Sabtu, 11 September 2010

Esensi Liturgi, apakah sekedar Tata Ibadah?

Liturgi ini sebenarnya dibuat manusia atau menurut pandangan Gereja dibuat oleh Roh Kudus?
Kalau berasumsi bhw liturgi sama dgn peraturan (ibadah), bolehkah kalau berpandangan bahwa manusia harusnya utk liturgi, bukan liturgi untuk manusia?

Pada dasar dan intinya, dalam pandangan iman Katolik, pertama-tama Liturgi adalah karya Allah sendiri.
Dari paparan ekseget seperti Scott Hahn dalam bukunya, A Father Who Keeps His Promises, tampak jelas bahwa Kitab Suci menyajikan penciptaan dunia sebagai sebuah Liturgi Ilahi yang tersingkap dalam hari demi hari. Dimahkotai dengan Sabat, hari khusus dimana Liturgi secara istimewa dilaksanakan.
Setelah selesai menciptakan manusia, tugas pertama manusia adalah untuk ambil bagian dalam Sabat ini bersama Allah. Di sini tampak bahwa manusia diciptakan Allah dalam suatu suasana Liturgis untuk ambil bagian dalam Liturgi.

Bumi diciptakan sebagai sebuah Bait Suci mahabesar tempat Allah tinggal, dengan Taman Eden diciptakan sebagai Ruang Mahakudus dimana Allah sendiri tinggal.
Di situ manusia diciptakan dan diberi tugas untuk merawat dan menjaga. Istilah Ibrani yang diberikan Tuhan untuk merawat dan menjaga ditemukan hanya sekali lagi ketika Musa memerintahkan para Imam untuk merawat dan menjaga Kemah Perjanjian.
Dengan demikian, dari awal manusia diciptakan untuk berliturgi, sebagai Imam yang tinggal dalam Ruang Mahakudus, memerintah ciptaan bersama Allah.
Bukan tanpa sebab, sebab melalui tindakan Liturgis inilah, manusia masuk dalam misteri kehidupan Allah sendiri.

Kitab Suci kemudian memperlihatkan sejarah panjang manusia, utamanya dalam sejarah Israel yang dipilih Allah untuk menjadi imam bagi semua bangsa. Jatuh bangunnya sejarah berpusat pada jatuh bangunnya kesetiaan Israel terhadap Allah dan perjanjiannya. Perjanjian-perjanjian Allah kepada Israel senantiasa bersifat Liturgis. Sampai akhirnya Kristus datang untuk mendirikan GerejaNya.

Gereja, yang adalah TubuhNya sendiri, lahir dari Kristus dalam sebuah tindakan Liturgis, dalam konteks Perjamuan Paskah. Suatu perayaan Liturgis yang dirayakan bangsa Israel dari tahun ke tahun, yang merupakan gambaran dari apa yang akan dilakukan Yesus: Melaksanakan Paskah yang abadi. Dari diriNya yang tersalib, Gereja dan Sakramen-sakramen lahir.

Fast forward kepada Kitab Wahyu, Yohanes melihat realitas sejarah dari sudut panjang yang sangat unik. Bahwa sejarah manusia terpapar dihadapannya, masa lalu, masa kini dan masa depan, sebagai sebuah tindakan Liturgi Ilahi. Liturgi menggerakkan sejarah.

Liturgi Gereja sangat berkaitan erat dengan tatanan Sakramental. Liturgi perjanjian baru adalah partisipasi Tubuh Kristus dalam Liturgi Kristus sendiri mempersembahkan diri-Nya kepada Bapa. Liturgi perjanjian baru adalah partisipasi Gereja dalam ibadah ilahi di Bait Allah abadi di Surga.
Ini adalah landasan Teologis Liturgi.

Dari segi sosiologisnya, wujud nyata Liturgi di dunia, teksnya, tata geraknya, mengambil sumber utama dan terutamanya dari Ibadah Israel. Namun bukan pula sekedar kelanjutan dari ibadah Israel, melainkan pemenuhannya sebagaimana dilaksanakan Kristus, dan dilanjutkan Para Rasul. Para Rasul ini yang membawa Liturgi ke berbagai tempat, utamanya Liturgi adalah ibadah yang sangat erat hubungannya dengan perayaan Sakramen, utamanya Baptisan, Tahbisan dan Ekaristi.

Di berbagai tempat, Gereja bersama para Uskup pengganti para Rasul, menambahkan, mengubah, bentuk partisipasi Gereja dalam Korban Kristus ini. Namun dilihat sebagai kelanjutan dari perayaan yang sama. Ibadah-ibadah ditambahkan yang bersumber dan menuju pada Ekaristi. Semua dilaksanakan tidak secara serta-merta melainkan dalam kesatuan dengan karisma tahbisan yang dipercayakan kepada para pengganti rasul. Ada unsur historisitas yang selalu bisa kita runut kembali kepada Kristus sendiri, sehingga Liturgi tidak sekedar aktualisasi suatu mitos tanpa dasar.

Bagi umat dari zaman ke zaman Liturgi adalah Guru yang mengajar misteri-misteri iman. Misteri iman digelar dalam Liturgi, dan Liturgi diperkaya oleh kebijaksanaan Gereja dari zaman ke zaman (misalnya saja perumusan Syahadat yang kemudian dimasukkan ke dalam Liturgi).  Sampai ada adage klasik yang berbunyi, "Sebagaimana kita berdoa, demikian kita percaya."
Liturgi adalah sebuah Teologi, bukan cuma secara didaktif (pengajaran) tapi juga secara eksperiential, suatu pengalaman langsung akan Allah dan persentuhan langsung dengan iman Gereja.

Liturgi Gereja selalu terbedakan dari ibadah pribadi.
Doa pribadi, bisa diibaratkan saat intim dimana kita secara pribadi masuk ke dalam hadirat Allah.
Sementara Liturgi adalah ibadah raya kita bersama Kristus dan seluruh Gereja, melaksanakan imamat kita sebagai orang yang dibaptis, dalam Bait Suci Surgawi.

Karena itu, saya melihat kesamaan yang menarik bagaimana Liturgi disusun dan Kitab Suci ditulis.
Keduanya adalah karya Allah yang kita warisi. Tetapi keduanya juga adalah karya manusia.
Keduanya adalah Tradisi Suci yang diwariskan Gereja kepada anak-anaknya dari zaman ke zaman.

Yang menjadikan Liturgi lebih dari sekedar tata ibadah adalah landasan teologisnya yang membuat kita partisipan Liturgi sungguh mengalami secara obyektif, partisipasi dalam Imamat Kristus.
Tanpa ini, Liturgi hanyalah sebuah upacara kosong dan sekedar konvensi kelompok yang tidak ada gunanya dijaga dengan seksama. Tanpa ini, Liturgi selalu menjadi obyek yang selalu dapat diubah dan digubah oleh siapapun sesuai selera.

Hal yang sama inilah yang menjadikan Kitab Suci adalah Kitab Suci dan Sakramen adalah Sakramen. Tanpa Allah yang secara obyektif bekerja dibalik semua itu, Kitab Suci tidak lain daripada kumpulan tulisan tidak teratur yang diagungkan suatu kelompok, dan Sakramen hanyalah tanda-tanda manusiawi yang diberi makna oleh kelompok malalui konvensi (macam rambu lalu-lintas).

Saya rasa, Liturgi diciptakan untuk manusia, seperti juga Sabat diciptakan untuk manusia.
Liturgi dan Sabat, diberikan Allah agar manusia masuk ke dalam kehidupan ilahi Allah sendiri.
Namun istilah ini tidak berarti bahwa manusia sebagai tuan atas Sabat dan Liturgi berarti bisa bertindak semau-maunya.
Sebaliknya sebagai tuan, sebagai subyek dari Sabat dan Liturgi, manusia memiliki segala tanggungjawab untuk menghormati dan melaksanakan dengan setia peruntukan Sabat dan Liturgi.
Karena jika semau-maunya, manusia akan kehilangan makna awal peruntukan semuanya itu diadakan oleh Allah, dan akhirnya akan menjadi beban yang menghancurkan manusia itu sendiri.

Sama seperti alam. Ketika manusia diangkat menjadi tuan atas ciptaan, bukan berarti manusia bebas memperbudak alam. Manusia diberi tanggungjawab, dan kelalaian atas tanggungjawab itu mengeringkan alam dan membahayakan diri manusia sendiri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar