Kamis, 16 September 2010

LIturgi dan Aspek Sosiologis Pembaruan Hidup dalam Roh

Liturgi di setiap tempat, yang paling utama dan terutama dipartisipasi oleh umat adalah Misa Kudus. Misa Kudus yang dilaksanakan diseluruh dunia sama, aturannya sama, dan di berbagai paroki harusnya sama.

Utamanya kita bukan menambahkan unsur-unsur yang berbeda sehingga orang melihat: "Misa Karismatik itu yang kayak gini" atau "Misa yang biasa itu yang gitu, bukan Karismatik itu."

Ketika orang mulai memilih Misa yang satu dari yang lain karena hanya aspek sosiologisnya semata, kita harus berpikir, apa yang salah dari pelayanan kita? Mengapa orang menghargai Misa dari unsur sosiologisnya semata?
Bagaimana caranya kita melayani supaya semua orang yang kita alami dapat menghargai, mencintai dan memperoleh kekayaan rohani dari setiap Misa demi Misa itu sendiri?
Terutama, Misa yang dirayakan dengan segala pakemnya, sehingga dilihat dan dirasakan sebagai entitas rohani yang hidup, dan bukan "gak seru, gak ada bandnya, lagu-lagunya gak enak".
Banyak umat yang 'jajan' atau bahkan lari dari kita karena mereka mencari aspek sosiologis ini semata. Tetapi sebaliknya, ada yang menganggap kita sebagai musuh justru karena aspek sosiologis ini.

Ada hal positif lagi di sini, bahwa dengan memisahkan identitas dari sisi sosiologis Pembaruan, kita bisa menjangkau orang lebih banyak. Kita bisa membawa pesan pembaruan hidup dalam Roh, tanpa timbul antipati dari orang-orang. Dan juga, membawa orang pada penghayatan hidup menggereja tanpa harus menuntut aspek eksternal tertentu.
Kita harus selalu memisahkan bentuk sosiologis Pembaruan Karismatik dari esensinya.

Di buku Romo Yohanes terbaru tentang pembaruan Karismatik, yang saya beli 2 minggu lalu beliau bercerita, bahwa di suatu paroki umatnya anti karismatik. Menerima undangan dari Pastor paroki, para frater dicekal oleh Dewan Paroki, bahwa mereka tidak mau menerima karismatik. Sesuai anjuran Romo Yohanes, mereka memperkenalkan diri sebagai pendalaman Kitab Suci, tidak menggunakan lagu-lagu rohani populer, melakukan doa-doa yang biasa dikenal umat.

Mereka tersentuh, mereka senang, mereka memperoleh sesuatu. Mereka katakan bahwa hal itu baik sekali, dan berkata betapa senangnya mereka apa yang mereka ikuti bukan Karismatik.

Ini adalah visi misi gerakan Karismatik, untuk membawa umat pada perjumpaan pribadi dengan Kristus yang mengubah hidup. Walaupun, gerakan Karismatik bukan satu-satunya sarana untuk mencapai tujuan itu.
Tetapi ketika apa yang diberi label Karismatik sudah terlanjur lengket dengan suatu gaya tertentu, kita harus melihat ke belakang dan bertanya pada diri sendiri, apa yang salah.

Dan ini, lebih penting lagi di bidang Liturgi. Ketika umat tidak mampu mencintai Liturgi yang dilaksanakan dengan tepat, dan gagal menangkap 'suara Liturgi' yang mengumandangkan suara Gereja, kita harus bertanya, mengapa aspek sosiologis ini menjadi identitas?

Sebagian besarnya adalah tanggung jawab kita, terutama yang ada dalam fenomena Pembaruan Hidup dalam Roh (aka Karismatik).
Kalau kita tidak belajar sendiri mendengarkan suara Roh Kudus dalam kontemplasi Liturgi, bagaimana kita bisa bawa orang lain ke sana?
Kalau kita tidak pernah menunjukkan dalam praktek bahwa Karismatik Katolik tidak identik dengan aspek sosiologis tertentu, bagaimana orang yang kita layani bisa mendapat pesan itu?

Tentu saja orang banyak tidak memiliki semua waktu, saat, kesempatan, acuan, referensi untuk belajar tentang Liturgi.
Tetapi kita yang berada piramida pelayanan harus memberi waktu untuk semua itu. Belajar apa yang boleh/tidak boleh saja tidaklah cukup. Formasi Liturgi mengasumsikan Mistagogia, pembukaan Misteri yang dialami dalam Liturgi. Dan kemudian ini harus dibawa ke bawah, kepada umat yang kita layani.

Ini semua harus dilihat sebagai usaha untuk memantapkan dan membuat penghayatan umat dalam Liturgi dan hidup sehari-hari sebagai lebih baik lagi, bukan sebagai penghakiman "Kalian sudah salaaaah, ini ini ini inininininininii tidak boleeeeh."

Karena itu, secara pribadi, saya tidak anti karimatik. Tidak juga anti lagu-lagu rohani populer. Tidak juga anti persekutuan doa, sel, berbagai pelayanan karismatik lain. Sebaliknya saya merasa diperkaya dan dibawa kepada kecintaan akan Gereja lewat semua itu.

Tetapi, selalu diingat bahwa Liturgi Gereja tidak sama dengan persekutuan doa, tidak sama dengan sel, tidak sama dengan devosi. Liturgi adalah momen paling sakral, jantung doa Gereja, sarana Gereja mengajar, memberi makan, dan sekaligus juga tugas suci kita umat yang terbaptis untuk melaksanakan panggilan imamat umum kita.

Sebagian besar kericuhan terjadi ketika kita gagal melihat bahwa Liturgi (salah satu bentuknya paling kita kenal adalah Misa Kudus, yang merupakan puncak Liturgi) berbeda dari ibadah raya ala GBI misalnya. Kita anggap itu adalah 'cara ibadah' Katolik. Namun Liturgi lebih dari sekedar 'cara ibadah' atau 'tata ibadah'.

KRK, Persekutuan doa, devosi-devosi kelompok dan pribadi kita, itu yang setara dengan ibadah raya non-Katolik. Tetapi Liturgi Gereja jauh diatas semuanya itu. Secara obyektif nilainya tak sebanding dengan semua itu.
Sama seperti sebuah Sakramen.

Andaikan ada Jemaat seberang sana yang kelihatan hidup, tersentuh, lahir baru, penuh sukacita, pendampingan dan pengajaran yang menarik. Sementara anggap saja Gereja Katolik dalam titik terendahnya dimana para imamnya hidup berantakan, Liturgi dianggap hambar oleh jemaatnya, dan berusaha survive karena mati tidak hidup pun tidak.
Maka saya akan tetap berada dalam Gereja Katolik karena Sakramen ada di sana. Walaupun setiap kali terasa hambar dan gelap, tetapi saya tahu nilai Sakramen itu melebihi semua yang bisa saya dapatkan dari Jemaat seberang.

Dan kita di Gereja Katolik punya dua-duanya.
Umat Katolik kebanyakan hidup dari Liturgi yang tidak diembel-embeli Karismatik. Mereka bilang itu sampah, gelap, tidak ada sukacita, menekan, kaku, pakem.
Kita dipanggil oleh Roh Kudus untuk berkobar-kobar dan merasakan, mengalami, mencintai bahwa Liturgi itu dan segala pakemnya adalah sarana kebebasan, tempat sukacita mengalir, Roh Kudus berkarya, Gereja mengajar, dan kita ambil bagian dalam kehidupan Tritunggal. Dimana Gereja dari zaman ke zaman, di surga dan di bumi, bersatu. Kita mengalami kitab Wahyu.

Kalau tidak pernah sampai pada pemahaman ini, orang hanya akan berlomba-lomba menciptakan inovasi eksternal. Tetapi apa yang internal tidak pernah dijamah, dibuka, dirasakan, dan kuasanya tidak pernah dilepaskan.
Tetapi untuk sampai pada semua ini, kita harus kembali kepada Gereja dan berkata, "kebijaksanaanmu melebihi pengetahuanku, ajarlah aku untuk taat dan menyelami Liturgi sebagaimana kau inginkan."
Dan ini bukan berarti kita menyerang, membenci dan membuang Karismatik Katolik. Sebaliknya, kita malahan membebaskan dan membuat kuat kuasa pelayanan kita lebih hebat lagi.

Jika demikian, apakah kita harus meninggalkan sama sekali aspek sosiologis yang berkobar-kobar, mirip Jemaat seberang?
Tidak. Tetapi kita harus sadar bahwa untuk segala sesuatu ada tempatnya.
Kita letakkan semua itu di sekeliling Liturgi, bukan dicampur adukkan di dalamnya.

Ketika Liturgi yang baik dan setia dilaksanakan, Mistagogia dijabarkan, dan umat diberi kesempatan dan sarana untuk megekspresikan Roh yang membakar dalam hidup mereka lewat pelayanan, bukankah kekuatan besar yang selama ini terpendam akan dibebaskan?

Kalau mau kita simpulkan, pembaruan hidup dalam Roh hanyalah salah satu sarana yang digunakan Roh Kudus. Tetapi bukan satu-satunya jalan.
Dan juga, dalam pembaruan hidup dalam Roh, ada banyak bentuk, bukan cuma satu.

Salah satu kuncinya adalah: Mistagogia, ini adalah metode yang dipakai Gereja sejak jaman para Bapa Gereja perdana dahulu. Pemahaman membuka makna Liturgi kepada jemaat.

Semua pada akhirnya mengarah pada Liturgi, karena Liturgi dan Sakramen adalah identitas Gereja, tugasnya yang utama, panggilannya yang pertama. Liturgi juga adalah tujuan akhir Gereja dan kehidupan kita: untuk berpartisipasi dalam Liturgi Ilahi Perkawinan Anak Domba dalam kekekalan.

Maka, Pembaruan Hidup dalam Roh harus juga menyapa orang-orang yang tidak berada pada jalur ekspresi sosiologis yang sama.
Tetapi juga Pembaruan Hidup dalam Roh harus fleksibel, bisa menimba karismanya dalam berbagai kegiatan non-liturgis seperti persekutuan doa, KRK, dan banyak kegiatan lainnya, tetapi harus juga bisa duduk diam membiarkan diri dibentuk oleh Liturgi, membiarkan Liturgi mengalir sebagaimana mestinya sesuai dengan rambu yang ditetapkan.

Ketika keseimbangan ini tercapai, kita bisa menghargai kebebasan Roh Kudus menyampaikan rahmat dan berbicara.
Kalau kita cuma tertarik pada aspek sosiologis tertentu, dan harus memodifikasi Liturgi hanya supaya bisa menarik diri kita, membangkitkan emosi, dan menjadikannya identitas, bukankah artinya kita malahan tidak bebas? Kita memberi batasan pada Roh Kudus untuk berbicara hanya dalam konteks yang kita ingini. Dan kita juga membatasi pembaruan hidup dalam Roh hanya pada bentuk penyajian tertentu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar