis yang ditampilkan, dan bukan pada penghayatan Liturgi itu sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar